Claudia menarik napas panjang. Berusaha mengumpulkan seluruh keberaniannya, menyingkirkan semua ketakutannya. Ia sudah mengambil keputusan. Ini hidupnya. Ini masa depannya. Ini dunianya. Dia tidak ingin semua ini dihancurkan oleh tangan-tangan yang tidak mengerti dirinya. Dia yang harus menentukan segalanya. Ini keputusannya, keputusan pertama yang dibuatnya, keberanian yang pertama diambilnya.
Claudia bisa merasakan jantungnya berdetak tidak beraturan, begitu takut, ya ketakutan ini seperti sudah mendarah daging dan sulit disingkirkan namun ia harus melawan. Ia harus merubah semuanya dan menjadikannya baru. Dunianya sendiri, yang ditentukan oleh tangannya sendiri. Berkali-kali Claudia mengambil napas dan menghembuskannya. Berkali-kali ia menenangkan dirinya sendiri yang sudah mulai berkeringat dingin. Jantungnya berdetak lebih keras lagi dan lagi dan lagi. Claudia bahkan nyaris merasa kalau jantungnya akan melompat keluar dari rongganya.
Takut, takut, takut.
Tidak! Dia harus berani, dia harus bisa, jangan sia-siakan hidupnya untuk hal-hal menyedihkan.
Takut. Dia takut. Sangat takut. Tidak bisa, dia tidak akan berhasil. Ingat dia adalah seorang pecundang.
Bisa. Dia harus bisa. Ingat kata Aldo. Dia berhak punya seseorang yang peduli kepadanya. Dan ia tidak berhak disakiti untuk alasan apapun juga.
Takut. Takut. Kalau ini tidak berhasil maka ia akan habis. Ayahnya akan memukulinya sampai mati, Alex akan mendendam padanya dan menghabisi masa depannya. Takut!
Claudia meneguk ludah dengan susah payah. Memandang telepon di depan matanya. Dengan tangan yang gemetar, Claudia mengangkat gagang telepon dan dengan kegugupan yang begitu besar ia mulai menekan tobol telepon satu per satu. Claudia menunggu. Gemuruh suara jantungnya tidak kalah dengan suara telepon yang sedang tersambung.
Tuuuut....tuuuut.....tuuut....
Dag – Dig – Dug – Dag – Dig – Dug – Dag.......
Tuuuuut....tuuuuuut....
Cepat angkat, cepat!! Cepat!!!
"Halo?" suara seorang pria yang sudah sangat dikenalnya menggema di telinganya. Claudia menggenggam telepon lebih erat lagi.
"Alex?"
"Ada apa?"
"Ganggu nggak?" tanya Claudia cemas.
Tidak, dia takut, takut, tidak berani memulai pembicaraan itu. Takut, takut.
"Nggak juga. Ada apa?"
"Aku, aku, aku mau..." Claudia menahan napas, "Mau bilang.. bilang kalau..kalau aku mau...kalau boleh, aku mau..aku mau putus." Ujarnya segera bernapas lega setelah berhasil mengungkapkan semua isi hatinya.
Akhirnya, akhirnya keluar juga kata-kata itu.
Dia berhasil, berhasil. Dia berhasil bicara. Ini pertama kalinya dia mengutarakan isi hatinya. Menyenangkan, semua terasa menyenangkan. Menakutkan memang, namun tetap saja jadi menyenangkan. Claudia bernapas lega. Orang di seberang telepon jadi membisu.
"Kenapa?" tanya Alex dengan nada dingin. Claudia ketakutan.
"Aku...aku...aku merasa kalau kita nggak cocok."
"Nggak cocok apanya? Selama ini kita baik-baik aja, nggak ada masalah sama sekali. Kalaupun kita kadang-kadang berantem, itu kan wajar, namanya juga orang pacaran, pasti bakal ada sedikit masalah kan?"
Itu menurut lu!! Gua kesepian!! Lu nggak ngertiin gua!! Nggak mau masuk ke dunia gua!! Sibuk sama dunia lu sendiri!! Gua nggak tahan!!
Tapi Claudia hanya bisa bilang, "Maaf."
"Aku nggak setuju. Aku nggak mau putus." Ujar Alex keras kepala. Apa salahnya? Dia sudah berusaha menjadi seorang pacar yang baik, harusnya Claudia menghargai itu. Dia sudah berusaha!!
"Tapi, tapi aku, aku nggak bisa. Aku, aku merasa, merasa nggak bisa Lex."
"Apanya yang nggak bisa? Aku udah banyak bantu kamu. Kamu butuh apa aku pasti kasih, kamus, printer, kertas, semua aku yang sediain, masih mau apalagi sampai pakai minta putus?!"
"Bukan, bukan begitu. Aku tau kamu baik, aku tahu Lex, tapi, tapi aku nggak bisa. Kita, diantara kita nggak ada saling pengertian."
"Nggak ada bagaimana? Kamu selalu bikin aku marah dan aku nggak mempermasalahkan, kamu selalu aneh-aneh dan aku bisa terima, mau kamu banyak dan aku diem aja. Masih apa lagi yang aku nggak ngerti?"
Ya ini!! Selalu dan selalu merasa paling bener, paling baik, paling hebat. Nggak pernah sadar kesalahan sendiri. Selalu, selalu aku yang salah dan menyebabkan kekacauan!! Aku nggak salah!!
Tapi Claudia hanya bisa berkata, "Aku tahu aku yang salah. Aku minta maaf. Aku salah, aku bukan pacar yang baik, Maaf."
"Aku aja nggak mempermasalahkan, kenapa jadi kamu yang minta putus?"
"Maaf Lex, maaf. Kali ini aja, tolong bantu aku."
"Aku udah sering bantu kamu!" teriak Alex penuh emosi. Claudia dapat merasakan kemarahannya. Ketakutan mulai merajalela dalam dirinya. Pikiran untuk membatalkan rencananya mulai bermunculan namun Claudia berusaha bertahan.
"Aku tahu, aku tahu kamu dah banyak bantu aku. Aku tahu. Please...sekali lagi, bantu aku sekali lagi. Aku mau fokus sama diri aku sendiri, nggak mau ribet sama masalah lain."
"Jadi aku bikin kamu ribet gitu? Kamu yang selalu bikin aku ribet, sadar nggak sih?"
Claudia bingung. Hatinya mulai panik. Dia cuman mau minta putus, kenapa jadi serumit ini?
"Aku tahu aku yang salah, semua aku yang salah. Aku yang salah, tapi Lex, aku bener-bener mau sendirian dulu, nggak niat pacaran dulu. Aku mau tenang." Pintanya memelas. Hatinya ketakutan, memperkirakan kalimat Alex selanjutnya, 'memangnya aku nggak bikin kamu tenang?' Claudia lelah, tidak ingin berdebat lagi, kalau memang seumur hidupnya harus tersiksa seperti ini, ia pasrah. Ia sudah berjuang, sudah berusaha semampunya, ia sudah melakukan yang terbaik untuk hidupnya, kalau memang gagal, ia akan menerimanya. Menjalani hidup penuh ketakutan.
"Terserahlah. Terserah kamu maunya gimana. Aku nggak ada waktu buat ngeladenin orang kayak kamu." Alex memutuskan sambungan telepon.
Claudiamasih menempelkan gagang telepon itu di telinganya. Ia terpaku tidak percaya.Dia berhasil!! Dia berhasil! Ini keberhasilannya yang pertama dalam hidupnya.Claudia tidak perduli apakah keputusan ini akan membuatnya menyesal di kemudianhari atau tidak, yang jelas hari ini dia mengukir sebuah keberhasilan yangmenyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati yang Terluka
General FictionSalahkah kami jika kami merindukan kasih sayang dan perhatian orangtua? Salahkah kami jika kami mencoba menarik perhatian mereka dengan mencoba berbagai cara? Salahkah kami jika pada akhirnya kami mungkin menyerah karena lelah? Mama, papa, dimana ka...