Aku tengah duduk bersantai di taman yang berada di dekat rumah kak Prita, menghirup udara segar sore hari, aku duduk di salah satu bangku taman dan duduk dalam diam. Aku memilih menghabiskan waktuku hari ini di rumah kak Prita sebelum kembali ke apartemen.
“Sri?”
Aku menoleh dan tersenyum saat melihat mas Herman, pria itu duduk di sampingku, di ujung kursi yang satu.
“Hai mas... Eh? Assalamualaikum,” ucapku dengan senyum polos.
Mas Herman tersenyum pelan.”Waalaikumsalam.”
“Habis main dari rumah Prita?”
Aku mengangguk dan kembali tersenyum, melihat mas Herman selalu membuat hati sejuk karena pembawaannya yang tenang.
“Randa nggak seburuk itu kan?”
Aku menatapnya sekilas dan mengangguk kaku.”Ehm.. Dia nggak seburuk itu mas,” ucapku.
“Cuma agak nyebelin,” sambungku, mas Herman terkekeh pelan mendengar ucapanku.
Mas Herman kemudian mengangguk dan bersender di kursi taman, keadaan menjadi sunyi senyap sekarang dan terasa agak dingin.
“Kamu tau ...” aku menoleh pelan ke arahnya, mas Herman menengadah ke langit sore yang mulai memendarkan sinarnya.
“Randa dulu merasa begitu bersalah sama kamu, dia selalu nyalahin dirinya sendiri dan berpikir kalau kamu pergi gara-gara dia,” sambungnya.
Aku diam menyimak.
“Dulu dia selalu semangat ceritain tentang kamu ke mas, dia selalu kelihatan bahagia waktu itu, dia juga ngirimin mas foto kamu, itulah kenapa mas langsung kenal kamu begitu liat kamu pagi itu.”
Aku masih diam. Mas Herman kemudian menatapku dengan wajah serius.
“Jangan tinggalin Randa ya Sri.”
Aku mengerutkan alisku melihat betapa seriusnya mas Herman mengatakan itu padaku.
“Kenapa?” tanyaku tidak bisa menahan rasa penasaranku.
Mas Herman menghela nafasnya pelan.”Waktu Randa cerita kalau kamu pergi, dia kelihatan agak ...” ada jeda sesaaat.”Menyedihkan,” Mas Herman meringis pelan saat mengatakan itu.
”Dan karena itu mas mutusin, kalau dia lebih baik pindah dan lanjut di Amerika supaya dia nggak kepikiran sama kamu terus, tapi nyatanya keadaan jadi lebih buruk, Randa jadi semakin sulit untuk di kontrol, dia suka keluar masuk klub, dan dia sempat jadi pecandu alkohol dan rokok,” jelasnya.
Aku menenguk ludahku kelu, separah itu? Dia jadi pecandu?!
“Tapi dia nggak kelihatan kayak gitu,” ucapku begitu lirih, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja mas Herman katakan tentang masa lalu Randa.
Mas Herman tersenyum menenangkan.”Itu karena Sarah.”
Aku menatap mas Herman bingung.”Sarah?”
Mas Herman mengangguk mantap.”Mas bersyukur karena Sarah, Randa jadi berubah dan dia mulai berhenti mabuk-mabukan dan ngerokok, Randa mulai masuk kuliah, dan mulai ngatur pola hidupnya sendiri.”
Aku terdiam kaku, jadi Sarah sepenting itu untuk Randa, kenyataan itu membuatku sedikit merasa...
Cemburu.
***
Setelah pertemuan itu, aku memilih untuk segera pulang ke rumah kak Prita karena hari juga semakin gelap, aku memutuskan untuk melaksanakan shalat magrib terlebih dahulu, mengingat aku akan sampai di sana cukup lama. Setelah pamit aku kemudian masuk kedalam taksi yang telah ku pesan tadi.
Di dalam taksi, aku terus memikirkan tentang Randa, aku tidak pernah tau dia sampai separah itu karena aku pergi.Aku tidak pernah tau kalau dia akan menjadi pecandu seperti itu, rasanya mustahil Randa melakukan itu, dan kenyataan bahwa Sarah adalah salah satu bagian yang membuat hidup Randa kembali seperti semula membuatku merasa insecure.
Aku merasa tidak ada apa-apanya di bandingkan Sarah yang selalu ada di samping Randa saat pria itu terpuruk karena kepergianku.
Aku menghela nafas lelah, entah kenapa rasanya dadaku terasa sesak.
Aku menghela nafas lelah kemudian keluar dari taksi saat akhirnya taksi itu sudah berhenti di depan apartemen Randa, langit sudah berubah warna menghitam.
Dengan letih aku beranjak memasuki lift dan bersender pelan di dindingnya.
Lelahnya.
Pintu lift kemudian berdenting pelan, aku kemudian memasukan password apartemen Randa, aku mengeryit pelan melihat apartemen yang masih gelap gulita.
Apa Randa belum pulang?
Aku terdiam sesaat dan mengendus sesuatu yang merayap di udara, seperti bau asap. Dengan panik aku menyalakan lampu dan terdiam kaku saat melihat Randa bersender di pilar balkon, menatap ke arahku dengan sebuah...
Rokok?!
Aku dengan cepat melangkah ke arahnya dan mengambil rokok itu dan langsung membuangnya ke luar balkon setelah menginjaknya sampai ujung puntungnya mati. Aku kemudian menatap Randa tajam.
“Kenapa kamu ngerokok?”
Randa menatapku lama, kemudian mengedipkan bahunya acuh dan berlalu pergi begitu saja meninggalkanku.
Apa-apaan sikapnya itu?!
Aku menghela nafas pelan kemudian berusaha bersabar, aku tidak tau kenapa Randa bersikap seperti itu, jika memang dia masih marah dengan kejadian tadi siang, kurasa itu terlalu kekanak-kanakan.
Bagaimana bisa dia marah hanya karena aku tidak cemburu? Benar-benar tidak masuk akal.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Perfect Husband ✔
RomanceSaat sebuah lamaran mendadak datang ke rumahku oleh Bu Lia, dengan begitu semangat aku menyetujuinya tanpa berpikir dua kali karena yang ada di bayanganku saat itu adalah berdiri berdampingan dengan senyum lebar bersama mas Herman, setidaknya itulah...