Clarisa menangis. Air matanya tumpah begitu derasnya tanpa mampu dihentikan siapapun selain pria yang ia harapkan. Kenapa? Kenapa semua orang mempermainkan dirinya? Apa yang salah? Ia sudah melakukan semuanya seperti yang mereka inginkan. Ia menuruti apa yang mereka mau. Semuanya! Setiap kali jalan-jalan, ia pasti yang lebih sering mengeluarkan uang. Setiap kali pacarnya kesulitan keuangan, ia pasti mau membantu mereka mengatasi hal itu. Ia akan meminjamkan uangnya untuk mereka, tidak perduli berapapun jumlahnya tapi kenapa? Mereka semua hanya muncul apabila mereka membutuhkannya, jika tidak, mereka pasti sulit sekali untuk dihubungi. Ya tidak aktif lah, yang sibuk lah, ya sakit lah. Apa salahnya?
Kali ini cowonya yang nomor 2 tertangkap sedang berkencan dengan gadis lain. Sebenarnya sudah 2 minggu Clarisa merasakan hal itu namun ia sama sekali tidak berani menanyakannya. Karena sifatnya itu, Claudia selalu memarahinya setiap kali ia bercerita.
"Lu mesti tegas dong Ris! Elu tuh cuman dimanfaatin!! Sadar dong. Dia nggak bener-bener sayang sama loe. Kalau dia sayang, dia nggak mungkin ngerepotin elu sampai suruh elu ngeluarin banyak duit buat dia. Dia cuman sayang sama duit lu Ris."
"Nggak kok Di. Gua tau dia sayang sama gue. Gue tau itu. Dia cuman lagi kena masalah aja, nggak ada jalan lain selain minjem duit ke gua dan sebagai cewenya jelas gua harus bantu dia dong."
"Iya gua tau. Lu makan sayang dari dia. Makan terima kasih dari dia. Makan gombalan dia dan dirayu abis-abisan. Semua itu cuman buat dituker sama duit lu. Gila lu ya masih bisa percaya sama dia?"
"Dia nggak bohong Di, gua tau. Dia bener-bener sayang gua. Dia sering kok kirim sms cuman buat nanya gua lagi ngapain, bilang kalau dia kangen atau cuman buat bilang met bobo. Dia cowo baik Di."
Claudia hanya bisa menghela napas kesal mendengar penjelasannya, "Lu ditipu. Sadar dong. Itu namanya dirayu. Tau nggak yang namanya digombalin? Lu lagi mengalami hal itu Risa!! Dia pernah sms lu kalau lagi seneng, lagi nggak ada masalah dan nggak butuh bantuan elu?"
Clarisa memikirkan pertanyaan itu dalam-dalam dan hanya bisa bilang, "Mungkin pernah, gua nya aja yang nggak sadar. Emang sih dia lebih banyak menghubungi gua kalau lagi ada masalah, tapi kan itu karena kepepet. Gua yakin dia sayang gua."
"Kalau lu bisa seyakin itu ya udah, gua bisa bilang apa lagi?"
Pembicaraan mereka itu kini membuat Clarisa menangis lebih kuat. Dia yakin pacarnya ini menyayanginya. Cowo itu pernah bilang kalau ia serius dengan Clarisa, ingin menikahinya kalau saatnya sudah tepat. Clarisa yakin dia tidak berbohong. Clarisa bahkan masih menyimpan sms-sms manis darinya. Lalu siapa wanita yang dirangkulnya dengan mesra? Mungkinkah itu hanya teman dekat? Seperti peristiwa Aldo dulu. Ya Clarisa yakin kalau gadis itu hanya teman dekat. Kegundahannya yang tidak berakhir itu mendorongnya untuk menelpon Claudia sepeti biasanya.
"Di, menurut lu gimana?" pintanya memelas. Terdengar suara Claudia menghela napas berat.
"Kan gua udah bilang dari dulu kalau cowo lu itu penipu. Penjahat. Lu nggak percaya, sekarang malah nanya gua lagi, ya jawaban gua tetep sama."
"Tapi Di, mungkin aja kan kalau cewe itu cuman temen deketnya?"
"Temen deket yang sampai rangkul-rangkulan pinggang? Terserah loe aja deh, gua nggak mau perduli lagi."
"Makanya gua agak ragu Di, tapi gue nggak mau terjadi salah paham antara gua sama dia. Gua mau dia cerita sama gua, jujur sama gue biar gua tahu gua harus bagaimana."
"Ya kalau gitu lu tanyain langsung aja ke dia, jangan nanya gue, gua nggak tahu. Gua kan bukan dia!" ujar Claudia mulai histeris. Ia lelah karena Clarisa selalu menelpon untuk masalah yang nyaris sama setiap minggunya selama berbulan-bulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati yang Terluka
General FictionSalahkah kami jika kami merindukan kasih sayang dan perhatian orangtua? Salahkah kami jika kami mencoba menarik perhatian mereka dengan mencoba berbagai cara? Salahkah kami jika pada akhirnya kami mungkin menyerah karena lelah? Mama, papa, dimana ka...