"Mama, mama, lihat deh. Nilai Camel 100 loh." Seru Camelia bahagia sambil mengancung-ancungkan selembar kertas ulangan matematika yang bernilai 100. Hatinya diliputi kegembiraan yang tidak bisa digambarkan bagi seorang anak kecil berusia 6 tahun. Matanya berkilauan sejernih air embun di pagi hari dan suara mungilnya terdengan lebih merdu dari biasanya. Ia begitu bangga dan yakin kalau ibunya akan menoleh kepadanya. Matanya terus berkilau penuh harapan, namun harapan itu kandas begitu saja takkala sang ibu hanya menjawab singkat tanpa menoleh sedikit pun.
"Hmmm." Ujarnya disela-sela kesibukannya dengan pekerjaannya. Ia bahkan tampak tidak ada waktu untuk memandang kertas yang bagi seorang anak berusai 6 tahun begitu berharga. Pandangan matanya lurus menatap komputer di hadapannya dan beberapa kertas yang bertebaran di meja kerjanya. Camelia memandangi sang ibu dari sisi kanan meja kerja ibunya. Ia tidak mengerti, apa yang salah. Batinnya merasa gelisah, namun ia tidak memahami sebabnya. Ia mengira ibunya akan menoleh kepadanya jika ia bisa mendapatkan nilai yang bagus. Nilai seratus kan merupakan nilai yang sempurna, tapi ternyata ibunya masih juga tidak mau menoleh padanya. Camelia terus menatap ibunya dengan sedih.
Usia 10 tahun Camelia menonton TV. Acara Keluarga Cemara membuatnya terharu. Dalam hati ia bertanya-tanya, kapan ia bisa memiliki keluarga yang menyayanginya, memperhatikannya? Camelia percaya, jika ia terus menunggu, ayah ibunya akan menoleh kepadanya. Jika ia terus berusaha, mereka akan menyayanginya dan keluarga mereka akan menjadi keluarga bahagia. Camelia berusaha mempercayai itu. Berbagai bayangan tentang keluarga bahagia bermunculan di benaknya sehingga membuat ia tertidur di depan TV dan digendong masuk ke kamar oleh pembantunya.
Ketika ia berusia 15 tahun, ia sadar kalau ibunya tidak akan pernah menoleh kepadanya. Apapun yang ia lakukan, ibunya tidak akan menoleh padanya. Usahanya selama bertahun-tahun terbuang sia-sia. Ibunya tidak akan menoleh padanya, apalagi ayahnya. Mereka berdua begitu sibuk oleh bisnis yang tidak Camelia mengerti. Ayahnya membuka sebuah perusahaan ekspor import yang tidak Camelia mengerti. Ibunya bekerja sebagai seorang pengacara yang Camelia juga tidak mengerti dan kini ia bahkan sudah tidak perduli lagi. Apa enaknya bekerja siang dan malam tanpa ada hiburan? Apa enaknya bergumul dengan komputer dan kertas-kertas seakan tanpa kehidupan...Ia punya cara lain yang bisa ia lakukan untuk menarik perhatian orangtuanya. Ia tidak lagi percaya dengan mimpi-mimpi indah. Ia tahu, masih ada cara lain yang lebih ampuh dan seru juga menantangnya sebagai remaja.
Ia menghancurkan semua nilai sekolahnya. Hancur, biar saja hancur. Makinya marah dikala sendiri. Lagi pula dengan begini orangtuanya bisa menoleh kepadanya. Mereka akan dipanggil ke sekolah karena nilainya begitu hancur, mereka akan malu karena anak mereka satu-satunya memiliki nilai yang begitu hancur. Hancur, namun ia masih bisa naik kelas, ia juga tidak mengerti. Bagaimana bisa? Dengan nilai yang begitu berantakan, ia bisa naik kelas? Mungkin guru mengkasihaninya. Mungkin juga guru-guru itu merasa kalau ada sesuatu yang membuatnya seperti itu, apalagi nilai-nilainya saat masih kecil begitu bagus. Mungkin juga ayahnya membayar semua guru-guru itu agar mengkasihaninya. Camelia tidak perduli sama seperti orangtuanya yang juga masih tidak perduli padanya. Mereka bisa membesarkannya dengan uang. Mereka bisa mendidiknya dengan uang. Bahkan mereka bisa menyelamatkan muka mereka dan nilai-nilai hancurnya dengan uang. Wajar sekali kalau mereka masih tidak perduli.
Ia tidak akan menyerah begitu saja. Camelia belajar. Belajar tentang kehidupan, belajar tentang kejamnya hidup, belajar tentang cara lain yang lebih menantang. Ia memutuskan untuk tidak mau melanjutkan kuliah setelah tamat SMU. Ia juga tidak mau bekerja. Hari-harinya dihabiskan dengan bersenang-senang di luar rumah, mall, diskotik, di mana saja asalkan ia tidak perlu di rumah. Orangtuanya juga masih tidak perduli. Mereka bahkan tidak tahu siapa temannya, kemana ia pergi, apa yang ia lakukan. Camelia mulai berpikir untuk melakukan yang lebih heboh lagi. Menarik, batinnya pedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati yang Terluka
General FictionSalahkah kami jika kami merindukan kasih sayang dan perhatian orangtua? Salahkah kami jika kami mencoba menarik perhatian mereka dengan mencoba berbagai cara? Salahkah kami jika pada akhirnya kami mungkin menyerah karena lelah? Mama, papa, dimana ka...