Pertemuan

12 1 0
                                    

Kemarin ia tidak kemana-mana. Camelia memandang wajahnya di cermin besar di dalam kamarnya. Membosankan. Wajahnya cukup cantik. Camelia menyadari hal itu. Kulitnya putih. Tubuhnya langsing. Keluarganya kaya. Ia sadar, banyak gadis yang bersedia menggantikan posisinya di rumah ini. Ia kembali memandang wajahnya yang balas memandang dari balik cermin. Cantik, munggil, berlesung pipi, putih, namun begitu pucat. Tidak ada semangat, bahkan mungkin tidak ada cahaya kehidupan di sana. Dia bosan. Kegiatan apa yang bisa ia pilih untuk mengisi waktu kosongnya sekarang? Camelia berpikir keras. Pandangannya beralih pada lemari besar di belakang punggungnya. Ia berbalik, membuka lemari, memilih pakaian, berganti baju, berdandan, kemudian mengendarai mobil untuk mengitari Jakarta.

Ia memandang jalan raya, memandang orang-orang yang lalu lalang di sekelilingnya. Semua begitu sibuk, begitu ramai, begitu bahagia, begitu ada tujuan, sementara dirinya, bahkan tidak tahu harus berhenti dimana. Berputar-putar seperti ini merupakan salah satu kesenangannya sejak diskotik terasa tidak menarik lagi. Ia berpikir untuk bereksperimen dengan obat yang ia dapatkan, namun Camelia masih tetap berusaha menahan diri. Entah sampai kapan namun tidak sekarang. Tunggu saja nanti. Tunggu sampai keadaan benar-benar kacau, sampai ia sudah tidak tahan lagi, sampai orang-orang mendesaknya meminum obat itu secara tidak langsung, maka lihat saja apa yang akan terjadi nanti.

Hatinya terasa lelah, ia merasa bosan. Diparkirnya mobil di mall terdekat. Ia bahkan tidak perduli apa nama mall itu. Mungkin mall Semanggi, entahlah. Langkahnya mengayun dengan lemah, gontai dan tidak bersemangat. Ia beputar-putar, menyadari kalau pernah masuk ke mall yang satu ini. Tidak aneh. Mall di Jakarta kan hanya itu-itu saja. Tidak ada yang menarik. Hanya tempat olah raga kaki dengan udara yang sejuk dan pemandangan yang membosankan. Baru saja ia menikung, tubuhnya ditabrak seorang gadis yang di tangannya ada begitu banyak barang belanjaan sehingga barang-barang itu jatuh di lantai.

Camelia terkejut. Gadis itu juga terkejut. Mereka bertatapan. Wajah lawannya yang bermake up tebal, alisnya yang terangkat tinggi dan begitu hitam membuat Clarisa salah menduga. Ia mengira Camelia menantangnya dan tidak ingin minta maaf. Ia juga menatap dengan galak sambil memaki,

"Eh bego!! Mata lu di mana? Jalan tuh mata dipake, bukan pajangankan? Cakep-cakep kok tolol! Liat kan, barang-barang gue jadi berantakan semua gara-gara lu nggak pake mata!! Bego!!"

"Apa lu bilang?" tanya Camelia tidak percaya, keningnya berkerut dalam. Ia memang tidak asing dengan pertengkaran-pertengkaran seperti ini di dalam diskoik, tapi ia cukup asing dengan makian seorang gadis anggun di sebuah mall. Ini pengalaman pertama, tapi terasa cukup menyenangkan. Sebuah tantangan. Perubahan. Itu yang ia butuhkan. Sebuah kegilaan yang bisa menyegarkan semangat hidupnya. Kini kesempatan itu tiba, ia tidak ingin menyia-nyiakannya. Ini saatnya ia melampiaskan semua kekesalan yang tersimpan di hatinya karena itulah ia juga membalas makian itu dengan teriakan, "Coba ngomong sekali lagi? Ayo ngomong, gua kurang denger." Ujar Camelia sambil mendorong tubuh Clarisa hingga gadis itu terhuyung-huyung mundur ke belakang. Sandal hak tingginya nyaris saja membuatnya terjatuh, untung Clarisa berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya. Ia berdiri dengan tegap dan bertolak pinggang dengan penuh percaya diri.

Clarisa tidak mau kalah. Ini saatnya mengeluarkan semua kekesalan dalam hatinya. Sakit hatinya. Ia tidak bisa memaki orang, ia tidak bisa mengamuk dengan orang asing karena masalah sepele, ia hanya bisa menangis. Ini saatnya ia mencoba sesuatu yang baru. Ini kedua kalinya ia ribut di mall. Siapa yang perduli? Paling-paling juga diusir satpam. Clarisa menegakan tubuhnya dan balas memaki,

"Kasian deh. Udah nggak bisa pake mata, ternyata juga budeg. Biar gue ulang sekali lagi buat loe. Lu tuh bego!! Mata nggak bisa dipakai, cuman buat pajangan!! Tolol!! Otak di dengkul!! Kasian deh orangtua lu punya anak kayak begini." Ujarnya semakin berani.

Sekeping Hati yang TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang