Camelia baru pulang dari diskotik. Sudah lama ia tidak ke sana. Lama sekali. Sejak ia mengenal Clarisa dan Claudia, ia sudah tidak pernah ke sana lagi. Mereka melarangnya, memperingatinya, menasehatinya, membuatnya tertawa dan kehilangan minat ke sana. Tapi sekarang, sekarang diskotik merupakan tempat yang wajib ia kunjungi. Seperti dulu saat dia sendirian. Dia harus ke sana atau akan mati bosan di rumahnya. Terkurung dalam kesepian dan kesunyian yang menurutnya terasa abadi.
Pernah sekali ia membuat sebuah tulisan singkat mengenai perasaannya. Sebuah karya yang tidak berarti karena dibuat di sela-sela kekalutannya. Ia masih bisa mengingatnya dengan jelas karena perasaan itu selalu menghantuinya.
Cukup!!!
Aku sudah tak tahan lagi
Hidup seperti dalam jeruji
Muak!!!
Aku sudah sangat muak
Merasakan semua dera yang tak jelas
Kesepian dan kesedihan
Putus asa dan kehilangan
Janji-janji kosong dan penantian
Kapan semua kan berakhir?
Muak!!!
Aku sudah muak dengan semua ini.
Tuhan,
Ambil saja hidupku
Dan akhiri segala lelah
Ambisi dan mimpi
Semua alat penyiksa hati
Mulut terkunci, hati memaki
Semua untuk siapa?
Muak!!!
Aku sudah sangat muak!!!
Kadang Camelia bingung membaca tulisannya yang diberi judul 'Muak' itu. Benarkah itu yang ia rasakan? Sepertinya memang iya tapi sepertinya juga tidak. Ia tidak ingin mati, dia hanya ingin disayangi kedua orangtuanya, namun mereka malah semakin tidak perduli padanya. Kalau dipikir-pikir, kalimat ini juga cocok ditujukan kepada Claudia. Bukankah gadis itu juga tidak berani bicara sementara hatinya terus memberontak? Mereka, 2 orang yang berbeda namun berada pada dunia yang nyaris sama. Neraka dunia!!
Camelia sedikit mabuk. Ia berjalan dengan gontai memasuki pintu depan yang tidak dikunci. Terdenar suara ayahnya saat dia membuka pintu.
"Kita cerai saja. Aku sudah nggak tahan lagi hidup begini. Kita cerai saja."
Cerai? Mereka akan bercerai? Semudah itukah mengatakan cerai? Tidak perdulikah mereka kepada dirinya? Dia ingin mereka menyayanginya tapi mereka malah lebih memilih cerai? Tiba-tiba Camelia merasakan kemarahan yang begitu besar merasuki dirinya. Kebenciannya kepada kedua orangtuanya semakin merajalela di hatinya. Dia membanting pintu dengan keras hinggak kedua orangtuanya menoleh bersamaan.
"Lia!" ibunya berteriak marah, "Kamu nggak pernah diajarin sopan santun ya? Nggak bisa masuk rumah dengan tenang? Hah?!"
"Rumah? Sejak kapan tempat ini bisa disebut rumah? Tempat ini namanya hotel! Kalian pergi pagi, pulang malam cuman buat numpang tidur. Ini hotel namanya!! Aku memang nggak pernah diajarin sopan santun! Coba mama inget-inget, apa mama pernah ngajarin aku sopan santun? Atau papa? Kapan kalian ngajarin aku sopan santun? Kapan?"
"Camelia!!!" ayahnya berteriak marah, "Siapa yang ngajarin kamu bertindak kayak begini sama orangtua? Temen-temen kamu yang brengsek itu? Iya?"
"Temen aku mungkin memang brengsek, tapi buat aku, kalian lebih brengsek lagi!! Kalau nggak mau didik anak sampai besar, jangan bikin anak!! Cerai? Cerai yang ada di otak mama sama papa sekarang? Mikir nggak bagaimana nasib aku? Peduli nggak kalian sama aku?" Camelia tertawa dengan air mata yang berderai deras di kedua pipinya, "Nggak usah dijawab, aku udah tau jawabannya, kalian nggak pernah peduli sama aku. Kalian peduli sama kerjaan kalian, bisnis kalian, kalian nggak peduli sama aku!!"
Camelia berlari melewati tangga tanpa memperdulikan tatapan marah ayah dan ibunya. Entah kalimatnya berpengaruh kepada kedua orangtuanya atau tidak, yang Camelia tahu hanyalah kesedihannya semakin berlipat ganda. Ia terus berlari memasuki kamarnya, membanting pintunya dengan keras. Menangis meraung-raung sejadi-jadinya, membanting semua barang yang masih berada dalam jangkauannya, membenturkan tubuhnya ke dinding yang keras, berteriak-teriak seperti orang gila kemudian terduduk dengan lelah.
Ia masih menangis namun otaknya berpikir. Tidak, dia tidak boleh merasa menderita hanya karena orangtua yang tidak peduli padanya. Ia harus melupakan peristiwa ini, harus!! Claudia mengobrak-abrik laci meja belajarnya, mecari botol kecil yang berisi benda yang dapat menghibur hatinya. Begitu gembiranya dia saat menemukan botol itu tergeletak diam dalam sudut lacinya. Dengan terburu-buru Camelia menegak separuh isi botol.
Agar lebih nyaman, agar khasiatnya lebih cepat terasa, agar ia bisa melupakan kedua orangtuanya secepat mungkin. Agar ia bisa melupakan kejamnya dunia, agar ia bisa melayang tinggi ke atas awan. Tuhan. Sejak kapan ia mulai melupakan Tuhan? Dia lupa kalau di atas awan sana ada Tuhan yang mencintainya dan tidak ingin ia menjadi seperti ini. Camelia menangis. Tubuhnya semakin teras ringan, lehernya terasa tercekik, Camelia ingin muntah, mual, namun tubuhnya tidak menurut, ia tidak bisa menggerakan tubuhnya.
Pada detik terakhir hidupnya, Camelia teringat Tuhan dan ia menyesal karena terlambat mengingatnya. Banyak yang ingin ia katakan kepada Tuhan. Ia ingin berterima kasih karena Tuhan mempertemukannya dengan sahabat-sahabat sejatinya. Ia ingin berterima kasih karena Tuhan telah merawatnya sampai sekarang. Ia ingin berterima kasih karena Tuhan mencintainya di saat tidak ada seorangpun lagi yang mencintainya. Ia ingin berterima kasih namun mulutnya tidak lagi bisa bicara dan otaknya tidak lagi bisa berpikir. Ia hanya bisa menangis dan meneteskan air mata di detik terakhirnya. Maaf. Itu satu kata yang terpikirkan olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati yang Terluka
General FictionSalahkah kami jika kami merindukan kasih sayang dan perhatian orangtua? Salahkah kami jika kami mencoba menarik perhatian mereka dengan mencoba berbagai cara? Salahkah kami jika pada akhirnya kami mungkin menyerah karena lelah? Mama, papa, dimana ka...