Part 18 - Marah

12.9K 844 15
                                    

Aku berjalan masuk dengan gugup.

"Hai?" sapaku pelan.

Randa tersenyum miring ke arahku."Tetangga eh? Jadi selama ini itu yang lo pikirin tentang hubungan kita?"

Aku tersentak kaget mendengar suara dingin Randa, belum lagi dia kembali menggunakan lo-gue denganku.

"Bukan gitu, maksud aku tuh tetangg—"

Randa menaikkan tangannya menyuruhku berhenti."Well, kalau itu yang lo mau, ok!"

Aku menatapnya bingung."Maksud kamu apa?"

"Mari bersikap layaknya tetangga," ucapnya dan segera berlalu pergi dari apartemen, meninggalkanku yang terdiam membeku.

Apa dia semarah itu?

Tanpa sadar air mataku berjatuhan tanpa bisa ku cegah, Randa bersikap dingin padaku, padahal aku tidak bermaksud seperti itu, aku baru ingin menjelaskannya tapi dia tidak mau mendengarkanku dan sekarang aku merasa sakit hati dengannya.

Aku mengusap air mataku pelan, kemudian meraih ponselku, aku harus menghubunginya dan mengatakan maaf padanya karena mengatakan hal seperti itu.

Aku kemudian mendial nomornya, belum beberapa detik setelah panggilan, Randa langsung me-reject panggilanku. Air mataku kembali mengalir pelan, padahalkan aku berniat untuk menjelaskannya.

Aku berdiri dengan gelisah menunggu Randa pulang, biasanya dia akan pulang lebih awal dan makan malam besama denganku, aku sudah memasakkannya makannan spesial, jadi dia pasti tidak akan marah lagi padaku kan?

Aku mendesah kecewa saat Randa juga belum pulang, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam dan dia juga belum kembali, aku tersenyum bahagia saat pintu apartemen akhirnya berbunyi tanda bahwa Randa sudah datang. Dengan cepat aku berdiri di depan pintu apartemen meyambutnya datang.

Aku sedikit mengeryit mencium aroma asap rokok di sekitarnya, apa dia merokok lagi?!

Tapi mungkin aku akan menanyakannya sebentar, aku kemudian langsung menampilkan senyumku saat Randa sudah berada di depanku, Randa menatapku sekilas kemudian masuk ke dalam apartemen.

Eh? Tidak ada ciuman di kening?

Aku masih terdiam kaku didepan apartemen sampai Randa memanggilku, dengan cepat aku berjalan ke arahnya, aku kembali memasang senyum lebarku.

"Gue mau tidur di luar," ucapnya tiba-tiba dan masih berbicara lo-gue denganku.

Aku menatap Randa kaget."Ap.. Apa? Kenapa?!" tanyaku pelan.

"Tetangga nggak mungkin kan tidur di ranjang yang sama," Randa menatapku tajam, suara dinginya seketika menusuk hingga ke hatiku dan rasanya menyakitkan, mataku terasa panas seketika.

"Tapikan ak—"Randa kembali menaikkan tangannya menyuruhku berhenti.

Dia kemudian sibuk melepas kemejanya, saat kemeja itu lepas aku mengulurkan tanganku untuk meraihnya, tapi Randa dengan cepat menjauhkannya dariku.

"Biar gue sendiri, tetanggakan nggak perlu ngurusin tetangga yang lain," ucapnya dan berlalu pergi meninggalkanku.

Aku membeku diam, mataku membulat tak percaya, tanganku bahkan masih bergantung diudara, nafasku seketika berubah sesak, air mataku bergulir secara perlahan, kenapa aku jadi cengeng begini? Aku dengan cepat mengusap air mataku dan dengan cepat berjalan ke kamar kami, Randa tengah berdiri memunggungiku sambil meraih bantal dan guling.

Dia serius?

Aku menggigit bibirku pelan."Kamu serius mau tidur di luar?" tanyaku pelan.

Randa mengangguk dan berjalan menuju keluar kamar, aku terdiam sesaat.

Not A Perfect Husband ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang