Claudia baru saja pulang kuliah saat terdengar isak tangis ibu di ruang depan. Gadis cantik berparah tegas sekaligus cemas itu berlari kecil, menghampiri wanita setengah baya yang sedang menangis tersedu-sedu. Hah, kejadian seperti ini sudah biasa. Keluhnya dalam hati. Ayah bekerja sebagai seorang pegawai kecil di sebuah perusahaan, ibu hanya seorang ibu rumah tangga dengan sifat yang lemah. Claudia punya seorang kakak perempuan, sifatnya begitu keras, kata orang, sifat itu diturunkan oleh ayah yang juga pemberang, dan Claudia percaya itu. Nyatanya, ayahnya memang keras kepala, sering marah kepada ibu kalau suasana hatinya sedang tidak baik. Kakaknya yang tidak suka dipusingkan oleh keributan rumah tangga selalu balas berteriak marah setiap kali ibu menangis dan ayah marah. Ujung-ujungnya sang kakak akan kabur dari rumah dan baru akan kembali beberapa hari lagi. Akhirnya hanya Claudia yang harus mendengar dan mengurus pertengkaran itu.
Selain seorang kakak, Claudia juga punya seorang adik laki-laki, tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Keras kepala, pemberang, dan yang paling parah, malas. Tidak pernah bisa belajar, tidak mau belajar, mungkin sifat yang ini diturunkan oleh ibunya yang memang tidak pernah bisa apa-apa. Sepanjang hari adiknya hanya bermain. Tidak perduli nilai yang hancur menghiasi raportnya, padahal sekarang ia sudah duduk di bangku kelas 3 SMU dan usianya 18 tahun, mau jadi apa nantinya? Semua orang marah pada ibunya, termasuk adiknya ini. Ia tidak suka diperintah untuk belajar. Ia akan balas membentak, akan melawan. Jika sudah begitu, ibunya hanya bisa menangis, menangis, dan menangis. Dan jika semua itu sudah terjadi, tugas Claudia lah untuk menghentikan tangisan ibunya, menutup luka batin ibunya dan memaksa adiknya untuk belajar.
Lelah, Claudia sudah lelah dengan semua itu, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Hari ini juga begitu, ia mencoba membujuk ibunya agar berhenti menangis, mencoba bicara dengan keras kepada adiknya agar mau belajar, mencoba memohon kepada kakaknya agar mau mengerti, dan mencoba menghibur dirinya sendiri dengan berbagai alasan yang ia juga tak mengerti. Hari sudah malam saat ia selesai menenangkan mereka semua, menyiapkan makan malam untuk ayahnya, melerai pertengkaran kedua orangtuanya, mencuci pakaian keluarganya, melakukan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan seorang ibu rumah tangga. Menggantikan pekerjaan ibunya hanya karena keahlian no 1 ibunya adalah menangis, menyalahkan keluarganya, menyalahkan diri sendiri, dan menyalahkan keadaan.
Claudia tidak ingin membenci ibunya. Dia juga tidak ingin membenci ayahnya. Dia berusaha mencintai adiknya dan menghormati kakaknya. Namun kadang ia sadar, hatinya menjerit. Siapa yang mau mengerti? Kenapa harus dirinya yang menanggung semua beban ini sendirian? Claudia sering terpekur di dalam kamar. Duduk di depan meja belajar yang terbuat dari kayu sambil melipat kedua tangan dan meletakan kepalanya di meja. Kamar berukuran 2X3 m itu hanya diterangi oleh cahaya lampu yang remang-remang. Ia kembali bersandar pada meja tulis dengan bertopang pada kedua telapak tangan. Tubuhnya lelah, pikirannya lelah, emosinya juga lelah. Ia ingin tidur, beristirahat selama-lamanya, tidak ingin bangun lagi dan menghadapi hari esok dengan berbagai keributan lainnya. Dia tidak membenci mereka, tidak, tapi ia begitu enggan bertemu mereka. Ingin lari rasanya. Lari sejauh-jauhnya. Lari hingga tidak ada seorang pun yang bisa menemukannya dan memerintahnya lagi. Lari hingga dirinya merasa lelah, hingga letih, hingga ia merasa lega. Lari dan lari. Tapi kemana? Claudia sadar kalau ia tidak punya tempat lain selain di rumah. Dipejamkan matanya sesaat.
Sebuah suara radio yang diputar adiknya terdengar ke dalam kamar.
Sang penyiar radio berseru dengan nyaring di tengah malam buta, suaranya terasa begitu mengganggu, namun Claudia tidak bicara, hanya terdiam pasrah mendengarkan suara-suara itu masuk ke telinganya,
"Sebenarnya, dari mana datangnya masalah? Kita akan coba untuk menelusuri masalah-masalah yang masuk hari ini. Ya, coba penelepon pertama....." suara terhenti, siaran radio berganti, kini sebuah musik rock memenuhi ruangan. Claudia melirik jam dinding. Pukul 11 malam. Ia menghela napas. Dengan berat hati ia bangkit berdiri dan duduk di depan komputer, besok ada tugas yang harus dikumpulkan tapi belum sempat ia kerjakan. Kalau begini terus nilainya bisa hancur, tapi siapa yang bisa menolong? Tidak ada seorang pun. Claudia yakin itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati yang Terluka
General FictionSalahkah kami jika kami merindukan kasih sayang dan perhatian orangtua? Salahkah kami jika kami mencoba menarik perhatian mereka dengan mencoba berbagai cara? Salahkah kami jika pada akhirnya kami mungkin menyerah karena lelah? Mama, papa, dimana ka...