Sebulan lebih telah berlalu. Belum ada perkembangan apa-apa. Setidaknya belum ada perkembangan seperti yang diharapkan Clarisa. Claudia malah mungkin bisa dibilang mengacaukan segalanya. Aldo begitu ramah, selalu menyapa setiap kali bertemu namun setiap kali ia ingin menanyakan hal yang diminta Clarisa, mulut terasa terkunci dengan rapat. Claudia tidak berani. Bagaimanapun dekatnya mereka saat ini, Aldo masih terhitung orang asing. Kedekatan mereka hanya sebatas hai dan halo. Kalimat terpanjang yang pernah mereka bicarakan cuman, "Hari ini ada kuliah apa?" atau, "Lagi nggak ada kuliah ya?"
Kalau cuman begitu mana berani dia tiba-tiba menanyakan, "Aldo, gue mau nanya, bagaiamana perasaan lu sama Clarisa sekarang? Apa lu masih suka sama dia? Gua temennya, dimintain tolong buat nanya ke elu." Entah bagaimana reaksi Aldo kalau hal itu sampai terjadi.
Hari ini mereka berkumpul karena ada hal yang ingin Camelia bicarakan. Saat di telepon nadanya terdengar begitu bersemangat. Memang sih, dia berusaha menyembunyikannya dan membuatnya terdengar setenang mungkin namun berhubung Claudia rada peka, ia sadar kalau ada kabar gembira yang ingin Camelia sampaikan. Camelia menjemputnya di kampus kemudian mereka berkumpul di rumah Clarisa. Gadis itu tampak kurang bersemangat, mungkin karena harapannya nyaris kandas. Claudia yang merasa bersalah, takut Clarisa membencinya atau menjauhinya. Saat ini dia hanya punya mereka sebagai sahabat dekat, kalau sampai mereka menjauhinya, ia akan kembali seperti dulu, kesepian, sendirian.
"Guys, gue punya kabar yang mau gue ceritain ke elu semua. Pasang kuping, konsenterasi, dan dengar baik-baik apa yang gue bilang ini." Katanya dengan cengiran yang begitu lebar. Mereka memandangnya tegang. Penasaran dengan berita yang akan disampaikan. Melihat sahabat-sahabatnya sudah berkonsentrasi padanya, Camelia berbicara sepatah demi sepatah, "Novel-karangan-gue-di-te-ri-ma. Diterima!!!! Aaaaaaaaaaa...." Ia berteriak kegirangan. Kedua telapak tangannya menyentuh kedua pipi kiri dan kanannya sambil melompat-lompat tak terkendali. Mereka terbelalak. Antara gembira dan tidak percaya.
"Beneran lu?" tanya Claudia meyakinkan. Camelia mengangguk bersemangat setelah berhenti melompat. Kedua pipinya bersemu merah. Wajahnya yang biasa tampak keras kini tampak begitu manis dan kekanakan.
"Nggak lagi ngerjain kita kan?" tanya Clarisa curiga. Camelia menggeleng, masih bersemangat dengan cengiran di wajahnya.
Aura kegembiraan yang terpancar berhasil meyakinkan mereka kalau ia tidak sedang berbohong.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa........!!!!!!!!!" mereka berteriak serempak. Camelia ikut berteriak keras-keras. Clarisa segera menerjangnya dan memeluk Camelia dengan erat, "Selamat ya. Gile, akhirnya jadi juga omongan kita."
Claudia mendekati Camelia dan bergantian memeluknya, "Selamat ya. Di antara kita, malah elu yang sukses duluan. Hebat." Mereka berpelukan dan melompat-lompat bersama sejenak.
Camelia tersipu.
"Makan-makan!!!" teriak Clarisa keras, "Kapan kita makan-makan? Ayo dong makan-makan!!"
Camelia menaikan kedua alisnya, memandang Claudia penuh senyuman. Claudia balas memandangnya, menatap penuh arti. Mereka saling meleparkan cengiran, Camelia bangkit.
"Kalau begitu ayo!! Ngapain masih bengong di sini?!"
Claudia melompat berdiri. Masih pukul 10 pagi, berarti ia bisa main sampai siang. Claudia memandang mereka yang sibuk mengeluarkan alat make up. Clarisa mengeluarkan persediaan bajunya di lemari. Isi lemari itu 3x lipat isi lemari keluarga Claudia. Begitu banyak, begitu mewah, begitu membuat iri.
"Di!!" Clarisa memanggil. Claudia menoleh. Dia melemparkan beberapa helai pakaiannya ke pangkuan Claudia, "Coba sana."
"Buat apa?" tanyanya bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati yang Terluka
General FictionSalahkah kami jika kami merindukan kasih sayang dan perhatian orangtua? Salahkah kami jika kami mencoba menarik perhatian mereka dengan mencoba berbagai cara? Salahkah kami jika pada akhirnya kami mungkin menyerah karena lelah? Mama, papa, dimana ka...