[29] Bahagia Keduanya

1K 117 5
                                    

Malam semakin larut dan Tamara kembali bersiap dengan penampilan yang berbeda. Ia mengenakan gaun hitam polos selutut, dengan sepatu pantofel modifikasi seperti biasanya. Gaun hitam selutut dari X memiliki kantung rahasia yang tersamar dibagian bawahnya, di sana Tamara meletakan suntikan bius dan racu, serta kawat yang diberikan X padanya beberapa saat lalu.

Setelah memantapkan diri, Tamara keluar dari kamarnya. X yang kembali bermata biru dengan rambut hitam berantakan dan kaus santai berwarna biru. "Mau ku antar? Kamu 'kan tidak hafal daerah sini."

Tamara mengangguk. Lagipula mencari alamat tengah malam buta untuk membunuh sama sekali tidak lucu. X menyalakan mobilnya dan melajukannya, lima belas menit mereka tiba di depan kawasan orang kaya. Mobil X berputar menjauhi pintu masuk, ia mencari dinding belakang yang bisa dipanjat. Setelah berputar cukup jauh karena kawasan itu luas, X memberhentikan mobil.

"Kau naik saja ke atas mobil ini dan melompat masuk dengan cepat. Gunakan obat bius dan racun itu saat terdesak, mengerti?" perintah X dengan tatapan dingin.

Tamara mengenakan sarung tangannya dan segera keluar dari mobil, lalu memanjat naik. Ia mengintip dari tepi dinding untuk memastikan keadaan. Ketika dirasa aman, Tamara melompati dinding itu dan mendarat dengan sempurna. Latihannya membuatnya menjadi lebih cekatan. Ia berjalan santai diantara kegelapan yang sunyi, suara motor petugas keamanan pun tidak terdengar selagi Tamara sibuk berputar-putar mencari alamat yang harus ia tuju.

Sepuluh menit berkeliling, suara motor mulai terdengar dari kejauhan. Tamara mempercepat langkah, mengikuti rima detak jantungnya yang semakin cepat. Tamara menemukan rumahnya, ia segera meraih dua bilah kawat yang sudah dibentuk menjadi pemutar kunci dan penekan pen. Tangannya bergerak cepat memutar kawat pemutar, kemudian tangan lainnya memasukan penekan kunci dan menakan satu persatu pola besi di dalamnya.

Tamara menahan napasnya saat suara kendaraan roda dua itu mendekat. Lampu berwarna kuningnya terlihat samar-samar dari kejauhan.

Klik

Tamara segera masuk ke dalam dan mengembuskan napas lega.Ia segera masuk ke dalam kamar utama dan memandang dingin seorang pria yang tidur di sana. Tanpa menunggu lama Tamara segera menghujamkan pisaunya tepat ke dada pria itu, membuat kedua matanya terbuka karena kaget dan mati seketika. Tamara tersenyum senang. Ia melanjutkan aksinya dengan meneruskan garis yang telah dibuatnya sampai ke batas perut, terakhir ia kembali meninggalkan tanda 'Angel of Death' yang kali ini ia ukir di telapak tangan korbannya.

"Sampai kapan kau melakukan ini?" Laura menurunkan serulingnya. Ia menatap adiknya dingin. "Sampai kapan kau mencari-cari kematian?"

Tamara segera memeluk kakaknya erat. Laura hanya bergeming, menunggu pertanyaannya dibalas. "Sampai aku puas bertemu kakak," jawabnya ringan.

"Kak biarkan aku puas memelukmu, lima menit saja." Tamara mengeratkan pelukannya. Ia tidak suka dengan kelakukan kakaknya yang menghilang tiba-tiba.

"Kau itu pembunuh paling payah tahu? Bukannya cepat melarikan diri malah berinteraksi denganku." Laura tersenyum tipis. "Dasar adik bodoh."

"Jangan bilang aku bodoh, nanti Kakak malu."

"Kenapa aku harus malu?" Laura melembutkan suaranya.

"Karena Kakak nanti semua orang tahu kalau Kakak punya adik yang bodoh." Tamara melepas pelukannya. "Kakak suka ketemu Mara 'kan?"

Ekspresi di wajah Laura hilang seketika. "Tidak."

Tamara menatap kakaknya dengan sendu. "Tapi aku senang ketemu Kakak. Jadi kita harus sering ketemu ya?"

Hembusan angin dingin berikutnya, Laura menghilang. Tamara tersenyum simpul. Hatinya sudah cukup menghangat mendengar kalimat bernada kakaknya barusan. Itu cukup untuk membunuh kerinduannya untuk beberapa waktu ke depan.

-----

Reynand dan Vandy menerima telepon dari markas pagi-pagi sekali. Cukup untuk membuat dua orang itu melotot sempurna dari alam mimpi. Mereka segera mempersiapkan diri dengan tampilan masing-masing dan segera meluncur menuju markas melalui jalanan yang lenggang.

"Angel ada di kota Gradenia. Dia baru saja melakukan pembunuhan terhadap pengusaha muda yang baru sukses," jelas komandan saat mereka tiba di ruang rapat.

"Bukankah itu bukan tanggung jawab kita?" tanya salah seorang petugas.

"Tentu saja bukan." Mata komandan beralih pada Henz yang masih membeku di depan pintu. "Tapi mereka membutuhkan informasi dari kita, Henz." Ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah Henz. "Mereka membutuhkanmu, dan kau akan mendapat lebih banyak informasi untuk memecahkan kasus ini, Detektif Henz."

Komandan berbalik, menatap sembilan orang lain di markas. "Dan kita harus berjaga, agar penjahat itu tidak lagi berulah di kota kita."

Vandy menarik Henz keluar dari markas. "Kenapa kau membeku begitu?" tanya Vandy membuyarkan lamunan Henz.

"Tidak tahu, rasanya aneh." Henz mendahului Vandy masuk ke dalam mobil.

"Aneh bagaimana?" Vandy duduk di tempatnya dan mengenakan sabuk pengaman.

"Entahlah. Aku juga tidak mengerti." Henz melepas maskerny. Dia memikirkan perasaan tak nyaman yang dirasakan begitu mendengar kota Gradenia. "Aku aneh."

"Jangan dipikirkan lebih lanjut, jaga pikiranmu agar tetap fokus." Vandy melajukan mobil. "Kami kepolisian Cariatas percaya padamu, Henz," ujarnya agar kepercayaan diri Reynand naik kembali.

Reynand tersenyum. "Aku akan berterima kasih pada Tuhan karena memberikanku Kakak yang baik."

"Apa katamu?!" Vandy menginjak rem secara spontan.

"Aku 'kan memang memanggilmu, Kak Vandy." Reynand membuang wajahnya.

Vandy tertawa. "Dasar bocah bodoh."

"Oh jadi Kepolisian Cariatas percaya pada bocah bodoh?" canda Reynand seraya tertawa.

21/06/2018

A/N : Maaf ya kalau banyak tipo dan kesalahan yang ada. Icha sedang mengejar kata tamat sebelum akhir Juni dengan menulis dari malam sampai subuh.

Maafkan icha kalau membuat kalian vingung :")

DeathlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang