[27] Tidak Pernah Ditemukan

1.2K 127 14
                                    

Mereka berdua kembali ke ruang perpustakaan. Menutup jalan rahasia yang ada dan Tamara segera kembali ke dalam kamarnya untuk membereskan tambahan perlengkapan yang ia peroleh. X sendiri sibuk mengangkat telepon dan pergi menjauh. 

Tamara membuka pintu kamar, menutup jendela dengan gorden dan meletakan satu persatu perlengkapannya ke dalam bagian lemari yang masih kosong. Kini, lemarinya terasa penuh dengan banyak sepatu dan juga gaun hitam polos berbagai model, beberapa wig dan riasan wajah. Tamara tersenyum kecil. Setidaknya, saat ini dia fokus mengejar kakaknya, tidak pusing-pusing lagi dengan keuangannya yang menipis. 

 Tamara baru saja selesai merapikan lemari saat pintu kamarnya diketuk. "Aku akan bertemu klien sekarang. Kamu mau ikut?" 

"Bertemu klien?" Tamara tidak mengerti. Bukankah X adalah seseorang dari baliklayar yang identitasnya tidak diketahui. 

X tertawa kecil menyadari kebingungan anak didiknya itu. "Ya bertemu. Dia ngotot sekali ingin menemuiku."

"Kenapa dia ingin bertemu denganmu?" Tamara menyelidik heran.

X mengangkat kedua bahunya. "Sekalian jalan-jalan. Aku juga ingin lihat seberapa ahli kau menyamar, Angel."

Tamara bergeming, bahkan hingga X menutup pintu kamarnya lagi.  Ia menepis kebingungannya dan mulai bersiap-siap menjadi orang lain lagi. Tamara selesai berdandan satu jam berikutnya. Ia memandang penampilannya dalam cermin besar dalam kamar.  

Tamara membuat rambut cokelatnya bergelombang dibagian bawah, ia menambahkan beberapa rambut palsu bergelombang berwarna cokelat muda.  Bola matanya kini berwarna biru terang, bibirnya pink cerah. Tamara mengenakan sweater  putih lengan panjang, dipadukan dengan rok pendek kotak-kotak hitam putih. Terakhir ia mengenakan stocking hitam dengan sepatu boots cokelat.  Tidak lupa ia mengenakan kalung yang baru ia dapat dari X. 

Tamara tersenyum puas dengan penyamaran yang ia anggap sempurna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tamara tersenyum puas dengan penyamaran yang ia anggap sempurna. Ia berhenti sejenak, memastikan sebilah pisau sudah tersembunyi dengan baik dibalik alas sepatunya. Kemudian ia keluar kamarnya dengan mantap. 

"X aku siap!" serunya di depan pintu kamar X. 

Dua detik keluar X keluar dengan dandanan berbeda. Mata birunya yang dingin ia ganti warnanya menjadi hitam dengan kacamata bulat lucu bertengger dihidungnya, Ia mengenakan wig berwarna cokelat seperti Tamara. X mengenakan kaos putih polos yang kemudian dilapisi kemeja kotak-kotak hitam putih, dengan celana jeans hitam panjang dan sepatu putih. 

"Wuah. Penampilan kita cocok sekali." X menertawai kebetulan ini. "Aku belum memilih nama, kamu, Ngel?" 

Tamara bergumam pelan sejenak. "Namaku Ara." Karena aku kangen Kak Ara, lanjutnya dalam hati. 

"Baiklah Ara. Panggil aku Theo." X mengulurkan tangan yang langsung disambut Tamara. "Mari kita berangkat." 

------

Reynand menahap burger dihadapannya dengan malas. Nafsu makannya menurun. Ia baru saja kehilangan segalanua, bahkan kepercayaan diri terhadap otak jeniusnya pun hilang. Vandy berpikir keras bagaimana mengembalikan semangat Reynand. 

"Kau masih tidak suka minum air mineral, Rey? Itu tidak baik lho," nasihat Vandy teringat akan ketidaksukaan Reynand yang ia lupakan. 

Reynand menatap Vandy sejenak, kemudian melanjutkan makan dengan cuek. 

"Rey. Kau tahu kenapa Ayahmu meninggal?" pertanyan Vandy kali ini membuat Reynand menurunkan burgernya. 

"Kau mau membahas hal itu di sini?" Reynand mengerutkan kening. Nafsu makannya bisa benar-benar hancur. 

"Aku tahu kau bukan orang yang bisa dihibur dengan kata-kata manis, Rey. Kau lebih suka dihibur dengan fakta yang ada, bukan kebohongan baik semata." Vandy melanjutkan makannya cuek. Ia membuat Reynand menatapnya heran. "Sudah makan cepat, nanti aku ceritakan di perjalanan pulang oke?" 

Reynand seperti mendapat sebuah tantangan, ia menghabiskan burger itu dengan cepat demi memuaskan rasa penasarannya. Vandy menahan tawanya melihat Reynand makan terburu-buru dan berantakan seperti anak kecil. Ia menghabiskan burgernya dengan santai. 

"Ayo cepat, Kak!" serunya bersemangat. Ia penasaran. Penasaran sekali. Ia hanya tahu ayahnya mati tertembak seorang penjahat. Hanya itu, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada celah untuk Reynand bertanya lebih lanjut baik beberapa tahun silam, maupun saat ia bertugas menjadi detektif kepolisian kota. 

Vandy menghabiskan burgernya dan mereka segera beranjak ke mobil, masuk ke dalamnya dan Vandy tertawa lepas melihat ekspresi Reynand yang bersemangat. "Ini bukannya harusnya topik yang paling enggan kau bahas ya?" 

Reynand menggeleng. "Aku penasaran sekali."

"Jadi apa kau tahu kenapa Ayahmu meninggal?" tanya Vandy sekali lagi. 

"Aku hanya tahu, dia meninggal karena tertembak tepat dibagian kepalanya," katanya sambil membongkar ingatan. 

"Sebenarnya itu adalah kegagalan pertama Ayahmu dalam memecahkan kasus." Vandy menatap binar Reynand yang meredup. "Dia tidak bisa menangkap penjahat yang tidak pernah ditemukan." 

"Apa?" Reynand tidak mengerti. 

"Penjahat itu begitu ahli menyamar menjadi siapa saja, bergerak dengan baik tanpa jejak dan selalu memiliki tujuan tersendiri. Dia juga suka meninggalkan tanda bagi para korbannya seperti kasus yang kau terima belakangan ini, Rey." Vandy mengambil jeda sejenak. Senyumnya memudar. "Dia menamai dirinya 'X' dan yah itu memang cocok untuknya, selalu dicari dan tidak pernah ditemukan." 

Reynand bergeming. Ia baru tahu fakta itu. 

"Jadi, Rey. Dibalik kisah-kisah dan kemampuan hebat Ayahmu. Dia juga manusia yang terbatas sepertimu. Dia juga memiliki kasus yang sulit ia pecahkan." Vandy mengembangkan senyumnya lagi. Ia melihar binar dari kedua mata hitam dihadapannya. "Bakatmu keren untuk anak remaja seusiamu. Jangan terlalu memusingkan beban karena dibayangi jejak cemerlang Ayahmu." 

Reynand menundukan kepalanya. Ia suka Vandy, ia suka kata-katanya, ia suka bagaimana Vandy memperlakukan dan mengerti dirinya.

"Kamu akan meniti jejakmu sendiri, bahkan lebih hebat dari Ayahmu dan mungkin menangkap 'X' yang gagal ditangkap Ayahmu di masa depan nanti." Vandy menepuk bahu Reynand lembut. "Kau pasti bisa memecahkan kasus 'Angel of Death' jadikan kasus ini batu loncatan untukmu." 

Reynand menteskan air mata. Beban yang ia topang sendirian sejak kematian ayahnya kini telepas begitu saja. 

20/06/2018

DeathlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang