"Di, gue mau ngomong sama lu." Ujar Aldo begitu melihat Claudia menampakan diri di kampus, "Lu masih lama kan masuknya? Gua mau ngomong." Katanya dengan raut wajah yang serius. Claudia mengerutkan kening begitu dalam, membiarkan Aldo menariknya ke kantin.
Saat itu kantin masih sangat sepi. Mereka hanya duduk di sana dan berbicara.
"Sebenarnya kemaren itu gimana ceritanya? Dia adik lu? Bukan cowo lu?" tanya Aldo.
Claudia menganggukan kepala, "Gito adik gua."
"Tapi dia mau mukul elu?" tanyanya bingung. Raut wajah Claudia yang langsung berubah, semakin meredup dan sangat jelas terlihat membuat Aldo meminta maaf karena merasa tidak enak hati, "Sorry. Gua nggak bermaksud ikut campur urusan lu. Kalau nggak mau cerita juga nggak apa-apa kok. Gua nggak mau maksa lu untuk nyeritain hal yang nggak mau lu ceritain."
Claudia menatap Aldo lebih seksama. Raut wajahnya yang lembut, sinar matanya yang bening, tatapannya yang bersahabat, suaranya yang menenangkan, mungkin dia bisa mengerti. Itu pikirnya dalam hati. Mungkin sudah saatnya ia mengeluarkan semua perasaannya selama ini dan berbagi kepada orang lain.
Tapi bukankah ia sudah punya tempat untuk berbagi? Bukankah ia sudah punya Clarisa dan Camelia? Claudia segera merasa bersalah tapi begitu teringat Clarisa, ia mulai berdebar. Clarisa!! Anak itu memintanya untuk mendekati Aldo, mungkin ia bisa memulainya sekarang dan mengabarkan kabar gembira kepada Clarisa. Memikirkan hal itu, Claudia menjadi semakin bersemangat. Ini pikiran yang bagus. Ia akan jadi teman yang sangat berguna. Clarisa akan berterima kasih kepadanya. Ia melakukannya untuk Clarisa. Pikirnya meyakinkan diri sendiri.
Claudia tidak pernah menyadari kalau keputusannya yang satu ini telah mendatangkan bencana diantara mereka. Keretakan mulai timbul tanpa seorangpun menyadarinya. Semuanya baik-baik saja, itu yang ia pikirkan. Ia mulai berbicara,
"Keluarga gua bukan keluarga yang harmonis."
Claudia menatap wajah Aldo. Cowo itu sedang mendengarkan dengan begitu serius. Ia terlihat begitu tenang dan sabar, begitu kuat dan menggetarkan. Tingkahnya yang seperti itu membuat Claudia benar-benar tidak bisa menahan diri dan menceritakan semuanya. Menceritakan mengenai ayahnya yang pemarah namun mau bekerja keras, mengenai ibunya yang hanya bisa menangis namun begitu menyayangi keluarga dan membuatnya tidak bisa membencinya. Menceritakan mengenai kakaknya yang suka kabur dari rumah dan membuatnya repot namun selalu membela Claudia setiap kali ayah mereka marah-marah.
Mengisahkan mengenai adiknya yang pemarah, tidak lulus sekolah, dan sering melarikan diri namun tetap memanggilnya dengan sebutan kakak. Itu membuat Claudia merasa walau sehancur apapun dia, dia masih menghormatinya sebagai seorang kakak sehingga Claudia tidak bisa membencinya. Ia menyayangi mereka, sangat menyayangi mereka namun ada kalanya ia merasa tidak tahan dan hampir gila. Claudia begitu banyak bercerita hingga tanpa sadar jam sudah menunjukkan pukul 08.30, ia sudah bercerita hampir 1 ½ jam, ia terkejut,
"Gua musti masuk, kuliah ini penting."
Aldo tersenyum dan menganggukan kepala dengan ramah. Claudia berlari kecil menaiki tangga namun segera menoleh sebelum berlari terlalu jauh. Melihat Aldo yang sedang menatap kepergiannya. Tatapan mereka bertemu, Claudia melanjutkan langkahnya. Ia sudah bercerita begitu lama, menceritakan segalanya kepada orang yang sama sekali asing. Yang selain namanya dan hubungannya dengan Clarisa, ia bahkan tidak mengetahui apa-apa mengenai pria ini. Ini sangat mengherankan.
Awalnya ia hanya berniat menceritakan beberapa hal saja, tidak perlu terlalu spesifik namun setiap kali ia menyelesaikan satu kisah, Aldo selalu menatapnya dengan rasa ingin tahu yang besar, menatapnya seakan dapat membantunya mengangkat beban yang begitu besar di pundak Claudia sehingga gadis itu tidak bisa berhenti bercerita. Ia telah mengatakan semuanya, termasuk perasaannya terhadap keluarganya, bukan hanya rasa sayangnya tapi juga kekesalannya, sakit hatinya, kesedihannya, semua dikeluarkan tanpa henti dan Aldo masih menatap dengan penuh ketertarikan. Tidak ada sedikitpun rasa bosan di wajahnya, tidak ada kejenuhan karena kisah yang tidak menarik itu. Claudia menghormatinya untuk itu, berterima kasih kepadanya untuk itu, memujanya untuk itu. Aldo. Mungkin ia beruntung bisa mengenalnya. Mungkin cowo yang satu ini tidak seburuk yang pernah ia bayangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati yang Terluka
General FictionSalahkah kami jika kami merindukan kasih sayang dan perhatian orangtua? Salahkah kami jika kami mencoba menarik perhatian mereka dengan mencoba berbagai cara? Salahkah kami jika pada akhirnya kami mungkin menyerah karena lelah? Mama, papa, dimana ka...