[19] Suka Ya?

1.2K 125 5
                                    

Tamara menatap lurus kakinya yang bergerak maju dengan lambat. Kesunyian merambat sampai ke tulang, walau sesekali sayup-sayup suara kendaraan berlalu-lalang melewati mereka.

Reynand sendiri melempar pandang entah ke mana. Seolah menikmati waktu bersantai dengan sunyi, dan menyeret paksa Tamara di dalamnya.

Waktu semakin malam, dan mereka tertap berjalan memutari taman dengan lambat, tanpa bertukar kata. Sibuk merajut jaringan sel otak masing-masing.

"Tam." Reynand angkat suara, membuat Tamara menoleh. "Lo yakin nggak apa-apa? Ada masalah ya?"

"Tidak ada kok." Tamara memggeleng. Tidak mungkin menceritakan pembunuhan itu pada Reynand.

"Lo kayak baru aja kehilangan pegangan tadi." Reynand melanjutkan kalimatnya.

Ternyata kesunyian tadi diakibatkan Reynand menyusun satu persatu kata yang tepat untuk Tamara. "Lo boleh nangis kok, Tam. Nggak apa berduka sedikit lebih lama."

"Berduka apa?" Tamara melampirkan senyum.

"Lo abis kehilangan seseorang 'kan?" Tentu saja Reynand tahu persis itu. Hanya saja situasi memaksanya untuk berpura-pura tidak tahu. Tapi sayangnya dirinya tidak tahan melihat gadis itu. "Kelihatan jelas dari tatapan lu. Bener 'kan?"

Tamara mematung. Dia menatap kedua mata hitam Reynand yang hampir serupa garis. Kemudian air matanya luruh membanjiri pipi.

"Gue takut sendirian, Rey." Tamara menubruk tubuh Reynand dengan lemah. "Bokap gue meninggal beberapa waktu lalu dan ternyata sampai sekarang gue tetep gabisa adaptasi dengan kesendirian itu."

Reynand membiarkan Tamara membasahi bajunya dengan air mata. Tangannya bergerak perlahan memeluk gadis yang bahunya bergetar itu. "Tamara kuat kok ngelewatin semua ini."

Aku pengen ketemu Kakak, batin Tamara.

Reynand merengkuh tubuh Tamara dengan lembut. Ia memahami perasaannya, karena Reynand pernah kehilangan satu-satunya pegangannnya dalam hidup.

Tamara melepaskan pelukan mereka. Bahunya berhenti bergetar. Reynand segera mengambil botol air mineral dari dalam tas yang dibawanya.

"Nih minum."

Tamara meneguknya untuk menenangkan diri. "Makasih."

"Masih banyak yang sayang sama lo, Tam. Aila misalnya." Reynand menatap garis merah yang mulai samar di leher Tamara. "Jangan bertindak bodoh."

Tangannya mengacak rambut Tamara. "Jangan sedih terus dong. Gue 'kan jadi ga tega ngerjain lo kalau gini."

Tamara terkekeh. "Kalau gitu gue sedih terus aja biar nggak diganggu keisengan lu, Rey."

"Jangan gitu dong. Nanti gue jadi bosen." Reynand ikut tertawa.

Mereka berjalan pelan melintasi trotoar jalan raya. Sesekali mereka bertemu dengan polisi yang tengah berpatroli dsn menasehati mereka untuk segera berada di rumah.

"Rumah lo masih jauh, Tam?" Reynand menyadarkan Tamara dari lamunannya.

"Dikit lagi.Lagian kenapa dianterin sih? Terus nanti lo pulang gimana?" Tamara bertanya dengan khawatir.

"Iya dong. Lagian hari-hari ini sering ada pembunuhan." Reynand menatap Tamara berusaha menunjukan keseriusannya.

"Terus?" Tamara bertanya tidak mengerti. Setengah tidak sadar bahwa harusnya berpura-pura merasa takut.

DeathlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang