Pernikahan berlangsung dengan meriah. Claudia berdiri anggun dengan baju pengantinnya yang berwarna putih bersih. Ruangan begitu terang dengan lampu yang menyorot dari segala sisi. Clarisa tidak datang. Dia menghilang setelah hari terakhir ia mengunjungi Claudia di rumah sakit. Clarisa tidak kembali lagi ke kamarnya setelah selesai bicara dengan Aldo. Pria itu memang sudah menceritakan inti pembicaraan mereka, namun tidak secara keseluruhan. Claudia merasa gelisah karena hal itu. Ia ingin bicara langsung dengan Clarisa, ingin mengatakan berjuta kata maaf yang ia tahu tidak akan ada artinya namun tidak bisa dicegahnya.
Perasaannya pada Aldo sungguh bukan sesuatu yang disengaja. Claudia sendiri sebenarnya masih cemas dengan pernikahannya. Ia ibaratnya seperti seseorang yang sedang menyeberang lautan dengan menggunakan perahu kayu dan tidak tahu apakah di seberang sana akan ada pulau yang bisa ia singgahi selamanya. Claudia cemas, berusaha keras untuk percaya kepada Aldo namun kadang kala ketakutan itu muncul. Dan saat semua itu terjadi, Aldo akan mendekatinya dan meyakinkannya. Bukan dengan rayuan atau pujian yang bisa membawanya terbang tinggi namun melalui pengertiannya yang begitu besar, kepekaannya terhadap perasaan Claudia yang tidak pernah diungkapkan. Claudia mencintainya.
Sedikit demi sedikit Claudia berhasil memperbaiki nilai-nilainya yang berantakan. Kini ia punya banyak waktu untuk hal itu. Aldo menggaji seorang pembantu di rumah ayahnya dan di rumah mereka. Untuk membantunya mengurus rumah, agar kuliahnya tidak terlantar, agar ia bisa beristirahat dan agar ada seseorang yang bisa menemaninya ngobrol saat Aldo tidak ada di rumah. Itu alasan yang digunakan Aldo saat Claudia mati-matian menolak usulnya mengenai pembantu. Claudia akhirnya menyerah. Waktu luangnya yang berlimpah ruah kadang digunakan untuk mensyukuri hidup yang sudah ia jalani, digunakan untuk mengenang Camelia yang sudah bahagia di sana. Menuliskan rangkaian perasaannya melalui sebuah karya. Mengenang Clarisa dan menyimpan ribuan maafnya.
Ya, Clarisa pernah menghubunginya setelah berbulan-bulan menghilang. Ia mengatakan kalau kini ia berada di luar negeri, sedang menyelesaikan kuliahnya. Di sana ia mengambil jurusan seni dan design, seperti yang pernah diusulkan Camelia kepadanya. Ia juga sudah meninggalkan semua pacar-pacarnya dan saat ini ingin berfokus pada pelajaran. Claudia menyatakan jutaan maafnya dengan ribuan air mata yang membuncah. Clarisa tertawa,
"Gua yang seharusnya minta maaf sama lu, tau nggak? Aldo udah menyadari gua satu hal. Gua terlalu jahat sama lu. Sorry ya."
Claudia menggelengkan kepala sekuat-kuatnya walau Clarisa tidak bisa melihat hal itu melalui telepon, "Gua yang salah. Gua yang jahat, gua bukan temen yang baik. Harusnya gua bisa jujur sama lu mengenai perasaan gua, mengenai Aldo, mengenai semuanya, tapi gua lebih milih diem. Gua jahat. Sorry Risa, gua jahat sama lu."
Clarisa kembali tertawa nyaring, "Udahlah Diya. Mau minta maaf sampai kapan? Kita sama-sama salah, oke? Lagian gua juga udah nggak tertarik sama Aldo. Di sini ada cowo yang jauh lebih keren dan baik dari pada Aldo, gua lagi ngincer dia tapi nggak deh. Gua mau selesaiin kuliah gua dulu. Ha...Ha...Ha..."
"Risa. Makasih ya. Gua doain elu terus dari sini deh soalnya gua nggak bisa bantu apa-apa."
"Ehm, nggak boleh bilang maaf diya malah bilang makasih. Iya, makasih lu gua terima, maaf lu juga gua terima, asal lu bener-bener doain gua terus ya?"
"Oke, gua janji gua pasti doain kesuksesan elu terus sepanjang hayat gua."
Clarisa kembali tertawa. Ia tampak bahagia sekali sejak tinggal di sana.
"Sebenarnya gua pengen terima kasih sama Camelia." ujarnya tiba-tiba menjadi serius, tawanya sudah berhenti, nadanya begitu redup, "Berkat dia gua ambil keputusan untuk kuliah di luar negeri dan bener-bener ngejalanin hidup gua. Berkat dia gua sadar kalau hidup itu sangat berarti. Kita nggak tau kapan kita dijemput maut. Bisa sekarang bisa nanti. Karenanya gua mulai mau memanfaatkan hidup gua untuk hal yang berguna."
Claudia terdiam. Clarisa terdiam. Setelah mereka menutup telepon, mereka mulai kembali pada kenangan tentang Camelia. Orang yang paling memanfaatkan hidupnya dibandingkan mereka bertiga. Melakukan hal yang ia suka, menghasilkan banyak karya dan menghibur banyak orang lewat ceritanya. Camelia oh Camelia. Sedang apa ia sekarang?
Sebulan sekali Clarisa dan Claudia saling berhubungan lewat email. Berbagi cerita dan tawa juga berbagi tangis dan derita. Kali ini tidak lagi ada rahasia di antara mereka. Kebahagiaan mulai terjalin satu demi satu. Entah bagaimana dengan Camelia di atas sana. Apa yang ia rasakan? Tidak ada seorangpun yang mengetahuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati yang Terluka
General FictionSalahkah kami jika kami merindukan kasih sayang dan perhatian orangtua? Salahkah kami jika kami mencoba menarik perhatian mereka dengan mencoba berbagai cara? Salahkah kami jika pada akhirnya kami mungkin menyerah karena lelah? Mama, papa, dimana ka...