Aku menatap Randa dari samping, wajahnya terlihat kusut, aku kemudian berdehem pelan.
"Ran, aku mau nanya sesuatu," ucapku gugup, aku kembali berdehem pelan.
Dia menoleh dan menatapku dengan senyum lelah, kemudian menarikku mendekat kearahnya dan memelukku erat, Randa menghela nafas berat.
"Apa?"
Aku berdehem kembali."Apa kamu nggak mau ngasih tau aku sesuatu?"
Randa melepaskan pelukannya dan menatapku bingung.
"Itu pertanyaannya?"
Aku menatapnya dalam dan mengangguk, Randa kembali memelukku dan menggeleng pelan.
"Nggak ada."
Aku mendesah pelan, dia benar-benar tidak ingin berbagi ceritanya denganku.
Lama kami terdiam sebelum aku kembali membuka suara.
"Mas Herman kenapa?" tanyaku begitu lirih.
Randa menengang."Jangan pernah deket-deket sama dia lagi Sri," suaranya terdengar dingin dan datar.
Aku mengerutkan alisku."Kenapa?"
Randa kembali melepaskan pelukannya dan menatapku tajam.
"Ikutin aja apa yang aku bilang," ucapnya tak kalah tajam.
Aku terdiam, mataku menatapnya tak percaya, sejak kapan dia begitu egois, dia tidak ingin menceritakan apa-apa tentang keluarganya dan sekarang tiba-tiba dia menyuruhku menjauhi seseorang tanpa alasan yang jelas, apa dia tidak menganggapku begitu penting sampai aku tidak boleh tau rahasianya?!
Aku diam dan kemudian mengalihkan pandanganku, aku kemudian mengangguk pelan dan menatap ke depan, mendiamkannya.
"Sri ... aku ..."
Ting Tong.
Randa kemudian berdiri dan berjalan ke arah pintu apartemen, membukakan pintu.
Samar-samar kemudian aku mendengar percakapan mereka.
"Tolong aku Ran," suaranya tercekat dan sesekali terdengar suara sesegukan.
"Kamu kenapa Sar?!" suara Randa terdengar khawatir.
Sarah?!
Aku menoleh ke arah pintu apartemen yang terhalang tembok dan mendengarkan dengan serius apa yang sedang mereka bicarakan.
Suara sesegukan Sarah kembali terdengar.
"Aku hamil," ucapan singkat itu seketika menghantarkan gelombang tsunami seketika dihatiku, mataku membulat kaget, dan jantungku memompa dengan liar.
Hening lama.
"Tolong aku Ran, Papa pasti bakal bunuh aku kalau tau aku hamil, aku nggak tau harus minta tolong sama siapa," suaranya terdengar begitu mengiba.
"Kamu masuk dulu Sar, biar kita omongin didalam," ucap Randa akhirnya, kemudian terdengar langkah kaki mendekat, Randa menggiring Sarah duduk di sofa dihadapanku, sedangkan Randa duduk disampingku.
"Jadi coba kamu jelasin sekarang ke aku, apa yang terjadi sama kamu?"
Sarah menatap Randa dengan air mata yang berlinang kemudian menatapku dengan tatapan dalam, sebelum kembali menatap Randa.
"Aku hamil dan aku nggak tau siapa yang ngelakuin itu sama aku Ran, aku nggak inget, aku mabuk waktu tau kamu nikah, aku kecewa dan nggak sadar bahwa gara-gara kebodohan itu aku berakhir kayak gini," Sarah mengusap kembali air matanya.
"Aku bener-bener takut Ran, apa yang harus aku lakuin sekarang? Aku nggak tau harus minta tolong sama siapa," sambungnya.
Randa mengusap rambutnya dan menghela nafas pelan.
"Aku juga nggak tau harus gimana Sar," ucapnya berat.
Randa kemudian menatap Sarah."Aku akan tanggungjawab," ucapnya tiba-tiba.
Aku yang sejak tadi diam seketika menoleh ke arah Randa dengan kaget, seakan petir tengah menyambar tepat ke dalam hatiku, nafasku seketika berubah sesak, aku mengepalkan tanganku kuat, dan gigi bergemeletuk pelan.
Apa maksudnya dia akan bertanggungjawab?! Apa dia mau menikah lagi, begitu?!
Sarah terbelalak kaget, aku bahkan bisa melihat bahwa seulas senyum terbit di wajahnya, aku semakin mengepalkan tanganku.
Mereka kembali berbicara dan menganggapku seakan aku tidak berada ditempat yang sama dengan mereka, aku juga tidak berniat mendengarkan karena setelahnya, aku memilih pergi tanpa pamit ke Randa menuju kamar kami.
Aku kemudian duduk ditepi kasur dan mulai menangis, Randa benar-benar keterlaluan! Apa dia tidak mengerti bagaimana perasaanku? Dan bagaimana bisa dia berkata bahwa dia akan bertanggungjawab tanpa mendiskusikannya denganku lebih dulu?! Apa dia selama ini tidak menganggapku perlu untuk mengikutsertakanku dalam masalahnya?!
Suara pintu kemudian terdengar membuka.
"Sri ..." Randa duduk di sampingku."Aku harus ngelakuin itu, itu karena ... Sarah penting buat aku."
Aku tersenyum sinis, penting? Ya, aku bisa melihatnya, dia bahkan rela bertanggungjawab untuk bayi yang bukan anaknya.
Aku mengangguk pelan tanpa menjawab ucapannya, Randa kemudian menarikku menghadap ke arahnya, aku diam dan tidak menolak.
"Sri, jawab aku, jangan diam aja," ucapnya lemah.
Aku terdiam kemudian memberanikan diri menatap matanya, aku mengetatkan rahangku.
"Biarpun aku bilang enggak kamu bakal tetap ngelakuin apa yang kamu mau kan? Ucapanku nggak ada artinya buat kamu kan?" Randa menatapku kaget."Karena aku nggak sepenting Sarah kan?"
Aku menggigit bibirku kuat.
"Aku nggak sepenting itu buat kamu, sampai kamu harus ngedengerin ucapan aku, aku nggak sepenting itu sampai harus tau apa masa lalu kamu, aku nggak sepenting itu sampai harus tau apa masalah keluarga kamu, aku nggak sepenting itu buat kamu kan Ran?" aku menatapnya dengan tatapan terluka, air mataku sudah berjatuhan sedari tadi.
Randa terdiam kaku."Aku ... Sri ... Aku nggak—"
Aku mengangkat tanganku."Lakuin apapun yang kamu mau Ran, dan setelah itu... aku mau kita ... cerai."
"Sri!!!" Randa menatapku tajam, untuk pertama kalinya dalam pernikahan kami dia membentakku.
Aku menatapnya menantang.
"Nggak. Akan. Ada. Perceraian Sri!" ucapnya rendah dengan penekanan di setiap katanya.
Aku tersenyum sinis."Nggak ada perceraian kata kamu?! Fine! Kalau gitu biar aku yang gugat kamu dipengadilan!!" bentakku marah, aku berdiri menghadap ke arahnya.
Randa menggeram marah, kedua tangannya terkepal dan bisa ku lihat urat lehernya menengang kaku.
Randa mendongak menatapku.
"Aku bilang nggak akan ada perceraian Sri!" suaranya rendah dan mengancam. Setelah itu Randa pergi entah kemana, sedangkan aku menghabiskan waktuku sepanjang malam dengan menangis.
Bagaimana bisa dia seenaknya berbicara bahwa dia akan bertanggungjawab?! Rasanya aku ingin kembali menangis memikirkan itu, baru saja kami berbaikan dan sekarang kurasa aku mulai kembali membencinya.
Dan aku tahu bahwa ternyata ... aku tidak sepenting itu untuknya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Perfect Husband ✔
RomanceSaat sebuah lamaran mendadak datang ke rumahku oleh Bu Lia, dengan begitu semangat aku menyetujuinya tanpa berpikir dua kali karena yang ada di bayanganku saat itu adalah berdiri berdampingan dengan senyum lebar bersama mas Herman, setidaknya itulah...