[38] Tembakan

1.3K 129 47
                                    

Tamara meluncur pelan melewati jalanan yang ramai. Matahari masih ada diatas kepala, mobil-mobil melaju santai dihadapannya. Sepuluh menit perjalanannya lancar walau melewati beberapa petugas yang berjaga setiap beberapa meter dan penampilannya yang terpasang di papan informasi kota. 

Namun, seketika laju-laju mobil di depannya melambat. Tamara mengangkat kepalanya sedikit. Beberapa petugas memberhentikan mobil di depannya, dan memeriksa mereka satu persatu. Sial. Tamara segera membanting stir, memutar arah. Aksinya itu membuat klakson mobil-mobil bersautan di jalan. 

Tamara menyalip beberapa kali agar gerakannya makin cepat. Namun, lagi-lagi mobil didepannya juga melambat bersamaan. Petugas-petugas memeriksa dari segala arah. Tamara membanting stir berbelok ke arah kanan di pertigaan besar. Kali ini, jalanan yang ia lewati cukup lenggang. Tamara menghembuskan napas lega. Sebelum akhirnya menginjak remnya secara mendadak karena ada seorang anak kecil berlari ke tengah jalan raya. 

Seorang ibu segera berlari memeluk anak laki-lakinya dan menatap garang.  "Keluar kamu pengemudi ugal-ugalan!" bentaknya  di depan mobil Tamara. 

Tamara menggerutu kesal, "Padahal anakmu yang salah." 

Seorang petugas yang berjaga diperempatan mendengar keributan itu dan berjalan mendekat. Tamara meliriknya dari kaca spion dan segera. Berbelok kasar dan menancap gas. Meninggalkan ibu dan anak itu yang berpelukan ketakutan ditengah jalan raya. Petugas itu segera mengeluarkan portofon dan melapor pada markas. 

Sirene segera meraung-raung di seluruh penjuru kota. Tamara mengcengkram stir mobilnya kencang. Ia berusaha berbelok kasar setiap kali melihat mobil polisi dari berbagai arah. Namun, waktunya terbatas. Kota Cariatas hanyalah kota kecil, dan mengepungnya dari segala sisi itu bukanlah perkara sulit yang memerlukan banyak waktu. 

Lima menit, Tamara terkepung dari berbagai arah. Ia menginjak rem, memelankan mobilnya perlahan. Dihadapannya matanya menangkap seseorang mengenakan masker dengan rambut biru yang menonjol menatapnya dingin. 

Mobil Tamara berhenti seketika, puluhan petugas turun dari mobilnya dan mendekat ke arahnya. Sosok berambut biru itu berjalan di depan. Mengarahkan senjatanya ke depan mobil Tamara. "Keluar!" 

"Ck. Padahal aku sangat menyukai penampilan seperti Kak Ara ini." Tamara menginjak gasnya secara mendadak. Mencapai kecepatan penuh ia berbelok kasar dan memaksa mobilnya masuk ke dalam celah yang tersedia. Kejar-kejaran kembali terjadi. Tamara berhasil masuk ke dalam hutan dan melewati jalan berkelok-kelok di sana. Suara sirene meraung-raung memekakan telinga. Belasan mobil mengejarnya tanpa ampun. 

Beberapa tembakan terlepas membuat Tamara harus menunduk beberapa kali. Tamara memaksa mobilnya berkelit, menghindari belasan peluru yang tertuju padanya. Henz mengeluarkan kepalanya dari jendela. Ia membidik roda mobil Tamara dan membidiknya tepat sasaran. Membuat  mobil Tamara oleng dan menabrak pepohonan.  

Belasan mobil polisi bergerak cepat dan mengepungnya. Tamara mengambil pisaunya walau itu tidak ada apa-apanya dibanding belasan moncong pistol yang terara kepadanya. 

"Keluar!" Henz berseru sekali lagi. 

Tamara menyadari posisinya, namun ia tidak gemetar, apalagi takut. Hatinya diliputi rasa bersalah dan amarah, hatinya mati rasa. Tamara keluar membuka pintu mobilnya dan segera melompat lincah. Ia menendang seorang polisi yang berada di depannya dan mengambil pistol dari tangannya. 

Tamara berlari cepat seraya menembak ke segala arah. Ia berusaha berkelit dari peluru yang sampai ke matanya, menunduk, melompat, berbalik tanpa menghentikan pelurunya mengenai beberapa polisi yang tidak sigap. Aksinya cukup hebat dan didukung tubuhnya yang mungil dengan refleks baik. Namun, kekuatan fisiknya menjadi penghalang. Napasnya mulai terengah dan langkahnya melambat. 

Dor!

Satu peluru berhasil menembus lengannya. Membuat teriak lolos dari mulutnya. Air matanya mulai mendesak keluar karena rasa sakit, namun anehnya rasa lega memenuhi hatinya. Pistolnya terlepas dari tangan.

"Masih mau melawan, Nona Angel?" Henz angkat suara. Ia mendekat pada Tamara tanpa menurunkan moncong pistol yang mengarah tepat ke kepala. 

Tamara terengah. Senyumnya merekah saat sosok yang paling ia sayangi berada tepat dihadapannya. Ia menatap Tamara dingin. Namun, dibalik topeng dinginnya, Tamara menangkap kepedihan di sana. 

"Aku keras kepala sekali ya, Kak?" katanya yang membuat sebagian petugas menurunkan senjata. "Padahal Kakak baru saja memperingatkan aku."

Laura bergeming. 

"Tapi anehnya, aku merasa lega." Tamara berjalan mendekat ke arah Laura yang secara kasat mata  berjalan mendekati Henz. Henz menyipitkan matanya. Memandang adegan itu penuh curiga. "Karena aku akan merasakan rasa sakit yang dirasakan Elysia." 

Laura mengangkat serulingnya. Senyum Tamara mengembang lebar. "Akhirnya, aku bisa mendengar suara melodi Kakak yang indah." Laura memulai melodinya. 

Tamara segera memejamkan matanya. Menikmati alunan melodi maut yang tidak membuatnya takut. Laura mengambil jeda. Ia menatap nanar adiknya yang akan segera menemui Kematian yang sesungguhnya. Tamara membuka matanya, ia menubruk Kakaknya secara mendadak. 

Pergerakan itu membuat Henz terkejut dan refleks melepas tembakan. Tembakan yang akan ia sesali selamanya.  

"Mara sayang banget sama Kakak," bisik Tamara ditelinga Laura untuk terakhir kalinya.

Laura melanjutkan melodinya yang tertunda. Cahaya hitam segera keluar dari tubuh Tamara dan melayang lembut ke arahnya. Tubuh Tamara segera ambruk ke bawah. Laura bergeming sejenak. Sebelum akhirnya ia membiarkan jiwa adiknya itu pergi ke neraka karena dosanya. 

Para petugas mendekat ke arah jasad Tamara dengan wajah senang yang tidak dapat mereka sembunyikan. Petugas medis segera menerobos kerumunan itu dan mengangkut jasad Tamara ke dalam mobil ambulans untuk otopsi. 

"Kita berhasil Henz." Vandy menyenggol Henz dengan riang. 

Henz bergeming. 

"Henz?" panggil Vandy sekali lagi. 

Henz mundur selangkah dan jatuh tersandung kakinya sendiri. Menatap sesosok gadis bertudung hitam berdiri membelakanginya. Laura yang menyadari keanehan itu segera berbalik. Ia menatap Henz dingin. "Orang yang kau tembak adalah adikku." Detik berikutnya angin dingin berhembus dan Laura menghilang. 

28/06/3018

A/N: Gimana perasaan kalian?

DeathlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang