Malam ini Camelia pulang dengan membawa seribu kebahagiaan. Semangatnya meluap-luap tanpa dapat digambarkan. Ingin rasanya ia berteriak dan tertawa dengan kencang agar dunia merasakan kebahagiaannya. Ia menatap angkasa. Langit bercahaya diterangi bintang dan bulan yang berkilauan, seakan mengerti kebahagiaan jiwanya. Selain itu, hatinya terasa damai dan dunia terasa tentram namun begitu ia masuk pintu, sebuah kejutan sudah menantinya.
"Lia!! Dari mana aja kamu? Kenapa jam segini baru pulang?!" teriak ibunya menggelegar.
Camelia sadar dengan sesadar-sadarnya kalau ia pulang malam karena siang ini ia memang merasa begitu gembira. Ia tidak ingin berpisah terlalu cepat dengan teman-temannya. Ia juga tidak ingin pulang ke rumah dan bergumul dengan keheningan yang menyiksa karena itu mereka sepakat untuk main di rumah Clarisa dan makan malam di sana.
Ibu Clarisa begitu ramah. Sementara ayahnya sedikit lebih pendiam. Tetapi dibalik semua itu, ada satu hal yang tampak jelas di mata mereka. Orangtua Clarisa sangat menyayangi anak semata wayangnya itu, bahkan terkesan berlebihan. Ibunya mengambilkan nasi dan sayuran untuk Clarisa, ayahnya memohon maaf berkali-kali saat Clarisa menyalahkannya di depan mereka karena lupa membelikan hp pesanannya. Sepanjang jam makan malam itu ibu Clarisa sibuk membangga-banggakan Clarisa dan menyanjungnya setinggi langit sampai gadis itu seakan melayang. Rasanya tidak habis pikir, di satu sisi ada orangtua yang sangat menelantarkan anak satu-satunya dan di sisi yang lain ada orangtua yang sibuk memanjakan anaknya.
Setelah mengantar Claudia pulang ke rumah, Camelia baru mengendarai mobilnya dengan santai menuju rumah. Ia tidak terburu-buru karena ia tahu, tidak ada seorangpun yang menunggunya pulang, tidak seperti Clarisa yang selalu dinantikan kehadirannya dan orangtuanya akan panik jika Clarisa terlambat pulang lebih dari ½ jam.
Hatinya masih diliputi kegembiraan saat ia kebingungan melihat mobil ibunya sudah terparkir di dalam garasi. Ada apa? Tumben. Pikirnya gelisah.
Baru saja Camelia masuk rumah, ketika suara ibunya menggelegar memarahinya yang pulang malam. Camelia kebingungan, jangankan malam, biasanya dia pulang pagi pun tidak pernah dimarahi. Hal itu memancing emosinya hingga ia mendengus kesal, "Memangnya kenapa sih?"
"Kamu tahu jam berapa sekarang? Kamu tahu nggak?!!" teriak ibunya semakin marah melihat Camelia tidak tampak bersalah.
"Jam 10. Emangnya kenapa?" tanya Camelia menantang.
"Anak perempuan keluar dari pagi, keluyuran dan pulang jam 10 malam?! Apa itu pantas? Apa kata orang kalau lihat tingkah laku kamu yang kayak begini? Kamu mau mempermalukan mama papa ya?"
"Apa-apaan sih Ma?" tanya Camelia marah. Hatinya sakit bagai tertikan seribu pisau di saat yang bersamaan.
Dia memang ingin orangtuanya memperhatikannya, tapi ia merasa kalau kemarahan ibunya ini bukan karena rasa sayang seorang ibu. Camelia tidak ingin dijadikan pelampiasan ibunya yang sedang kesal dengan pekerjaan atau hal-hal sejenisnya, karena itu ia segera membalas dengan kasar,
"Tumben Mama perhatian? Asal Mama tau ya.. Biasanya aku bukan pulang jam 10 malam, biasanya aku pulang jam 3 pagi dan berangkat jam 11 malam!! Mama tahu selama lebih dari 3 tahun ini aku kemana aja? Aku ke diskotik!! Aku masih punya seratus kejelekan yang bisa aku sebarin kemana-mana kalau aku mau, mama tau nggak? Selama 19 tahun hidup aku, mama nggak pernah perduli, kenapa sekarang nggak ada angin nggak ada hujan tapi marah-marah begini? Apa salah aku? Apa?" ujarnya seraya mengibas-ngibaskan kedua tangannya tanpa arah.
Mamanya terbelalak melihat tanggapan Camelia yang di luar dugaan, "Kamu berani ngelawan omongan mama? Kamu berani ngelawan mama yang udah susah payah ngelahirin kamu? Kamu bisa kualat Lia!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati yang Terluka
General FictionSalahkah kami jika kami merindukan kasih sayang dan perhatian orangtua? Salahkah kami jika kami mencoba menarik perhatian mereka dengan mencoba berbagai cara? Salahkah kami jika pada akhirnya kami mungkin menyerah karena lelah? Mama, papa, dimana ka...