Claudia duduk dengan punggung kaku di depan komputer. Di sisi kanannya ada sebuah jendela setengah badan yang langsung menghadap jalanan sehingga ia bisa menikmati pemandangan di depan sana, entah itu hujan, atau bahkan matahari terbenam yg berwarna kemerahaan seperti saat ini. Pemandangan-pemandangan itu cukup menghibur hatinya di kala gelisah mulai hadir dab menyusup perlahan, namun tidak untuk kali ini. Saat ini, ia justru membutuhkan seluruh hati dan pikirannya untuk menuju ke satu titik. Titik yg sudah lama ia berusaha untuk hindari.
Tatapannya terpaku lurus memandang monitor dengan begitu serius. Jari-jarinya bergerak dengan lincah di atas keyboard. Kalimat demi kalimat mengalir deras bagai hujan yang tumpah dari langit. Begitu lancar, begitu cepat seakan sudah ada salinan di dalam otaknya. Ia menatap jendela. Hujan gerimis mulai turun membuat suasana menjadi semakin dingin, seauatu yg tidak terduga sebelumnya mengingat sesaat yg lalu langit begitu cerah. Sama seperti kehidupan manusia, kehidupan mereka, semua tidak terduga.
Kenangan masa lalu mulai terbayang di pelupuk matanya. Ia kembali mengetik.Masyarakat menilai kami, para remaja sebagai sumber masalah. Mereka mengecap kami begitu buruk. Menyalahkan kami atas pilihan-pilihan yang kami pilih. Tetapi, pernahkan mereka memikirkan satu hal yang lebih penting dari semua itu? Sesuatu yang tidak terlihat dengan jelas tetapi mengakibatkan kehancuran dari dalam diri kami?
Melihat akar permasalahannya!
Masyarakat menghujat kami, menuduh kami, menghina kami, namun tahu kah mereka apa yang menyebabkan sebagian dari kami mengambil pilihan yang sebenarnya tidak ingin kami pilih? Jalan hidup yang sebenarnya tidak kami inginkan terjadi dalam hidup kami! Kami berusaha melawan. Berusaha bertahan. Berusaha, berusaha dan terus berusaha sepanjang perjalanan hidup kami. Berjuang hingga batas kemampuan kami tanpa ada dukungan, tapi kami gagal.
Dan satu hal, kami hanya gagal!! Banyak orang yang melakukan kegagalan dalam hidup mereka. Kami hanya gagal menguntai hidup kami menjadi sesempurna yang diharapkan dunia. Kami gagal dan tidak ada yang mendukung kami atau menghibur kam malah sebaliknya, kami dicerca. Kami sendirian, begitu kesepian! Pernahkah kalian hidup dalam kesendirian?Kesepian yang menyesakan dada? Kalau begitu nikmatilah kisah ini.
Ini kisahku, kisah kami, teman-temanku, para remaja yang menjadi korban kekejaman dunia. Korban dari kesalahan pihak lain yang tidak dapat kami persalahkan. Sebenarnya, siapakah yang bisa disalahkan? Kami pun tidak yakin. Kami menyalahkan orangtua kami yang terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, namun mereka menyalahkan kami karena tidak mau mengerti mereka yang harus bekerja keras untuk kami. Siapa yang sebenarnya bersalah? Kami pun tidak tahu. Kami hanya tahu bahwa kami butuh tempat yang bisa menerima kami. Seseorang yang bisa menolong dan menghibur kami untuk melepaskan diri dari semua penderitaan ini. Kesepian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati yang Terluka
General FictionSalahkah kami jika kami merindukan kasih sayang dan perhatian orangtua? Salahkah kami jika kami mencoba menarik perhatian mereka dengan mencoba berbagai cara? Salahkah kami jika pada akhirnya kami mungkin menyerah karena lelah? Mama, papa, dimana ka...