Hari ini sama seperti biasanya. Matahari menyengat kulit tanpa pandang bulu. Dari rakyat kelas bawah sampai masyarakat kelas atas, semua merasakan panasnya hingga membakar kulit. Claudia merasa kepalanya seperti akan pecah. Begitu sakit, begitu lelah. Semua terasa bergoyang. Ia tidak bersemangat untuk berangkat kuliah namun ia sadar harus kuliah. Ia tidak mau nilai-nilainya yang sudah hancur jadi semakin hancur. Ia harus belajar lebih giat dan bekerja lebih keras agar ayahnya tidak marah-marah.
Ya. Claudia tidak ingin ayahnya marah. Kemarahannya begitu besar dan menakutkan. Kemarin pun ia masih saja marah-marah. Ia berteriak-teriak seperti orang gila. Claudia sudah tidak mampu mendengar dengan jelas apa yang ia teriakan. Yang Claudia tahu ayahnya mengatakan kalau ia bodoh, mengatakan kalau ia tidak berguna dan Claudia sadar akan hal itu. Ia sadar kalau ia anak bodoh karena nilai-nilainya semakin lama semakin menurun. Semester kemarin ia hampir saja tidak lulus satu mata pelajaran, tapi untungnya dia berhasil pada ujian akhir hingga bisa lulus dengan nilai pas-pas-an.
Claudia duduk di kelas yang begitu dingin karena ruangan yang ber-AC. Ruangan itu diatur dengan suhu yang wajar tapi entah kenapa dirinya merasa menggigil. Semua orang bersikap biasa saja namun entah mengapa ia begitu kedinginan. Claudia merapatkan jaket yang dibawa dari rumah dan membungkus dirinya serapat mungkin. Perutnya terasa mual. Ia merasa seperti akan mati hari ini. Dosen masuk ke kelas. Ia melayangkan pandangannya ke setiap sudut kelas. Claudia tidak terlalu memperhatikan, menatapnya dengan tidak acuh kemudian menundukan kepala menahan dingin.
"Claudia!!" panggilnya keras.
Gadis itu segera mengangkat kepala menatapnya sambil bertanya, "Ya Pak?"
"Oh, kamu yang namanya Claudia?" tanyanya tidak bersahabat. Claudia segera merasa waspada. Ada apa? Kenapa dia memanggil namanya? Tadinya Claudia berpikir kalau dosen itu memanggilnya karena mengira ia sedang tidur namun ternyata ada hal lain. Semakin dipikir Claudia semakin cemas.
"Kamu pikir kamu lagi main-main ya? Kamu pikir saya nggak berani untuk bikin kamu nggak lulus?" tanyanya dengan mata yang dibuka lebar-lebar. Claudia mulai gemetar, tidak tahu apa yang salah. Anak-anak yang tadinya ribut kini terdiam, mereka berfokus pada satu hal. Dirinya. Dengan rasa malu yang besar Claudia hanya bisa mengerutkan kening.
Dosen itu melempar makalah ke atas mejanya, "Kamu pikir ini bisa disebut makalah? Hah?! Kalau nggak niat kuliah, jangan masuk kelas saya!! Kalau masih mau di sini setahun dua tahun lagi sih saya nggak peduli tapi jangan meremehkan kelas saya atau mau saya kasih kamu D?"
Claudia masih terdiam, berada antara perasaan takut dan malu.
"Makalah apa ini?" teriaknya masih belum selesai, "Semuanya dibikin asal-asalan. Kamu mau mengejek saya? Iya?"
Claudia buru-buru menggelengkan kepala, tidak tahu harus bicara apa.
"Kalau begitu kenapa bikin makalah kayak begini?"
Ia terdiam kemudian hanya bisa bilang satu kata, "Maaf."
"Maaf? Saya nggak butuh maaf kamu! Saya mau kamu bikin ulang makalah ini dan kalau hasilnya masih begini, jangan harap kamu lulus di mata pelajaran saya! Udah kerjaan kacau, masih berani-beraninya tidur di kelas saya, kamu pikir kamu siapa?"
Pandangan Claudia bertemu dengannya. Ia menatap dengan penuh kebencian, Claudia takut dan kembali menundukan kepala.
"Ambil makalah kamu dan bikin ulang. Batas waktunya 3 hari dari sekarang."
Claudia berdiri perlahan, mengambil makalah di depan kelas dengan rasa malu yang begitu besar. Semua orang berbisik-bisik, mereka membicarakannya dengan penuh antusias, ia bahkan bisa merasakan tatapan mereka yang penuh ejekan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati yang Terluka
Ficción GeneralSalahkah kami jika kami merindukan kasih sayang dan perhatian orangtua? Salahkah kami jika kami mencoba menarik perhatian mereka dengan mencoba berbagai cara? Salahkah kami jika pada akhirnya kami mungkin menyerah karena lelah? Mama, papa, dimana ka...