[37] Amarah, Sesal dan Dendam

1.1K 119 12
                                    

Tamara membuka matanya perlahan. "Elysia?" katanya saat melihat seseorang tidur disebelahnya.

Laura membalikan badannya membuat Tamara tersadar bahwa peristiwa semalam benar-benar terjadi.

"Jangan sedih lagi." Laura mengelus pipi adiknya itu. "Kau harus mengikhlaskan Elysia seperti kau mengikhlaskan Aila, Mara."

Tamara menahan air matanya keluar. Senyumnya mengembang. "Baik, Kak."

"Mau sarapan?" tawar Laura yang langsung membuat Tamara bangkit.

Laura tersenyum kecil dan ikut bangkit. Ia menggenggam tangan Tamara erat. "Mara nggak boleh sedih lagi." Setelahnya ia membawa Tamara berteportasi ke tengah kota.

Mereka keluar dari balik celah bangunan tua di kota. Tamara mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang menyorot matanya.

Laura menarik adiknya ke minimarket. Ia mengambil dua buah roti dan membayarnya di kasir. Tamara hanya diam memandangi Kakaknya membayar.

"Kakak dapat uang dari mana?" tanya Tamara penasaran bagaimana bisa ada yang keluar dari kantung seorang Malaikat Kematian.

Laura terkekeh. "Dengan keajaiban, Mara."

"Curang sekali." Tamara mengerucutkan bibir iri.

Mereka menimati sarapan dalam hening. Tamara sibuk menatap wajah kakaknya lamat-lamat. Mata hitam yang ia rindukan, wajah dingin mungil itu, rambut lurus hitamnya.

"Aku kangen bisa ngobrol kayak gini sama, Kak Ara." Tamara memecah keheningan membuat pergerakan Laura berhenti.

"Maaf, Mara. Kau tidak bisa bersama Kematian terlalu lama." Laura tersenyum, menyakinkan adiknya bahwa ia sayang padanya. "Karena aku sudah benar-benar melepas kemanusiaanku. Aku bukanlah sosok Kak Ara yang kau kenal sewaktu kecil."

Tamara ikut tersenyum. "Tapi untukku Kak Ara tetaplah Kak Ara ... yang selalu aku rindukan."

"Terima kasih, Mara." Laura bangkit dan menarik Tamara kembali ke rumah. 

Tamara merangkul mesra Kakaknya, ia berharap waktu-waktu ini berlangsung lebih lama."Kakak sekarang tinggal di mana?"

"Di dimensi khusus untuk diriku saja, Mara. Tapi aku terlalu sibuk bekerja, jadi jarang ke sana," jawabnya.

Tamara menganguk mengerti. "Kakak  tidak rindu aku?"

"Tentu saja aku rindu." Laura mengeratkan genggaman mereka. "Hanya saja aku harus bekerja, Mara."

Tamara menunduk. Walau itu kenyataannya, tapi hatinya sedih sekali.

"Aku akan menemuimu sesekali, Mara." Laura mengangkat wajah adiknya itu. "Jadi jangan coba mengejarku lagi."

Mereka berdua tiba di rumah. Tamara membuka pintu dan mendapati laki-laki bermata biru dingin berdiri menunggunya ditepi sofa.

"Masih marah padaku, Angel?" X berdiri di sana dengan wajah dingin. Menghancurkan mood Tamara yang baru saja membaik.

Tamara mengeratkan genggamannya pada Laura. "Kenapa aku harus tidak marah padamu dan bagaimana kamu masuk?"

X tersenyum. "Tentu saja aku bisa masuk."

"Mau apa kau ke sini?" Laura angkat bicara.

"Hm. Hm. Tentu saja untuk memberinya tugas." X menghapus jarak diantara mereka. "Kau sosok tak kasst mata yang Angel ajak bicara setiap menyelesailan tugas ya?"

"Apa?!" Tamara berteriak tertahan.

"Tentu saja aku tahu." X mengerti pertanyaan Tamara. "Aku meberikanmu barang bukan tanpa alasan, Angel atau harus kupanggil Mara?"

Tamara refleks bergumam kecil. Ia menggunakan kemampuan yang tidak ia gunakan selama di rumah X. "Angel." Detik berikutnya ia berubah menjadi tampilan Angel.

X terpesona sejenak. "Keren sekali."

Tamara memgeluarkan pisaunya. Ia menatap X dingin. "Aku tidak ingin bekerja sama dengan orang sepertimu."

"Kenapa karena aku membiarkan adik kecilmu itu mati?" X tertawa lepas. "Kau itu pembunuh yang bodoh ya."

X mendekat ke arah Tamara. Mengabaikan ujung pisau Tamara yang hampir menyentuh lehernya. "Kenapa aku harus bersimpati ataupun  berempati antar rekan pembunuh?"

Amarah Tamara naik ke kepala. Ia mengcengkram kuat bilah pisaunya lamat-lamat. "Lalu semua sikapmu pada kami itu pura-pura?"

"Tentu saja. Dasar anak kecil." X terkekeh ganjil. "Begitu saja marah. Padahal aku masih memiliki satu kejutan lain untukmu."

Tamara bergeming. "Apa maksudmu?"

X mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Aku ada di rumahku, jika kau berubah pikiran." Kemudian berlalu pergi.

"Karena kau sudah tidak dapat keluar dengan tampilan itu, Mara." Laura menggerakan tangannya. Sebuah kertas melayang rendah ke arah mereka. "Sosok Angelmu tertangkap kamera pengawas. Kau tidak dapat keluar dengan tampilan seperti itu."

Tamara meraih selebaran itu dan merrmasnya kuat. "Dia membiarkan rekaman ini lolos karena aku tidak jujur padanya? Menjijikan." 

"Kau harus berhenti sekarang, Mara." Tatapan Laura berubah dingin.

Tamara menatap kedua mata hitam itu. "Kakak akan segera pergi."

"Benar. Aku akan segera bekerja. Kau tidak boleh pergi ke mana-mana. Kau tidak boleh keluar dan membunuh X karena amarahmu." Laura melepas cengkrama hangat mereka.

Angin dingin berikutnya Laura menghilang. Menyisakan tanda tanya besar dalam benak Tamara. Tamara mendudukan diri diatas sofa. Benaknya berpikit luas memutar memori-memori indah saat ia bersama Daddy, Aila, Reynand bahkan Elysia dan X.

Hatinya terluka, amarahnya meluap dengab sikap X yang berubah hanya dengan hitungan hari. "Pembunuh satu itu, memang menjijikan. Kenapa aku bisa percaya padanya?"

Tamara menatap langit-langit ruangan. "Maafkan aku, Kak." Ia segera memasukan pisaunya kembali ke dalam sepatu. Memastikan agar benda itu tidak jatuh. Tamara bangkit dengan tekad bulat.

"Aku menghampiri X dengan tampilan ini, dan membunuhnya untuk Elysia." Tekadnya dalam hati.

Tamara tidak peduli dengan sosoknya yang tertangkap kamera. Tamara tidak peduli, ia hanya peduli dengan amarah, sesal dan dendam yang membara.

Tamara beranjak masuk ke garasi. Membuka penutup mobil Albert yang berdebu. "Seharusnya aku bisa." Ingatnya pernah diajari Albert mengendarai kendaraan beroda empat itu.

Dia sudah terlanjur masuk ke dalam kegelapan ini, dan tidak ada jalan untuk kembali menjadi seorang gadis normal yang pergi ke sekolah setiap hari.

Tamara melajukan mobil, menuju kediaman X.

27/06/2018

DeathlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang