Aku memeluk Randa dari belakang dan melongokkan kepalaku melewati lengannya dan menatapnya dengan senyum lebar.
"Ran, jalan-jalan yuk!" ajakku semangat. Setelah seharian ini hanya berdiam diri dirumah.
Randa bilang aku tidak boleh kemana-mana dulu, katanya pasti aku akan merasa kurang nyaman, maksudnya, yah, begitulah pokoknya. Tapi aku benar-benar tidak tahan lagi hanya menghabiskan hariku seharian dirumah tanpa kemana-mana hari minggu ini.
Randa berbalik pelan dan aku kembali memeluknya, Randa balas memelukku erat, dia bersandar di meja bar.
"Kemana?"
Aku terdiam sesaat dan memutar mataku pelan, berpikir.
"Ke rumah kamu gimana?"
Alis terangkat tinggi."Yang baru di bangun itu?"
Aku mengangguk cepat."Iya, habis itu kita jalan-jalan ke rumah ibu kamu."
Randa mengelus kepalaku pelan."Panggil aja Mama, Mama aku, Ibu kamu juga."
Aku tersenyum lebar."Kalau gitu aku siap-siap dulu, baru kita pergi."
Aku kemudian dengan cepat berganti baju, kemudian keluar dari kamar dengan semangat. Randa kemudian mengandeng tanganku dan menarikku menuju lift, kemudian masuk kedalam mobilnya dan menuju ke tempat tujuan kami.
Lama perjalanan kira-kira hanya 30 menit dari apartemen Randa, mobil kemudian melesat memasuki kompleks perumahan, mobil Randa kemudian berhenti di depan sebuah rumah besar, dengan halaman yang begitu luas, aku kemudian keluar dengan cepat dan menatap rumah itu dengan senyum lebar.
"Keren!" ucapku dan menatap Randa yang tengah bersender di mobilnya dengan wajah sumringah.
"Kamu suka?"
Aku mengangguk kuat, rumah ini tinggi dan besar, dengan dominasi warna putih di seluruh tembok luarnya, Randa kemudian mengajakku masuk ke dalam rumahnya, aku menatap kagum pintu masuk itu, ruang tamunya begitu luas, kemudian Randa mengajakku masuk semakin dalam, aku menuruni tangga kecil yang memisah ruang tamu dan ruang keluarga yang terlihat lebih besar, di belakangnya, aku bisa melihat sebuah kolam renang sedang yang di batasi dengan kaca tebal yang membuat ruangan terasa luas dan semakin besar.
Aku terdiam sesaat dan menatap bangunan rumah ini dengan seksama. Aku seperti mengenal bagian interiornya.
"Apa disana ada Wc?" aku menunjuk sudut yang terhalang tembok dibagian kanan.
Randa mengangguk dengan senyum miringnya, dia bersandar di dinding yang membatasi ruang tamu dan ruang keluarga.
Aku menatapnya meminta penjelasan.
"Rumah ini kamu yang desain," jelasnya.
"Maksud kamu?"
Aku mengerutkan alisku bingung, bagaimana bisa aku mendesain rumah ini? Tapi rumah ini memang terasa familiar untukku, bentuk dan letak-letak ruangannya.
Aku berjalan ke tengah ruang keluarga, aku menatap ke bagian kiri, disana ada dapur dengan meja bar yang juga terasa familiar, lalu ada dua kamar tidur yang bahkan aku bisa membayangkan cat temboknya. Tapi aku benar-benar lupa dimana pernah melihatnya.
Randa mendekat ke arahku dan mengeluarkan sebuah buku kecil bewarna orange ke arahku, mataku melotot kaget, mulutku menganga pelan.
"Itu ... buku ... buku aku kan?"
Randa mengangguk."Aku temuin di teras rumah kamu, ke selip di bawah meja," jelasnya.
Aku kembali menganga."Kamu buat rumah ini buat aku?" tanyaku tak percaya.
Randa tersenyum lembut dan mengangguk."Kamu suka?"
Aku menatapnya dalam, tidak tau harus mengatakan apa.
"Kamu nggak suka?" Randa menatapku dengan raut agak kecewa melihat keterdiamanku.
Aku menggeleng cepat."Bukan! Aku ... cuma kaget."
"Kapan kamu bikin rumahnya?" aku mulai bertanya sambil berkeliling, belum ada perabotan sama sekali dan dindingnya seperti baru selesai di kerjakan.
"Aku buat waktu ketemu kamu."
Aku berbalik."Maksudnya?"
Randa bergerak mendekatiku."Aku buat sehari setelah aku ketemu kamu di bandara."
Aku menatapnya tak percaya dan tersenyum pelan.
"Aku nggak ngerti deh sama jalan pikiran kamu," ucapku pada akhirnya.
Randa memelukku.
"Kamu nggak perlu ngerti, kamu cuma harus tau, kalau aku buat ini untuk wujutin mimpi kamu, buat tinggal dirumah yang kamu desain sendiri," jelasnya.
Aku tertawa."Terus nanti kalau misalnya dulu kita nggak nikah, rumahnya kamu mau apain?"
Randa melonggarkan pelukannya."Aku bakal kasih ke kamu."
Aku menatapnya tak percaya."Serius?!"
"Yah, kalau kamu nikah sama aku," Randa kemudian tersenyum miring.
Cih! Dasar pemaksa, tapi untung aku sayang, eh?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Perfect Husband ✔
RomanceSaat sebuah lamaran mendadak datang ke rumahku oleh Bu Lia, dengan begitu semangat aku menyetujuinya tanpa berpikir dua kali karena yang ada di bayanganku saat itu adalah berdiri berdampingan dengan senyum lebar bersama mas Herman, setidaknya itulah...