[23] Pemakaman Aila

1.3K 147 2
                                    

Harum roti panggang membuat X terbangun. Senyumam pria itu mengembang ketika melihat anak didiknya membuat roti panggang untuknya.

"Sudah lapar?" Tamara yang mengenakan apron itu meletakan empat lapis roti kecokelatan harum diatas meja.

X bergerak mendekat, menggeser kursi dan mengambil posisi. Ia mengambil satu lapis roti dan mengoleskan selai stoberi diatasnya, kemudian ditutup kembali dengan lapis roti lain.

Tamara membuka apronnya dan ikut duduk di meja makan.

"Menyenangkan tidak sekolah?" X membuak pembicaraan pagi.

"Menyenangkan karena aku belajar banyak di sini," jawab Tamara seraya menguyah roti dengan lahap.

"Kau harus jarang bertemu orang Angel. Agar tidak ada yang ingat siapa kepribadian aslimu," nasihat X yang dijawab Tamara dengan anggukan.

"Lagipula di sini ada banyak buku di perputakaan. Kau bisa membaca materi apapun yang kau mau gratis." X meneguk segelas air sebagai penutup. "Aku juga bisa mengajari."

"Benarkah?" Tamara menghabiskan potongan terakhir rotinya.

"Tentu saja. Aku belajar lebih banyak daripada mereka yang menimba ilmu di sekolah." X membanggakan dirinya dengan senyuman lebar.

Tamara terkekeh. "Baiklah, X. Terima kasih."

-----

Vandy menatap Reynand yang hanya melamun dari pagi. Matanya fokus menatap sketsa Angel yang berhasil dibuat secara sempurna.

"Aku harus menemukannya," gumamnya.

"Hey." Vandy menepuk bahu Reynand dan membuatnya menoleh. "Kau tidak mau sekolah?"

Reynand menggeleng sebagai jawaban. "Tidak."

"Tapi kau juga harus sekolah Rey. Aku tahu kamus jenius. Tapi kau tetap membutuhkan pengakuan dari masyarakat jika sewaktu-waktu penyamaranmu terlepas atau ada masalah internal di markas." Vandy menjelaskan dengan pelan.

Reynand menatapnya sekilas. "Kalau begitu, aku sekolah di rumah saja."

Vandy terdiam. Ia menyadari sejenius apapun logika yang berjalan dalam otak Reynand atau bakat yang diturunkan dari ayahnya, Reynand tetaplah anak remaja yang mentalnya berkembang seperti anak remaja lain pada umumnya.

"Kau tidak ikut ke upacara pemakaman, Aila?" Vandy membeloka pembicaraan cepat.

Reynand melamun sejenak. "Nanti sore."

"Apa ada Tamara di sana?" Vandy menatap Reynand khawatir. Sepertinya ada banyak hal yang mengganjal pikirannya.

Reynand menatap Vandy sesaat. "Aku tidak tahu. Mungkin tidak." Sebelum akhirnya memalingkan wajah kembali.

"Kau yang pegang kasus hilangnya Tamara ya?" tanya Vandy yang membuat Reynand mengangguk. "Ada perkembangan?"

"Tidak ada." Kali ini Reynand merebahkan tubuhnya sempurna ke kasur. "Aku capek, Kak."

Vandy tersenyum simpul, kemudian meninggalkan Reynand sendiri dengan pikirannya. Anak itu butuh waktu sendirian, pikirnya.

Begitu pintu kamarnya ditutup Reynand berguling ke kanan. Menarik selimut sampai batas mata dan membiarkan suara jam berdetak dalam sunyi.

DeathlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang