Menyerah....???

7 0 0
                                    

Claudia menghabiskan liburannya dengan beristirahat panjang. Pikirannya masih kalut. Dunianya masih belum tertata dengan benar. Kematian Camelia baru saja lewat sebulan dan hal itu masih terbayang jelas di kepala Claudia. Ia masih merasa sangat menyesal karena tidak bisa menatap wajah Camelia untuk yang terakhir kalinya. Tidak bisa membantu masalah sahabatnya di saat ia sedang menghadapi masa tersulit dalam hidupnya.

Aldo sudah lulus. Ia mulai bekerja di dalam perusahaan ayahnya. Ya, ayahnya punya perusahaan sendiri, ia hanya sedang dipersiapkan untuk meneruskan perusahaan itu. Tapi ia bekerja sambil sekolah. Entah apa yang mendorong Aldo sampai ia kuliah lagi, Claudia tidak mengerti. Aldo mengatakan kalau kali ini ia mengambil jurusan psikologi, ingin mempelajari hal-hal yang selama ini tidak pernah masuk hitungannya. Memberikan sedikit warna lain pada hidupnya yang kurang berwarna. Claudia hanya bisa mendukung.

Sebuah sms masuk ke hp-nya. Teman di kampus mengabarkan nilai-nilai ujian mereka yang sudah keluar. Satu pelajaran tidak lulus. Pelajaran yang pernah membuatnya sampai mengerjakan makalah dua kali dan dipermalukan di depan kelasnya. Claudia terpaku di lantai, tidak mampu berdiri.

Ayahnya pasti membunuhnya. Kali ini ayahnya pasti membunuhnya.

Claudia menggigil. Ketakutan. Matilah. Kali ini dia pasti mati.

Malam itu Claudia bersembunyi dalam kamar. Takut menemui ayahnya karena setiap pulang kerja, ayahnya selalu menanyakan nilai-nilai ujiannya. Ayahnya tahu kapan kira-kira nilai itu akan keluar. Ayahnya mengendalikan seluruh hidupnya!

Tidak! Dia hanya perlu berbohong. Ia akan selamat kalau berbohong, ayahnya tidak akan tahu. Tapi, tapi bagaimana kalau kartu hasil ujiannya dibagikan? Ayahnya selalu memaksa untuk melihat, ia tidak akan bisa menghindar dan kalau ia sampai ketahuan berbohong, ayahnya pasti akan memukulinya siang dan malam.

"Diya! Keluar kamu." Suara ayahnya terdengar lebih bersemangat dari biasanya.

Matilah dia, matilah dia.

"Cepat!! Mau papa dobrak pintunya?"

Claudia melangkah takut-takut, membuka pintu kamarnya perlahan dan melihat ayahnya di depan pintu.

"Ngapain kamu di kamar seharian? Mama kamu bilang kamu nggak keluar sama sekali hari ini. Mau mati ya?"

Claudia menggeleng, berharap ayahnya lupa bertanya.

"Gimana hari ini? Nilainya udah ada?"

Claudia menelan napas dengan susah payah, ayahnya mengamati dengan serius dan bertanya, "Berapa?"

"Ada...ada satu...ada satu yang...satu yang nggak...nggak lulus."

"Apa kamu bilang?" ayahnya membuka mata lebar-lebar, menyambar lengan Claudia dengan beringas dan menyeretnya ke ruang tamu, "Apa kamu bilang? Ada yang nggak lulus? Nggak lulus kata kamu? Berani kamu nggak lulus?"

Plak!!

Sebuah tamparan keras mengenai wajah Claudia. Gadis itu menangis.

"Di keluarga ini, yang berani macem-macem dengan nilai, nggak akan ada ampun. Berani kamu nggak lulus? Mau ikut-ikutan adik kamu ya? Hah? Mau bego kayak dia? Begitu?" ujarnya sambil menjambak rambut Claudia. Dilemparnya Claudia hingga terduduk di kursi kemudian sebuah sandal karet melayang memukul tubuhnya.

"Udah nggak mau sekolah lagi? Begitu ya? Mau dipukul baru nurut, begitu ya?"

"Nggak pa, nggak. Ampun Pa ampun. Claudia salah, Claudia tahu Claudia salah. Ampun pa, ampum." Teriak Claudia histeris sambil berusaha menahan sakit dan menghindari pukulan sandal dari ayahnya, "Claudia minta maaf, Pa. Jangan pukul lagi, ampun pa ampun."

"Ampun? Ampun? Berani minta ampun setelah ada pelajaran yang nggak lulus?" ayahnya meraih sebuah sapu dan memukul lengan Claudia dengan gagangnya, "Kamu harus dikasih pelajaran dulu baru bisa ngerti. Kamu pikir keluarga ini sanggup biayain kuliah kamu yang berantakan itu? hah?! Dasar anak nggak berguna!! Nggak pernah bener ngerjain apapun. Dijodohin sama Alex malah nolak, bosen hidup kamu ya? Apapun nggak bisa, apa-apa nggak mau!! Dasar bego! Nggak berguna!! Tolol!!"

"Ampun pa ampun. Nggak lagi, Claudia akan belajar yang rajin pa nggak akan macem-macem lagi. Ampun pa." pintanya memelas. Ayahnya melepaskannya setelah lelah mengamuk. Claudia lari ke kamar dan menagis di sana. Bilur-bilur di tubuhnya bekas pukulan ayahnya tampak jelas. Claudia kembali menangis sambil menahan sakit.

Pisau lipat yang ada di atas meja menarik perhatian Claudia. Bagaikan sebuah godaan yang tidak dapat dihindari, Claudia menghampiri pisau itu dan memeluknya erat-erat. Inikah yang dirasakan Camelia di saat-saat terakhir hidupnya? Harapan terakhirnya hanya ada pada obat itu, sama seperti Claudia yang meletakan harapan terakhirnya pada pisau itu. Hanya benda ini yang dapat meredakan rasa sakit di hatinya, hanya benda ini. Mungkin itu jugalah yang dipikirkan Camelia di saat ia meneguk obat-obatan itu.

Claudia memejamkan mata. Dua butir air mata bergulir jatuh ke tangannya. Tidak ada yang bisa menolongnya. Tidak seorangpun. Ayahnya begitu berkuasa, begitu menakutkan, ia akan terperangkap di neraka ini sampai akhir hayatnya.

Claudia menatap pisau itu dengan seksama, menatapnya lama sekali hingga akhirnya ia mengambil keputusan. Dihujamkannya pisau itu di lengannya seperti biasa. Tidak ada rasa apapun.

Kurang. Ini kurang.

Claudia menghujam lebih kuat. Ia merasakan sebersit rasa sakit yang menyenangkan.

Bagaimana kalau ia melaksanakan bayangannya mengenai sebilah pedang yang menancap di dadanya?

Tidak. Dia belum berani. Claudia mengiris dan terus mengiris lengannya hingga menimbulkan puluhan garis-garis merah yang mengalirkan darah. Rasanya menyenangkan, dia tidak bisa berhenti. Claudia mengiris pergelangan tangannya. Rasanya sungguh menyenangkan. Ia mengiris lagi dan terus mengiris sampai ia merasa kehilangan seluruh kesadarannya.

Yangterakhir ia ingat hanyalah, 'ia seorang pecundang bodoh.'

Sekeping Hati yang TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang