Persimpangan

13 1 0
                                    

"Apa lu bilang?" tanya Clarisa nyaris histeris, "Aldo minjemin elu hp-nya?"

Claudia menganggukan kepala dengan serius. Hari itu mereka berkumpul di rumah Camelia. Setumpuk minuman dan makanan sudah tersaji di sana namun masih belum ada yang tersentuh mereka. Setiap dua menit pembantunya pasti membawakan kue-kue baru sampai Camelia melarangnya masuk ke kamar lagi.

Pembantunya memang sudah tua namun ia sangat baik hati dan ramah. Ia sangat menyayangi Camelia sampai tanpa bisa menyembunyikan kebahagiannya lagi saat melihat Camelia memiliki dua orang teman yang 'normal'. Puluhan tahun ini ia membesarkan Camelia seorang diri hingga merasa Camelia seperti anaknya sendiri. Karena itulah ia begitu sedih saat tahu Camelia semakin terpuruk dari hari ke hari sementara ia sendiri tidak bisa membantu apa-apa karena bagaimana pun orangtua kandung masih lebih berpengaruh daripada orang lain.

Kamar yang begitu besar itu sarat dengan nuansa biru muda. Sangat berlawanan dengan Clarisa yang feminin. Kamar Camelia begitu polos, hanya ada lemari biru muda yang ada di sisi kiri pintu masuk, cap lampu biru muda yang diletakan di atas meja samping tempat tidur, dan sebuah meja rias besar berwarna putih bersih dengan kaca yang melebar. Tempat tidurnya pun sarat dengan nuansa biru yang indah. Claudia kembali terkagum-kagum.

Kamar gua mana bisa dibandingin? Claudia berpikir sedih, mengingat kamarnya yang hanya ada meja belajar kayu dan ranjang dari kayu. Ia menatap sahabatnya.

"Kok bisa gitu sih? Lu bilang nggak berani kenalan sama dia, tapi lu malah dapet hp-nya, gimana sih?" cecar Clarisa agak cemburu. Saat berpacaran dulu, Aldo tidak pernah mengijinkan Clarisa menyentuh hp-nya dan kini, kini sahabatnya mendapatkan pinjaman hp dari Aldo. Ia tidak bisa mencegah rasa sakit hati itu muncul ke permukaan.

Claudia menatap Clarisa bingung, "Dia nabrak gue waktu gue lagi nelpon lu itu, hp gue rusak jadi dia minjemin hp-nya buat gue dan hp gue diperbaiki di toko. Itu doang kok. Jangan cemburuan gitu dong."

"Nggak. Gue nggak cemburu kok. Lu kan temen gue, masa gue cemburuin. Kalau buat temen sih gue rela ngasih Aldo buat loe, tapi gua yakin, lu nggak bakal mau. Lu kan nggak tertarik sama cowo, iya nggak?" jawab Camelia asal.

Claudia tersenyum pahit. Ketidaksukaannya kepada pria bukan karena ia benci tapi karena ia takut. Ia tidak ingin dipermainkan seperti Clarisa, ia tidak ingin direndahkan seperti ibunya, dan baginya itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan dan untuk mencegah hal itu terjadi pada dirinya maka ia tidak ingin dan tidak akan bergaul dengan pria. Namun kadang sebagian dirinya berharap bisa mendapatkan seseorang tempatnya bersandar saat ia sedang sedih dan menderita. Seseorang yang bisa diandalkan, dijadikan penopangnya. Seseorang yang dapat meminjamkan bahunya untuk dijadikan tempat menangis. Kadang kerinduan itu membuncah dan membludak dari hatinya dan jika hal itu terjadi, Claudia hanya bisa berusaha menyibukan diri dan pikirannya ke hal-hal lain.

"Liat dong hp-nya. Please..." pinta Clarisa memelas membuyarkan lamunan Claudia.

"Tapi Ris..."

"Ayo dong. Kan nggak bakal gue rusakin. Gue cuman mau liat Hp Aldo. Udah lama banget rasanya. Gue kangeeen. Ya Di ya? Please..."

Claudia bingung. Ia tahu kalau Clarisa sangat berharap bisa bersama Aldo dan ia juga tahu kalau Clarisa adalah gadis yang agresif. Benarkah gadis itu tidak akan melakukan apa-apa dengan hp Aldo? Ia tidak ingin sampai terjadi sesuatu pada barang yang sudah dipercayakan kepadanya. Claudia menoleh menatap Camelia yang sedang sibuk di depan laptopnya dan tidak memperdulikan keributan di sekitarnya. Beberapa hari terakhir ini gadis itu memang sedang sangat bersemangat menulis cerita baru. Ia ingin mencoba mengirimkannya pada penerbit dan Claudia sangat mendukung semangatnya itu.

Sekeping Hati yang TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang