Luka

16 0 0
                                    

Sudah dua bulan sejak pertama kali Claudia menyayat telapak tangannya dengan pisau lipat dan sejak saat itu kegiatan itu selalu dilakukannya apabila hatinya sedang tidak bahagia. Ia memang tidak melukai telapak tangannya namun ia melukai lengannya. Sudah ada puluhan luka yang tercipta sejak ia mulai belajar melukai diri sendiri. Tidak hanya di lengan, kadang ia juga melukai kakinya. Claudia menikmatinya. Pertama kali ia terluka, Aldo menanyakannya.

"Tangannya kenapa?"

"Hah?"

"Itu di telapak tangan?"

"Oh, ini nggak sengaja kena pisau waktu motong."

"Kok bisa kena di sana?"

Bukan urusan lu kan? Ini orang tukang ikut campur aja. Pikirannya berkomentar.

Claudia hanya bisa tersenyum, "Pisaunya jatoh, gua refleks tangkep, eh, kena bagian tajemnya. Begini deh hasilnya."

Aldo menganggukan kepala kemudian menyerahkan handyplas untuk dikenakan Claudia, "Biar nggak kena debu dan jadi makin parah." Itu katanya.

Claudia terharu dan sejak saat itu ia berusaha menutupi semua lukanya. Ia tidak pernah melepas jaketnya dalam kondisi apapun sekalipun udara sedang begitu panas. Kalau ada yang bertanya, ia akan mengelak dengan pintar,

"Nggak mau makin item. Liat dong, kulit gua aja udah cukup item."

Kalau cuaca sedang mendung, ia akan bilang, "Dingin, gua nggak kuat dingin, gampang sakit."

Karena alasan-alasannya itulah ia tidak pernah lagi dicurigai siapapun. Claudia bahkan sudah memiliki seorang pacar. Ibunya mengenalkannya dengan seorang pria yang sudah bekerja dan cukup baik. Claudia tidak menolak. Ia memang sangat ingin memiliki seorang pacar, ia ingin ada seseorang yang bisa diajak berbagi cerita, berbagi mimpi, dan menghiburnya di kala ia sedih. Rasanya sangat menyenangkan jika membayangkan hal itu. Namun ternyata bayangan tidak seindah kenyataan. Claudia berpacaran dengan orang yang salah dan tidak sesuai harapannya sehingga ia merasa semakin tertekan.

Hari ini mereka sedang kencan untuk yang kesekian kalinya. Alex, pacarnya, agak kesal karena Claudia selalu mengenakan jaketnya kemana-mana. Raut wajahnya begitu kusut, ia berjalan di depan lebih dulu, tidak ingat pada Claudia yang berjalan di belakang.

"Kenapa sih? Buka aja deh. Gerah tau ngeliatnya."

"Tapi, tapi mall-nya dingin, aku nggak kuat."

"Nggak bakal masuk angin, tenang aja."

"Tapi..."

"Kamu nggak percaya sama aku? Gitu?"

Claudia menggeleng, tertunduk dalam-dalam, ia hanya tersenyum kecil seakan itu hanya bahan candaannya namun Claudia tahu, jika ia tidak menurut maka mereka akan bertengkar besar. Dia melanjutkan 'candaannya' dengan nada yang ramah, "Jadi sekarang berani ngelawan ya? Hebatnya." Ia mengusap rambut Claudia pelan, "Aku tuh udah dititipin mama kamu buat jaga kamu, mana mungkin aku bikin kamu sakit? Udah buka aja jaketnya."

Claudia menelan ludah dengan perasaan gelisah, takut bekas-bekas luka itu menjadi pertanyaan dan memicu keributan. Dengan tangan yang gemetar dan jantung berdetak keras, ia melepas jaketnya. Beberapa garis luka masih tampak jelas, beberapa lagi sudah memudar dan sebagian besar sudah hilang seiring berjalannya waktu. Claudia mencuri-curi pandang menatap Alex dengan kecemasan yang berlipat ganda dibandingkan biasanya.

Melihat Claudia sudah melepas jaketnya, Alex tersenyum puas. Perhatiannya tersita oleh pajangan hp jenis-jenis terbaru yang dipasang di etalase, tidak menyadari luka di tangan Claudia. Ia berjalan di depan, buru-buru menghampiri etalase itu dengan pandangan tertarik.

Sekeping Hati yang TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang