X tiba di rumah tepat saat matahari memancarkan semburat orange dan menghilang menyisakan kegelapan. Tamara dan Elysia baru saja selesai membersihkan diri setelah berlatih lempar pisau dan tembakan merereka sepanjang siang.
"Kita ada misi. Malam ini. Elysia kau bersiap sebagai Artur." X berkata dingin pada dua orang dihadapannya.
Elysia membeku. Tamara refleks menolak. "Apa kenapa Artur? Kau tidak lihat diluar sana banyak polisi yang berjaga?!"
"Aku tidak peduli. Aku juga harus mengecek kemampuan Artur setelah latihan denganku." Mata biru itu menatap Tamara dingin. Membuat Tamara seketika takut menyela perintahnya.
"Baik." Elysia segera berbalik kembali ke kamarnya, mempersiapkan penyamarannya.
"Memangnya siapa target kali ini, sampai kau memaksa begitu, X?" Tamara memberanikan diri bertanya.
"Hanya dua orang yang tinggal di rumah tepi hutan." Jawaban X membuat kening Tamara berkerut. Lalu kenapa harus terburu-buru sekali?, batinnya heran.
Artur keluar setelah Tamara dan X setengah jam menunggu. Sepertinya Elysia meningkatkan kemampuan menyamarnya selama ia dan Tamara berpisah.
"Penyamaranmu sempurna sekali," puji Tamara melihat sosok laki-laki tampan dalam wujud Artur.
X hanya menatap Artur sekilas dan berbalik pergi keluar dari rumah. Tamara dan Elysia mengikuti dalam sunyi. X melajukan mobil mereka, membelah hutan yang membatasi Gradenia dan Cariatas. Berhenti tepat beberapa meter dari sebuah rumah yang berada ditepi hutan. X memberikan dua buah pistol. "Kau gunakan ini. Jangan takut-takut untuk menembak siapapun yang kau dilihat di dalam sana."
Artur menggangguk patuh dan segera keluar dari mobil. Tamara memandang kepergian Elysia dengan perasaan khawatir. Rasa tak nyaman itu datang lagi, bahkan semakin kuat saat Elysia beranjak masuk ke dalam.
"Sebenarnya dua orang yang tinggal di sana siapa?" Tamara bertanya penasaran.
"Informanku dari kepolisian."
"Apa?!" Baru saja hendak protes X segera menginjak gas dan melaju melintasi pepohonan gelap ke arah Gradenia.
"KAU MENUGASKAN ELYSIA MEMBUNUH POLISI?!" Tamara meninggikan nada suaranya.
Amarahnya naik ke kepala. "Kau gila X! Buka pintunya! Aku akan menyusulnya!"
"Kenapa kau harus menyusulnya? Karena kau sayang padanya dan kau membelanya? Bullshit. Tidak ada satu orang pun yang membelaku." X melajukan mobilnya semakin cepat.
"Buka pintunya, X! Kau gila membiarkannya sendirian." Tamara meraih pisau dari sepatunya.
Dorr!
Suara tembakan itu membuat jantung Tamara berhenti berdetak. X segera menancapkan gas, dan melaju diantara pepohonan.
"BUKA PINTUNYA KUMOHON!" Tamara berteriak putus asa. "Bagaimana kalau Elysia terbunuh di di sana?!"
X tidak mendengarkanya. Tamara menggores lengan X cepat. Membuat mobil mereka oleng dan X menginjak rem kasar. "Apa yang kau lakukan?!"
"Bukan pintunya." Tamara berkata dengan penuh penekaan. Matanya berkilat penuh amarah.
"Terserah kau saja." X membuka kunci pintunya dan meringis kesakitan.
Tamara segera berlari tergesa menuju tempat Artur. Suara sirene terdengar semakin dekat, membuat air matanya luruh. Tidak, Artur tidak boleh mati, Elysia tidak boleh mati, jerit hatinya.
Ketika Tamara tiba dihadapannya ada tiga mobil polisi dan beberapa petugas masuk ke dalam rumah itu. Tanpa pikir panjang Tamara mengcengkram pisaunya dan berlari masuk ke dalam rumah sambil menangis.
"Jangan bodoh Tamara." Laura menarik tangan Tamara dan membawanya teleportasi. Tamara mengerjapkan matanya saat sadar dirinya berpindah tempat. "Jangan jauh-jauh dariku."
Suara Kakaknya yang dingin menyadarkannya. Tamara perlahan menurunkan pandangan. Melirik Artur yang tergeletak di tanah dengan luka tembak di kepala.
Air matanya mengalis deras. "Tidak." Baru saja tadi ia menghabiskan waktu bersama Elysia seharian. "Tidak, El. Tidak."
Tamara jatuh berlutut dihadapan jasad Elysia dalam rupa Artur tanpa ada yang melihatnya.
Memorinya terputar saat mereka pertama kali bertemu. "Seharusnya aku tidak mengajakmu kala itu," sesalnya.
Tamara terisak. "Maafkan aku, El. Maafkan aku."
"Aku sudah bilang padamu, Mara." Laura memandang adiknya hangat. Ia memeluk Tamara erat. Membiarkan Tamara menangis didekapannya dan menghilang berpindah bersamanya.
Laura membawa Tamara ke rumah dan menuntunnya duduk diatas sofa. "Mara mau minum?"
Laura melayang rendah ke dapur dan mengambil segelas air untuk Tamara. Tamara menerima minuman itu dan meneguknya perlahan. "Aku ... aku ...."
"Jangan salahkan dirimu, Mara." Laura menggengam tangan adiknya itu. "Dia juga senang melakukannya untukmu. Dia sangat menyayangimu, yang memujinya, yang memahaminya diantara manusia yang tidak mengerti dirinya."
"Hik ...." Tamara menghapus air matanya. "Maafkan aku, Kak."
"Maafkan, Kakak." Laura mengecup puncak kepala adiknya lembut.
"Rasanya begitu menyakitkan ya?" Laura tersenyum simpul, berusaha menghibur Tamara.
Tamara tidak bisa menghentikan air matany yang meluap. "Kak Ara akan pergi?"
"Tidak. Kak Ara akan di sini sementara, buat nemenin Mara." Laura membawa adiknya kedekapannya sekali lagi.
Kali ini, tangisnya perlahan berhenti dan ia jatuh tertidur didekapan Laura.
-----
"Dia bukan Angel," ujar Henz dengan napas tersenggal karena terkejut bahwa terror memasuki kediamannya dan untung saja sebelum petugas kepolisian tiba, ia sempat mengenakan penyamaran.
Jasad seorang perempuan yang menyamar mejadi laki-laki tergeletak di rumah dalam kamarnya. Untung saja Henz memiliki refleks yang bagus dan berhasil menembaknya tepat dititik vital.
Semua petugas menoleh padanya, menunggu lanjutan dari penjelasannya.
"Ukuran tangan ini, adalah tangan yang membunuh korban ketiga. Kemudian Angel bertubuh mungil, dia bahkan seperti laki-laki." Henz menghirup napas dalam. "Tapi setidaknya kita berhasil menemukan satu."
Seluruh petugas yang datang ke rumah Henz berseri-seri. Mereka dengan senang hati membatu Henz membereskan kekacauan dan mengangkut jasad itu menjauh dam membersihkan sisa darahnya yang menggenang.
Vandy membeku sendari tadi. Kejadian ini terlalu cepat dimulai dan terlalu cepat berhenti. Kakak benar-benar membunuh kami, marahnya dalam hati. Ia semakin menyesali kebodohannya memihak Kakaknya itu karena iri.
"Kak Vandy? Ada apa?" Reynand memandangnya khawatir. "Kakak 'kan polisi. Harusnya Kakak tidak shock," ledek Reynand yang membuat Vandy tertawa.
"Aku hanya kesulitan menerima hal ini terjadi di rumah kita, Henz."
26/06/2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Deathless
Mystery / ThrillerTentang seorang gadis manis yang menyukai kematian karena ia merindukan kakak kesayangannya. BEST RANK #1 Death 23/06/2018 #15 Rindu 24/06/2018