Tamara memandangi jalanan lenggang di kota barunya. Kediaman X memang berada di kota Gradenia, perjalananya memakan waktu satu jam dari kota tempat tinggal Tamara. Ah, Tamara jadi membayangkan seperti apa rumahnya yang tidak terurus lagi.
Maaf Daddy Mara jadi anak yang nakal. Tamara tersenyum simpul. Jika Ayahnya melihatnya seperti ini, mungkin Dia akan memeluk Tamara dan menasehatinya dengan kata-kata manis seperti, "Aku tidak mau kehilangan siapa-siapa lagi, Mara. Tidak mau. Cukup hentikan sekarang juga."
"Ara, kamu nggak apa?" tanya X memecah lamunannya.
Tamara mengedipkan matanya cepat. Pikirannya ngelantur sekali hingga tangisnya hampir keluar. "Ah, maaf. Aku nggak apa."
Tamara melayangkan pandangannya pada matahari yang bergerak tenggelam dengan cantik.
X berhenti disebuah cafe. X mematikan mobilnya dan segera berputar untuk membuka pintu untuk Tamara. Tamara keluar dan menggumamkan 'Terima kasih.' Mereka masuk ke dalam cafe itu. Pelanggannya cukup ramai membuat Tamara risih, bagaimana mereka membicarakan itu di sini?
"Yo, Theo! Klienmu sudah menunggu di dalam." Seorang peracik kopi melambaikan tangan ke arah mereka.
X menarik Tamara masuk ke dalam kerumunan dan menuju lorong yang berada di sisi kanan cafe. Tamara dalam diam berpikir. Sosok fiksi 'Theo' dikenali orang asing? Bukankah itu berbahaya?
Clek
"Kau tidak punya tempat yang lebih baik ya untuk bertemu?" keluh seorang laki-laki yang mengenakan jas kebesaran di sofa merah.
"Bukankah ini sudah baik, Tuan Fiaz?" X tersenyum simpul, kemudian duduk dihadapan kliennya.
Tamara sedikit terpesona dengan desain ruangan ini, ukurannya empat kali empat meter, dengan dinding berwarna hitam dengan penerangan remang-remang. Terdapat dua buah sofa merah yang diantaranya terdapat meja bundar kecil dan lantai marmer berwarna hitam putih yang tersusun selang-seling seperti papan catur.
"Ini sih bukan levelku," katanya dengan senyum meremehkan.
X tetap mengembangkan senyumnya. "Jadi tugas apa yang akan diberikan Tuan Fiaz sampai memaksa bertatap muka seperti ini?"
"Kau benaran bisa membunuh memangnya? Penampilanmu tidak meyakinkan," katanya sambil memandang X dari atas ke bawah.
"Memangnya terlihat tidak bisa?" X tertawa. "Kalau tidak percaya denganku ya sudah."
"Baik-baik. Aku ingin kau membunuh pria ini." Ia menyodorkan foto seseorang laki-laki muda yang tersenyum di depan gedung perusahaan.
"Kenapa aku harus membunuhnya?" tanya X serius.
"Karena dia telah menipu dan membawa kabur uangku." Raut wajahnya berubah sendu. "Maaf kalau aku menghinamu. Aku tidak ingin tertipu lagi," katanya dengan nada suara berbeda.
Tamara hanya menatap adegan itu lamat-lamat.
"Aku tahu perusahaanmu bangkrut karenanya, Tuan Fiaz. Tidak usah berpura-pura lagi dihadapanku, memuakan." X tersenyum ganjil.
Fiaz tampak terkejut dan spontan melepas jasnya. "Tenang saja aku bisa membayarmu."
"Baiklah akan kubalaskan dendammu, Tuan." X menurunkan senyumnya. "Silakan bayar jika berita kematiannya sudah kau dengar ditelinga. Kalau tidak, aku yang akan membunuhmu."
Fiaz mengangguk setuju. "Ini informasi tentangnya." Ia menyerahkan catatan miliknya.
X menerima catatan itu dan berkata dingin. "Aku tunggu bayarannya besok pagi."
Itu berarti Tamara akan mendapat tugas malam ini. Hatinya terasa senang membayangkan wajah kakaknya yang datar itu dan kesempatan berbicara dengannya selama beberapa detik. Menyenangkan sekali.
X bangkit dan meninggalkan ruangan itu, Tamara mengikuti.
"Bagaimana bisnismu, Theo? Lancar?" Peracik kopi itu melontarkan pertanyaan basa-basi dan dua gelas kopi ke arah mereka dan membuat mereka terpaksa duduk di meja bar.
"Lancar kok, Sam." X meneguk kopinya.
Tamara menatap laki-laki dihadapannya yang kira-kira berusia dua puluh tahunan.
"Baguslah kalau begitu," katanya sambil melirikku. "Kamu siapanya Theo nona manis? Pacar barunya?" lanjutnya.
Tamara bergeming, bingung harus merespon bagaimana.
"Maaf dia agak pemalu," X mengambil alih pembicaraan. "Namanya Ara."
"Woaah dia beneran pacarmu nih?" Matanya tampak berbinar senang. "Akhirnya sahabatku puunya pacar!" Peracik kopi itu mengulurkan tangan ke arah Tamara. "Namaku Samuel, baik-baik yah sama Theo, dia ini sudah cukup tua dan orangnya kaku, tapi dia baik kok."
"Ara," jawab Tamara singkat dengan lampiran senyum.
"Maaf kami harus segera pergi." X bangkit dan menarik tangan Tamara cepat.
"Hati-hati kalian!" serunya sebelum kembali bekerja.
Ketika mereka sudah berada di dalam mobil, satu pertanyaan terlontar dari mulut Tamara. "Bagaimana bisa Samuel mengenal Theo?"
X tertawa lepas. "Dari tadi kau sibuk memikirkan itu ya? Astaga lucunya. Tentu saja dia kenal, aku yang memberinya uang untuk membangun usaha ini dengan syarat memberikan ruangan spesial untukku."
"Dia menganggap Theo sahabat karena telah memberikannya modal usaha, tanpa tahu apa pekerjaan Theo atau siapa Theo. Dia hanyalah orang kecil yang ingin sukses," jelas X yang menjawab kebingungan Tamara yang menggantung.
"Masih banyak lagi samaranmu yang dikenal orang?" tanya Tamara penasaran.
"Coba saja tebak." X melajukan mobilnya membelah langit yang kini sudah bertaburan bintang.
Tamara memutar bola matanya. Ia mengalihkan pembicaraan. "Kau akan memberiku tugas malam ini?" tanyanya lagi.
"Ya. Aku ingin melihat hasil latihanmu denganku selama ini."
Senyuman Tamara segera mengembang mendengarnya.
"Kau segitu sukanya membunuh orang lain?"
"Kau bukannya suka juga? Kenapa kau bertanya begitu?" Tamara menatap X heran. Dia adalah pembunuh yang jauh lebih handal dari Tamara, aneh rasanya dia melontarkan pertanyaan barusan.
"Yah, aku tidak pernah tersenyum lebar ketika disuruh membunuh seseorang." X menatap lurus jalan raya. "Kecuali untuk menakut-nakuti korban, aku akan tersenyum."
Tamara tertawa. "Itu sama saja bodoh!"
"Kau berani mengataiku bodoh?" X menekan nada suaranya agar terdengar marah.
21/06/2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Deathless
Mystery / ThrillerTentang seorang gadis manis yang menyukai kematian karena ia merindukan kakak kesayangannya. BEST RANK #1 Death 23/06/2018 #15 Rindu 24/06/2018