"Bagaimana upacaranya?" X bertanya saat Tamara baru saja menutup pintu.
"Ya seperti, upacara pemakaman pada umumnya." Tamara mendudukan diri di sofa.
X meletakan dua buah cangkir minuman diatas meja. "Are you okay?"
Tamara meraih cangkirnya dan meminumnya pelan.
"Angel?" X mengambil posisi disebelah Tamara. Menatap gadis yang ia panggil Angel itu lekat-lekat.
Tamara terkesiap. Kemudian terkekeh. "Tentu saja aku baik."
X tersenyum lega. Ia menyandarkan punggungnya dengan rileks. "Hari ini kita istirahat dulu yuk."
Kedua mata Tamara berbinar. "Wah? Hari ini tidak ada latihan?"
X mengangguk. "Silakan lakukan apappun yang ingin kau lakukan. Asal tidak keluar."
"Baik." Tamara bangkit dan meletakan cangkirnya ke tempat semula. Kemudian beranjak masuk ke dalam perpustakaan. Mengambil beberapa buku tentang sosiologi dan membawanya ke dalam kamar.
"Angel," panggil X dari sisi luar pintu kamar.
"Ya?"
"Tidak jadi." Derap langkah kaki X terdengar menjauhi pintu.
Tamara mematung beberapa saat. Ia merasa aneh dengan tingkah X.
------
Reynand menatap pantulan dirinya di cermin. Pakaian serba hitam yang tadi rapi kini berntakan.
"Reynand. Kamu nggak apa?" Vandy merangkulnya dan membawa remaja itu duduk santai di sofa. "Capek ya?"
Reynand mengangguk. "Apa semua sketsa Angel sudah dipasang?" tanyanya.
Vandy mengangguk. "Sudah disebar ke seluruh penjuru kota."
"Semoga dia tidak mengacau lagi---" Reynand menggantungkan kalimatnya. "Tunggu. Sebenarnya yang ingin Angel bunuh kemarin siapa?" Pertanyaan muncul secara spontan dibenaknya.
"Siapa? Hmm, yang jelas antara Darren atau Aila sih." Vandy menatap raut wajah Reynand yang menampakan garis-garis rumit karena berpikir. "Memangnya kenapa?"
Reynand melepas rangkulan Vandy dan setengah berlari ke ruang kerjanya. Vandy dengan sigap mengikuti. Reyand menyalakan lampu ruangan kedap suara itu dan membuka kertas-kertas catatan demi catatan kejahatan Angel. Matanya meneliti satu persatu analisa kasus yang telah dibuatnya.
"Korban pertama, seorang pekerja laki-laki ditemukan mati mengenaskan di depan hutan." Reynand membalik catatannya. "Korban kedua, seorang laki-laki ditemukan mati telanjang bulat dalam sebuah kamar hotel." Matanya menyisir cepat, sementara otaknya berpikir keras. "Korban ketiga seorang gadis perempuan mati di dalam gang sempit dengan cara mati berbeda." Reynand membalik catatannya sekali lagi."Koban keempat Menteri Kota ditemukan mati dirumahnya sendiri." Reynand mengambil secarik kertas kosong. "Korban terakhir, antara laki-laki atau perempuan kaya raya di dalam kamar sebuah rumah pengusaha sukses."
"Kamu mencari motifnya?" Vandy berdiri dibelakang Reynand dengan kening berkerut,
Reynand tak menjawab. Ia mulai mencoret kertasnya.
"Korban pertama, kedua, keempat dan kelima terbunuh dengan pisau. Sedangkan korban ketiga dengan cekikan tangan." Reynand menatap fokus kertas coretannya. "Kak Vandy, tolong ambilkan foto korban ketiga."
Vandy segera membongkar lemari, mengambil plastik foto bertuliskan 'Tiga - Angel' dan menyerahkannya. Reynand mengambilnya dan mengangkat foto itu mendekat ke wajah. Menatap garis merah yang terlukis di leher Sang Korban. Kemudian ia membalik catatannya lagi. Menatap tubuh mungil gadis pembunuh yang tertangkap kamera.
"Tangan ini tidak mungkin dia." Reyand mencoret korban ketiga dari daftar.
"Korban pertama mungkin pecobaan," ujar Vandy.
Reynand mengangguk dan mencoret korban pertama. "Korban kedua karena pembelaan diri? Apa yang dilakukan bapak-bapak pekerja dan gadis mungil berpakaian gaun di dalamnya?"
"Bisa saja." Vandy mengiyakan.
"Korban ... keempat--" Reynand mengambil jeda. "Dibunuh karena tuduhan korupsi?"
Vandy mengangguk. "Yap setelah itu petugas menggeledah seisi rumah dan dokumennya. Menteri kota muda itu terbukti bersalah."
Reynand menghempas kertas coretannya ke atas meja. Tidak ada motif yang terhubung.
"Korban keempat mungkin laki-laki." Vandy menyatakan asumsinya.
"Jikalau memang laki-laki, mengapa dia lari dan menyanggah tubuh Aila begitu?" Reynand memutas memorinya. Rekaman itu jelas sekali terbayang dalam benaknya.
"Apa mungkin korban sesungguhnya Aila? Tapi mengapa?" Pertanyaan Vandy sama dengan kebibgungan yang menggantung dalam benak Reynand.
"Karena ayahnya orang kaya dan berlaku curang? Dendam pribadi?" Vandy bertanya lagi. Mendesak seluruh kebingungannya keluar.
Reynand melirik jam dinding. "Jam delapan jadwalkan wawancara dengan Ayah Aila di markas."
Vandy sedikit terkejut. Jarang sekali Reynand meminta wawancara dilakukan olehnya. "Kau yakin, Rey?"
"Iya. Tenang saja aku benci sikap dinginnya pada Aila." Reynand mengerti kekhawatiran Vandy. "Aku tidak akan iba padanya. Jadi ini akan lancar."
Vandy segera meraih gagang telepon dan menghubungi markas. Reynand merapikan catatan serta coretannya. Bangkit berdiri dan beranjak ke arah lemari Henz. "Malam ini, Henz akan bekerja keras dengan bakatnya, dan kekuatan darimu, Ayah," gumamnya.
Reynand mengenakan rambut palsu dan masker biru diwajah. Mengganti pakaian hitamnya dengan setelan jas putih biru milik Henz. Selang beberapa menit ia siap. Vandy menutup telepon. Ia menatap Henz sekilas sebelum ikut menggenakan seragamnya.Setengah jam kemudian, mereka telah melesat membelah keramaian jalanan kota. Menuju markas kepolisian di pusat kota. Mengejar dan dikejar waktu, mengejar dan dikejar kesempatan, mengejar dan dikejar maut.
---
Lampu bohlam yang menggantung ditengah ruangan intrograsi tidak dapat menepis kegelapan di dalamnya. Henz bersama seorang petugas introgasi menatap laki-laki dengan setelan hitam, persis seperti yang Henz lihat tadi sore dipemakaman. Wajahnya tampak kacau, fisiknya terlihat lelah.
"Maaf menganggu waktu berkabungmu, Tuan Jean." Henz angkat bicara.
"Tidak apa." Jean memaksakan senyum. "Jadi apa yang ingin anda tanyakan?"
"Apa ada seseorang atau oknum yang benci pada anad dan keluarga, Tuan Jean?" Henz menegakan posisi.
Jean bergeming sejenak. "Kalaupun ada yang membenci itu pasti rival bisnisku."
"Rival bisnis yang mana, yang sangat-sangat benci hingga memungkinan membunuh putrimu untuk menghancurkan mental?" Henz menyipitkan mata.
Jean lagi-lagi bergeming. "Aku tidak punya kemungkinan kalau begitu. Hubunganku cukup baik dengan semua rival bisnisku."
"Kalau begitu, sebutkan saja rival bisnismu. Kami yang akan cari tahu."
18/06/2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Deathless
Mystery / ThrillerTentang seorang gadis manis yang menyukai kematian karena ia merindukan kakak kesayangannya. BEST RANK #1 Death 23/06/2018 #15 Rindu 24/06/2018