Tamara berjalan berkeliling. Tangannya bergerak menyentuh semua senjata yang menarik perhatiannya. X mengawasinya seraya menyilangkan tangan di depan dada. Senyumannya mengembang. Ia puas dengan kemampuan anak didiknnya. Pandangan Tamara terhenti pada sebuah pistol hitam dengan desain elegan. Ia meraih senjata itu dan mencengkramnya.
"Ringan," gumamnya.
"Wah, itu HK 45." X berjalan mendekat. Ia memperbaiki tangan Tamara yang salah, menegakan punggung Tamara dengan sempurna, serta meluruskan lengan Tamara ke depan. "Pilihan bagus. Pistol ini dilengkapi opsi peredam suara."
"Wah. Padahal aku hanya pilih berdasarkan perasaan dan model saja." Tamara terkekeh. "Syukurlah."
"Kamu yakin ingin itu saja? Aku juga ada koleksi pisau dan racun dibelakang." X melebarkan senyumnya bangga.
"Benarkah?!" nada Tamara meninggi kegirangan.
X segera menuntun jalan masuk lebih dalam ke ruangannya itu. Mereka berhenti saat di dinding kiri dan kanan penuh dengan pisau berbagai ukuran yang menggantung rapi. Tamara menatap koleksi X tanpa berkedip. Ia terpana. Pandangan Tamara terhenti pada sebuah kalung yang terpasang berbeda diantara tajamnya pisau-pisau berbagai ukuran.
"Ini kalung dan liontin?" Tamara mengambil periasan itu.
"Ah, itu pisau terkecil yang aku punya." X meraih liontin berbentuk besi panjang itu dan mengusapnya pelan. Ia menekan tombol dibawah liontin dan munculkan sebilah logam seukuran kelingking dari dalamnya. "Walau kecil, dia mampu menusuk daging manusia dengan mudah." X menekan kembali tombol samar di bawah liontin itu, dan bilah logamnya lenyap.
Tamara membuka tangannya. "Boleh itu untukku?"
X menyerahkannya ringan. "Kupikir kamu akan ambil yang besar."
Tamara mengenakan periasan senjata itu dan kembali mengikuti langkah X yang mulai menjauh. Lagi-lagi matanya dibuat terpana. Kali ini, rak-rak berisi botol-botol kecil dan suntikan menyapa penglihatannya. Dengan beragam warna dan fungsi, mereka berjejer menjadi beberapa barisan rapi.
"Kau meraciknya?"tanya Tamara spontan.
X segera mengangguk. "Aku ahli kimia lho."
Tamara mendekat ke arah botol-botol itu. Mereka semua memiliki label keterangan yang dibutuhkan. Bius, Racun mati, Halusinasi, melemahkan tenaga, bahkan obat pusing, batuk, sesak napas juga tersedia. Tamara terpukau. Beberapa larutan dalam botol-botol dengan keterangan "Bahan" juga banyak sekali.
"Kalau ini, nanti aku bisa siapkan jadi satu paket jika ada tugas untukmu," ujar X mengikuti arah pandang Tamara yang sangat terpana, dan bersemangat.
"Terima kasih, X. Ini semua keren sekali." Tamara tersenyum lebar, matanya bahkan menyipit. X memandangnya tanpa berkedip, senyuman X ikut mengembang.
"Sama-sama. Kejutan dariku belum selesai lho." X meraih tangan Tamara dan membawanya masuk ke sebuah pintu lain dibalik meja racik milik X.
Sebuah lemari besar berisi banyak sekali baju dan perlengkapan penyamaran lain yang mendukung. X menggiringnya ke sebuah lemari yang terlihat paling modern diantara koleksi-koleksi lama.
"Ini, punyamu. Kau bisa membawa beberapa ke atas untuk diletakan di lemari kamar." X melepas tangannya. Membiarkan Tamara membuka lemari hitam minimalis itu dan menyentuh gaun-gaun hitam dengan berbagai bentuk, sepatu-sepatu moditfikasi seperti miliknya, wig rambut, beberapa jenis softlens juga tersedia. "Ah, di laci bagian bawah ada beberapa setelan baju beragam tipe untuk penyamaran dalam bentuk non-angel."
Tamara segera membuka laci bagian bawah, beberapa set baju modern khas remaja tersedia di dalamnya. "Kau boleh bawa beberapa naik ke atas, sisanya tinggalkan."
Tamara megangguk, dan segera mengambil beberapa gaun, wig, softlens, dan beberapa set baju lain.
"Jangan lupa juga bawa riasan." X membuka laci bagian tengah dan menyerahkan sebuah kotak berisi alat rias. "Kau tahu cara memakainya bukan?"
"Memangnya kalau aku tidak tahu, kau akan ajarkan?" Tamara menatap X penuh harap.
"Nggak gitu juga kali. Astaga nggak mun--"
"Ya 'kan siapa tahu, X itu--" potong Tamara.
"Itu apa? Astaga. Aku ini cowo tulen, dan bukannya aku keren ya?" balas X setengah emosi.
"Bercanda." Tamara tertawa melihat ekspresi wajah X yang rumit.
"Durhaka kamu. Baru juga aku berikan perlengkapan gratis huh," gerutu X kesal.
-----
Reynand membuka matanya setelah dua jam tertidur lelap. Ia merengganggkan tubuhnya sedikit sebelum bangkit keluar dari kamar. Ditatapnya Vandy yang sedang menonton televisi santai dengan baju tidur di ruang tengah. "Kak Vandy nggak kerja lagi?" tanyanya.
Vandy segera menoleh dengan mata menyipit. "Aku dan petugas lain sudah bekerja dari subuh dan tidak dapat apa-apa. Jadi aku yang tidak dijadwal untuk berjaga diberikan waktu istirahat."
"Oh iya benar juga." Reynand menatap matahari yang kini sudah berada diatas kepala. "Kakak nggak tidur?"
"Aku sudah tidur tadi." Vandy bangkit dari posisi malasnya. Membiarkan Reynand duduk disisinya. "Kamu masih sedih?"
"Kapan aku sedih?" Reynand memandang lamat-lamat foto mendiang ayahnya diatas televisi.
Vandy mengacak rambut Reynand gemas. "Dasar kamu Rey. Sudahlah nggak usah gengsi gitu."
"Gengsi apa sih?" Reynand menjawab ketus karena sifat Vandy yang sok tahu.
"Kamu masih sedih?" Vandy bertanya lagi.
"Tentang apa?" Reynand menatap kakaknya itu dalam.
"Tentang kepergian sahabatmu, tentang kepergian ayahmu. Masih sedih?"
"Siapa juga yang nggak sedih?" Reynand tersenyum kecil. Bola matanya turun menatap kakinya yang menapak di tanah.
'Kamu anak yang kuat, Rey." Vandy menepuk-nepuk pundak Reynand. "Mau makan diluar?" Vandy melirik jam tangannya, waktunya makan siang. Mungkin sangat baik jika Reynand menghirup udara segar tanpa memikirkan beban yang ada untuk sementara.
20/06/2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Deathless
Mystery / ThrillerTentang seorang gadis manis yang menyukai kematian karena ia merindukan kakak kesayangannya. BEST RANK #1 Death 23/06/2018 #15 Rindu 24/06/2018