[13] Dia Membunuhku

1.4K 139 3
                                    

"Kita tunggu dia sampai selesai makan." Angel mengintruksi Artur tanpa suara.

Artur mengangguk samar, kemudian melanjutkan makannya. Lenggang tiga puluh menit, mereka selesai. Angel membayar makanan mereka dengan anggun.

Demikian juga meja di sana. Gadis itu sudah berpamitan mesra dengan kekasihnya. Ia terlihat menolak mati-matian inisiatif kekasihnya untuk mengantarkannya pulang.

Keputusan buruk.

Angel memundurkan kursi dan bangkit berdiri. Artur mengikuti seraya mengulurkan tangan dan lagsung disambut oleh Angel. Mereka berdua bergandengan berjalan keluar masuk ke dalam gang kecil di sebelah gedung.

Bingo.

Tebakannya tepat, gadis mungil manis itu tengah menyesap satu batang rokok diam-diam.

"Kenapa liat-liat?" Dia mematap kami risih.

Angel tersenyum. Ia berbisik. "Kau tahu harus melakukan apa bukan? Bersenang-senanglah!"

Setelah itu ia melepas cengkrama kemesraan mereka dan berjalan anggun keluar gang kecil. Mengawasi dan berjaga dengan situasi.

"Mau apa lo?" Gadis mungil itu menurunkan batang rokoknya. Rasa takut mulai menyelimutinya.

Artur memasang sarung tangannya dengan cepat.

Gadis itu dengan payah mengambil sepatu hak tingginya dan mengarahkannya para Artur. Artur merangsek maju mengcengkram kuat leher gadis itu dan menatapnya penuh emosi.

Senyumannya mengembang saat tubuh mungil itu meronta dan megap-megap kehabisan napas. Wajahnya mulai membiru dan ia jatuh  lemas ke tanah.

Artur memeriksa nadi gadis itu. Tidak ada lagi. Ia menahan kekehan diujung mulut demi sandiwaranya. Kemudian diraihnya pisau dalam sepatunya dan ia menusuk tenggorokan korban pertamanya dengan lembut.

Artur melepaskan sarung tangan, kemudian memasukannya ke saku dan berjalan santai menjemput Angel. Angel segera menggandeng Artur dengan senyuman lebar seraya melirik Laura yang menatapnya datar diujung tempat kejadian perkara.

"Melihatmu saja sudah bikin aku senang, Kak."

Angel melanjutkan penyamarannya dengan Artur dan menghilang dengan cepat.

-----------------

"Kita harus belajar bahasa isyarat, Ely. Kemudian wajahmu juga harus disamarkan lagi," kata Tamara ketika mereka berdua tengah beristirahat di kamar Ely dan sudah melepas penyamaran.

Ely mengangguk. Ia menatap kedua tangannya yang sudah tidak suci lagi.

"Menyesal 'kah?" Tamara melempar senyum remeh.

Elysia mengepalkan tangannya. "Tentu saja tidak! Itu menyenangkan sekali! Ternyata membunuh orang semudah itu!" Ia melepas kekehannya ke udara.

"Memang mudah. Tapi tetap harus berhati-hati agar tidak meninggalkan jejak." Tamara menepuk kepala Elysia dengan lembut.

"Sampai bertemu di sekolah." Tamara bangkit. Kemudian membereskan isi tasnya.

Ely mengangguk dan mengantarkan Tamara sampai pintu depan. Waktu menunjukan pukul tiga pagi, masih ada beberapa jam tidur untuk Tamara dan sirine mobil polisi saling bersautan di jalan utama.

-------------

"Kita kelolosan lagi." Salah seorang anggota polisi yang tengah berpatroli itu menunduk.

Ia kalah cepat. Saat pembunuhan berlangsung sepertinya dirinya tengah menyisir bagian lain dari tempat ini.

Henz mengacak rambutnya kesal. "Sepuluh orang patroli tidak cukup untuk menangkap satu bedebah ini ya?" sindirnya kesal. Tahu begini ia abaikan nasihat Vandy yang berkata dirinya harus tidur untuk tumbuh kembang dan kesehatan remaja.

"Sudahlah!" Henz menaiki mobil polisi dengan kesal. Lagi-lagi tidak ada jejak yang ia dapatkan. Mengesalkan. Bahkan saksi mata tidak ada sama sekali. Ia bahkan sudah menayai semua pelayan restoran dan katanya tidak ada pengunjung yang tampak aneh.

"Mereka senua tidak peka!" Henz meracau kemudian meletakan kepalanya diatas dashboard.

"Heh, kalimat macam apa itu. Tidak keren sama sekali." Vandy mendudukan diri di kursi kemudi dan melempar satu set seragam pada Henz.

"Aku tidak mood sekolah. Bolos saja ya hari ini."

Vandy menggeleng dengan tegas. "Kau harus tetap sekolah. Memangnya tidak ada gadis yang ingin kau temui?" ledeknya.

"Ada sih. Buat diisengin mah." Henz menegakan posisi dan mengenakan sabuk pengaman.

"Waaah?" Vandy melajukan mobil membelah embum pagi. Berbalapan dengan mentari yang ingin mencerahakan hari.

"Kenapa kasus ini rumit sekali?" Henz meracau kesal.

"Karena yah, masyarakat kota ini tidak aktif di malam hari dan cenderung cuek dengan lingkungan sekitarnya. Jikalau aktif pun paling tempat-tempat yang berisi orang mabuk atau paling bagus restoran dan minimaket." Vandy menerawang jauh.

"Dan lagi, sepertinya ia bukan pembunuh amatir yang tidak punya tujuan. Karena lihai sekali bergerak tanpa meninggalkan jejak itu hebat lho." Vandy berbelok menjauhi kepadatan kota.

Henz serius mendengarkan. "Tapi bukannya ia membunuh tanpa pola? Pertama kali pegawai minimaket, kedua pengusaha tingkat menengah, terakhir anak sekolah?"

"Rencananya terlalu matang unuk pembuhan dengan motif kesenangan saja. Lagipula kau berpikir tidak? Masa sih dari semua petugas yang ada tidak ada satu pun orang yang melihat orang aneh berkeliaran di malam hari?"  Vandy menghentikan laju mobil. Mereka sudah tiba. "Sana ganti baju!"

Mereka berdua segera turun dari mobil dan bersiap menjadi warga biasa. Sementara itu,  pikiran Henz menerawang jauh. Jiwanya merasa terbebani jika ada kasus yang tidak selesai. Hatinya tidak tenang, rasanya seperti ayahnya akan turun ke bumi lagi untuk memarahinya jika tugasnya tidak selesai dengan cepat.

"Pembunuh amatir pasti meninggalkan jejak," pikirnya setelah kembali mendudukan dirinya di dalam mobil penyamaran.

"Yap." Vandy melajukan mobil, memberangkatkan Reynand ke sekolah.

"Kau sudah mengerjakan tugas?" Vandy melirik Reynand.

"Mmm." Reynand memejamkan matanya. Ia membalik posisi tubuhnya agar meringkuk menghadap jendela. Ia butuh tidur, sebentar,hanya lima belas menit perjalanan.

Vandy tersenyum simpul. "Pasti lelah sekali ya anak muda jenius?" Kemudian kekehannya terlepas ke udara.

"Rey!" seruan Vandy membuat Reynand tersentak.

"Apaan sih kak, santai aj----" Reynand tidak mampu melanjutkan kalimatnya.

Mengikuti refleks, kedua orang itu segera turun dari mobil dan terperangah kaget. Sesosok laki-laki tergeletak penuh darah di lapangan sekolah.

Murid-murid seakan terpaku memandangi jasad itu, bahkan beberapa diantaranya muntah di tempat.

Reynand dengan cekatan menelpon rumah sakit dan kepolisian. Sementara Vandy berlari masuk ke dalam sekolah dan menaiki banyak tangga untuk tiba di atap.

"Kamu membunuhnya?" Vandy memasukan satu tangannya ke dalam saku. Bersiap jika tembakan diperlukan.  Sosok gadis dengan gemetar menatapnya dengan cucuran air mata dan langsung menubruknya.

"Dia yang membunuhku."

28/04/2018

A/N: dah lama icha nggak sapa kalian!! Hallo! Gimana pendapat kalian soal Deathless sejauh ini? ^^

Ah. Maaf ya kalau banyak tipo :( icha nulis di hp, jempol suka khilaf . 

DeathlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang