Claudia bermaksud menceritakan semuanya kepada Camelia. Ia sadar kalau ia tidak mungkin menceritakannya kepada Clarisa, mengenai kebahagiaannya, mengenai hatinya dan mengenai perasaannya terhadap Aldo. Hanya Camelia yang bisa diajaknya bicara. Lagipula gadis itu tampak semakin menderita. Saat terakhir kali mereka bertemu, Camelia tampak begitu pucat dan lesu. Claudia bahkan masih bisa mengingat dengan jelas lingkaran hitam di mata Camelia yang bengkak. Apa yang sedang dihadapinya? Orangtuanya lagi kah? Yah, Camelia menyebut-nyebut hal itu, orangtuanya, pekerjaannya. Claudia tidak dapat mengingat dengan jelas perkataan Camelia saat itu, tapi gadis itu butuh bantuan.
Claudia menelpon hp-nya. Tidak aktif. Dicobanya lagi dan jawaban masih sama. Setelah 4 kali mencoba, Claudia bukannya kesal, malah menjadi panik. Dia berhak mendapatkan seseorang yang peduli padanya, Camelia juga berhak dan ia ingin menjadi seseorang yang peduli pada Camelia.
Setelah beberapa saat mengumpulkan keberanian, Claudia mencoba untuk menghubungi rumah Camelia. Telepon diangkat pada bunyi yang ke 5. Suara seorang wanita yang sedang terisak terdengar di sana. Awalnya Claudia mengira itu adalah Camelia namun ia segera sadar kalau itu suara wanita dewasa.
"Maaf, bisa bicara dengan Camelia?" tanya Claudia takut-takut. Ia tidak pernah bicara dengan orang rumah Claudia dan didengar dari ceritanya, mereka adalah orang yang sangat dingin sehingga Claudia merasa gelisah.
"Ini dari siapa?" tanya suara di seberang sana dengan isak yang semakin menjadi.
"Claudia, temannya."
"Camelia udah nggak ada." Tangis itu semakin menjadi-jadi. Claudia merinding. Apa maksudnya nggak ada? Dia pergi? Keluar rumah? Jalan-jalan? Apa maksud kata sudah itu? Claudia merasa seluruh tubuhnya menggigil.
"Maksudnya?"
"Dia sudah meninggal. Seminggu yang lalu. Dia sudah nggak ada..." suara seorang wanita yang diduga Claudia adalah ibunya membuat Claudia benar-benar membeku.
"Meninggal? Meninggal? Kenapa? Kenapa bisa?"
Pembicaraan yang berlangsung hanya sekitar 5 menit itu membuat Claudia tidak mampu bergerak. Di tangannya kini sudah ada selembar alamat tempat Camelia dimakamkan. Tidak!! Camelia! Sahabatnya yang selalu tampil beda. Sahabatnya yang begitu kuat dan berani. Sahabatnya yang cuek dan tidak pernah perduli dengan pandangan orang. Kini sahabatnya itu sudah pergi meninggalkan mereka semua. Claudia menangis keras. Ia terus menangis tanpa mampu berbuat apa-apa. Claudia beruntung, ibunya sedang tidur siang, ayah dan kedua saudaranya sedang tidak ada di rumah. Ini memang jam 02.00 siang. Ayahnya belum pulang kerja dan kakaknya, tidak akan pulang sebelum sore, demikian juga dengan adiknya.
Claudia bisa menangis dengan bebas. Ia belum selesai menangis saat hp-nya berbunyi.
"Diya. Liat TV, cepet!!" teriak Clarisa melengking. Claudia bingung namun sudah berdiri di depan TV, "......." Ujar Clarisa lagi.
Claudia mengganti channel TV. Foto Camelia terpampang besar di sana. Claudia terbelalak. Matanya terfokus pada layar Tv dan lupa pada Hp yang sudah jatuh di lantai. Telinganya menangkap kata-kata pembawa acara yang mengisahkan tentang kematian Camelia. Mereka mengetahuinya. Mereka tahu Camelia meninggal karena over dosis! Berita itu semakin dibesar-besarkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkesan menjerumuskan, itu menurut Claudia. Mereka mengulang-ulang kalimat,
".....Meninggal karena over dosis." Atau kata, "Pengaruh pergaulan remaja saat ini..." atau kalimat lainnya, "Seorang gadis yang begitu sempurna, cantik, pandai, sukses pada usia muda, terdorong menggunakan obat-obatan... ia terjerumus...salah... tidak dibenarkan....."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati yang Terluka
General FictionSalahkah kami jika kami merindukan kasih sayang dan perhatian orangtua? Salahkah kami jika kami mencoba menarik perhatian mereka dengan mencoba berbagai cara? Salahkah kami jika pada akhirnya kami mungkin menyerah karena lelah? Mama, papa, dimana ka...