Pagi ini cuaca begitu indah, matahari bersinar cerah namun tidak menyebarkan panas. Angin bertiup sepoi-sepoi, cuaca yang sangat bagus. Terutama bagi mereka yang ingin berjalan-jalan menikmati alam. Cuaca yang seperti ini, rasanya hati yang sakit pun bisa terobati, namun tidak di dalam rumah Camelia.
Ketiga gadis itu kembali berkumpul namun suasana hati mereka sama-sama sedang tidak baik. Camelia duduk di lantai, di sisi tempat tidur, sebelah lengannya ditengger di tepian tempat tidur. Matanya sayu, begitu kosong dan tidak berjiwa. Ada lingkaran hitam di sekitar matanya yang membengkak. Entah dia kurang tidur atau habis menangis.
Claudia yang duduk di hadapan Camelia, mengamati gadis itu dengan penuh perhatian. Di benaknya tersimpan banyak pertanyaan yang tidak dapat diungkapkan. Camelia semakin lusuh. Jam tangan mahal kesayangannya yang selalu ia bangga-banggakan sudah tidak melingkar di lengannya lagi. Cincin di jarinya pun sudah lenyap, bahkan kalung hadiah orangtuanya saat ia ulang tahun ke 6 sudah tidak tampak. Wajahnya yang pucat membuat Claudia prihatin. Lupa akan masalah yang mengganggu dirinya sendiri. Hari ini pun ia masih berlengan panjang. Sebuah kaus berlengan panjang berwarna biru yang sudah sangat lama tidak ia kenakan.
Clarisa merapikan rambutnya yang baru saja dipotong. Bukan dipotong pendek, hanya berubah gaya rambut. Ia begitu bahagia dan membanggakan rambutnya ini. Sudah 10 menit lebih dia di depan kaca hanya untuk menyentuh setiap helainya. Claudia menghela napas. Tidak mengerti mengenai sahabatnya yang satu ini.
"Gimana? Udah rapi belom? Bagus kan?" tanyanya riang.
"Bagus, bagus." Jawab Claudia tanpa semangat.
Nggak cocok! Rambut itu nggak cocok buat elo!
Camelia tidak memperdulikan celotehannya. Ia malah menatap Claudia dan bertanya penuh maksud, "Jadi, denger-denger udah punya cowo nih?"
Claudia tersipu, "Nggak juga lah. Nyokap yang ngenalin."
"Tapi udah jadian kan?"
Claudia mengangguk malu. Clarisa melompat kecil ke sisinya, "Gimana? Gimana? Ganteng nggak?"
Claudia mengerutkan kening, membayangkan sosok Alex yang tinggi dengan rambutnya yang selalu tertata rapi, "Biasa aja."
Camelia tertawa kecil melihat reaksi Claudia. Clarisa juga cekikikan, "Kapan makan-makan? Traktir makan dong."
"Mana bisa..." Jawab Claudia cepat. Ia sadar, kedua sahabatnya ini orang berada. Ia beruntung karena sejak bersahabat dengan mereka, mereka tidak pernah mengejeknya sedikit pun.
"Kok nggak bisa? Ayo dong, kapan aja gua siap."
Camelia melempar gumpalan kertas ke wajah Clarisa. Gadis itu menggerutu dalam sekejap. Claudia mengamatinya ragu-ragu.
"Mel, gua boleh nanya sesuatu nggak?"
"Apa?" tanya Camelia tanpa rasa curiga.
"Lu kenapa? Sakit? Kok pucet begitu sih?"
Camelia menatapnya, "Nggak. Lu nggak perlu tau."
"Tapi Mel, kita kan temen, kalau lu ada masalah cerita aja, mungkin gua bisa bantu."
"Bantu apa?" tanya Camelia mengamuk tanpa sebab, "Memang lu bisa bantu apa? Lu sibuk pacaran sementara gua tersiksa di sini! Orangtua gua mulai ribut terus, bokap selingkuh, kerjaan gua nggak lancar! Tau nggak lu? Gua udah nggak bisa pakai ini otak setan lagi!!" ujarnya sambil memukuli kepalanya sendiri, "Gua udah nggak bisa mikir!! Lu bisa bantu apa? Enak-enak pacaran sama cowo baru, memang masih inget sama gua?"
Claudia terkejut mendengar Camelia berteriak kesetanan. Clarisa juga ikut terbelalak dan berhenti membelai-belai rambutnya.
"Tenang dulu dong Mel. Lu kan bisa telepon kita, kapan aja lu butuh, lu bisa telepon. Hp-gua selalu aktif Mel, lu tau itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati yang Terluka
General FictionSalahkah kami jika kami merindukan kasih sayang dan perhatian orangtua? Salahkah kami jika kami mencoba menarik perhatian mereka dengan mencoba berbagai cara? Salahkah kami jika pada akhirnya kami mungkin menyerah karena lelah? Mama, papa, dimana ka...