X menyudahi latihan Elysia saat matahari terbenam. Mereka berdua kelelahan berlatih hampir tanpa jeda seharian.
"Kau mau makan apa hari ini, El?" tanya X seraya menyodorkan sebotol minuman dingin pada Elysia.
"Terserah X, aku suka makan apa saja." Elysia meraih botol dari X dan meneguknya.
"Daging manusia?"
Pertanyaan X sukses membuat Elysia menyemburkan minumnya. "Kau pernah makan itu?!"
X tertawa terbahak melihat reaksi Elysia yang berlebihan. "Aku bercanda jangan diangap serius."
"Uh. Kau membuatku malu." Elysia membersihkan mulutnya yang basah dengan tisu. "Kak Angel di mana ya?"
"Mungkin di kamarnya, kau bangunkan dia. Aku akan memesan makanan." X bergerak menuju meja telepon.
Elysia merenggangkan badannya sekilas kemudian beranjak mencari Tamara ke kamar.
"Kak!" Elysia berseru membuat Tamara terbangun kaget.
"Ada apa, El?" Tamara mengerjapkan matanya beberapa kali. Tidurnya nyenyak sekali.
"Aku sudah selesai latihan. X sedang pesan makan. Ayo keluar." Elysia menarik lengan Tamara lembut.
"Iya-iya ayo keluar." Tamara menguap sekali, kemudian membiarkan Elysia menariknya.
X baru saja selesai memesan makan malam tersenyum melihat kedatangan Elysia dan Angel. "Tidurmu nyenyak, Angel?"
"Nyenyak sekali. Terima kasih untuk liburan dua harinya." Tamara menguap sekali lagi dan mendudukan diri di sofa.
Elysia ikut duduk disebelah Tamara. "Kakak harusnya melihatku berlatih tadi."
"Kenapa aku harus melihatnya?" Tamara mengumpulkan nyawanya yang hilang.
"Soalnya dia ingin memamerkan kemampuannya padamu, Angel." X ikut masuk ke dalam pembicaraan dan menyalakan televisi.
"Memangnya kau sehebat apa sih, El?" Tamara berkata merendahkan.
"Tentu saja aku hebat! Kakak nggak merasa aku hebat?" Nada Elysia terdengar murung membuat Tamara tertawa. Nyawanya telah terkumpul sempurna.
"Iya-iya, Kau hebat, Elysia. Kau hebat." Tamara merangkul Elysia mesra. Seperti ini rasanya punya adik ya? batinnya.
Bel pintu terdengar. X segera menghampiri pintu dan kembali dengan dua loyang pizza. "Kalian suka 'kan? Aku beli banyak."
Tamara dan Elysia memandang kotak pizza yang terbuka itu dengan mata berbinar. "Wuaaah! Makasih X!" seru keduanya bersamaan.
"Silakan dinikmati Nona-Nona." X tertawa melihat kedua rekan barunya itu. Suasana hangat memenuhi atmosfir ruangan. Canda tawa sesekali megiringi waktu makan, dan kenangan akan kebahagiaan ini terlukis selamanya.
-------
Ruangan 4 x 5 meter itu lenggang sejenak setelah perdebatan sepanjang sore. Sepuluh polisi di dalamnya saling bertatapan.
"Ini gawat. X adalah penjahat yang handal, dan Angel bekerja sama dengan penjahat mengerikan itu." Salah seorang polisi akhirnya angkat bicara lagi, memulai perdebatan baru.
"Foto Angel yang kita dapat direkaman juga percuma. Angel bisa menjadi siapa saja." Polisi lain ikut bicara.
"Satu-satunya cara hanyalah meningkatkan keamanan dan berharap dia melakukan kesalahan." Komandan menghela napas pendek. "Yah, mari kita berusaha bersama."
Henz terdiam. Nama X sangat membawa pengaruh besar bagi markasnya. Sebuah nama yang dianggap seperti musuh yang paling ditakutkan. Perdebatannya sepanjang sore tidak berarti apa-apa. Karena sebenarnya untuk menangkap X hanya ada satu cara, menunggunya lengah. Tidak ada opsi lain untuk itu.
Henz melirik Vandy. Raut wajahnya rumit, seperti ada penyesalan besar di sana. Kesedihan yang tertahan selama bertahun-tahun dan amarah yang tidak dapat dikeluarkan.
"Baik. Rapat dibubarkan. Kita akan berjaga secara intensif." Komandan menutup rapat. Delapan polisi lain beranjak meninggalkan ruangan.
"Ah ya, Henz. Kau boleh istrahat." Komandan mengalihkan pandangannya pada Vandy. "Kau antar dia pulang, Vandy."
Vandy mengangguk. "Baik, Komandan."
Henz mengikuti langkah Vandy yang beranjak meninggalkan markas dalam diam. Ia memandang lamat-lamat sosok yang ia anggap kakaknya itu.
"Sebenarnya apa yang Kakak sesali?" Henz angkat bicara saat mereka masuk ke dalam mobil.
Vandy bergeming. Gerakannya ingin memutar kunci terhenti.
"Kak?" Henz bertanya sekali lagi.
"Kebodohanku, Rey." Vandy memutas kunci dan segera melajukan kendaraanya tanpa berkata apapun lagi.
"Kakak tidak sebodoh itu kok." Henz melepas penyamarannya. "Kakak 'kan rekan Ayah. Kakak sudah pasti hebat."
Vandy bergeming. Matanya fokus menatap jalan raya.
Reynand menghela napas. "Jangan salahkan diri Kakak. Manusia 'kan nggak ada yang sempurna, ya 'kan, Kak?"
Vandy menghentikan mobilnya. "Maaf, Rey. Kau seharusnya tumbuh bahagia bersama Ayahmu."
"Kak! Hentikan ini. Kenapa Kakak jadi bermelankolis gini?" Reynand memandang Vandy nanar. "Kak Vandy itu sudah cukup untukku."
"Ini salahku, Rey." Vandy berkata dingin dan kembali melajukan mobil.
Reynand tidak lagi bertanya, atau mencoba menghibur Vandy. Ia hanya diam. Lamat-lamat meletakan kejadian ini dalam pikiran. Hari ini ia sadar bahwa semua orang pasti punya penyesalan dan sisi yang tidak mereka tunjukan.
"Kak. Aku akan menangkap X untuk mengangkat penyesalan itu," gumam Reynand kecil. Mata hitamnya menatap lurus Vandy yang dengan benaknya sendiri. Ia menancapkan tekad itu dalam hatinya.
Vandy menghentikan mobil. Reynand keluar lebih dahulu dan masuk ke dalam rumah mereka. Vandy bergeming menatap punggung Reynand yang mengecil. "Reynand juga sudah cukup untukku." Ia tersenyum sendu.
Tangannya bergerak meraih ponsel dari saku. "Halo?" Vandy mengambil jeda. "Sudah lama ya aku tidak menghubungimu."
24/06/2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Deathless
Mystery / ThrillerTentang seorang gadis manis yang menyukai kematian karena ia merindukan kakak kesayangannya. BEST RANK #1 Death 23/06/2018 #15 Rindu 24/06/2018