Part 3 - Pria Idaman

16.1K 976 47
                                    

Revisi

***

Aku berjalan pelan menyusuri kompleks perumahan yang dulu pernah menjadi tempatku tinggal dan bertumbuh, beberapa tempat terlihat berbeda dan setiap lahan mulai di padati perumahan permanen.  Yah tentu saja, semua pasti berubah, seperti manusia.

Aku menghirup udara segar sore hari.

“Pak Ustad!!” seseorang berseru dengan kencang, seketika aku menoleh dan memfokuskan pandanganku ke asal suara itu dan mataku seketika melotot saat melihatnya.

Aku menatap kagum pria dengan baju kokoh dan peci putih itu. Ya Allah, sungguh indah ciptaanmu, itu calon suamiable, kalau tau begini harusnya aku sudah pindah kesini dari dulu, masyaallah, gantengnya. Itu boleh nggak satu buat aku ya Allah.

Aku tak henti-hentinya berdecak kagum menatap pria itu dan tanpa ku sadari kakiku sudah melangkah mendekatinya.

“Assalamualaikum,” ucapku pelan dan lembut, selembut kulit bayi.

Dia menoleh dan aku kembali di buat terpana, tampannya!

“Waalaikumsalam,” balasnya sambil mengangguk dan segera mengalihkan pandangannya, dengan seksama aku menatapnya dari samping, dia masih terlihat sangat muda dan sekilas aku menatap jari manisnya dan tidak ada cincin!!

Fix, dia jodohku!

“Mas ustad?” Sedetik setelah mengucapkan itu, aku mengumpat pelan.

Pertanyaan bodoh macam apa itu?! Saking tidak fokusnya aku sampai menanyakan hal bodoh, jelas saja dia ustad bodoh!

Aku berdehem pelan menetralkan rasa gugupku.

“Maksud saya mas ngajar ngaji di sini?”

Dia mengangguk.”Saya tinggal di deket sini, jadi sekalian ngajarin anak-anak buat ngaji tiap sore.”

Dia kemudian melirikku sekilas.

“Mbak ini Sri bukan?”

Aku menatapnya kaget.”Mas tau nama saya?! Ya Allah!” Ucapku begitu antusias, apa ini pertanda?! Dia tau namaku! Ya Allah, ternyata bahagia itu sesederhana ini.

Dia mengangguk.”Saya tinggal di samping rumah kamu.”

Kamu?! Duh! Dia manggil kamu!! Mau syukuran.. mana tumpeng?!!

Aku tersenyum pelan, berusaha terlihat kalem, maklum jaga image di depan calon suami.

“Mas anaknya Bu Lia?” tanyaku was-was.

Kulihat dia mengangguk dan aku benar-benar sudah tidak bisa menahan senyumku, dengan susah payah kutahan senyumku agar tidak terlihat, rasanya perutku seperti ada yang menggelitik dan membuat ingin terus tersenyum.

Aku mengenal Bu Lia dan itu berarti peluangku untuk menjadi istrinya terbuka lebar, memang agak tidak tau diri, tapi yang namanya khayalan memang selalu bisa membuat semangat naik untuk bisa menjadikannya kenyataan.

“Kalau gitu saya permisi dulu,” ucapnya, aku menganguk pelan dan membiarkannya pergi.

Aku meloncat senang dan tertawa layaknya orang gila.

Not A Perfect Husband ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang