Babak Baru

42 12 7
                                    

Seberat apapun perjuangkanku. Aku tak akan pernah mundur selangkah pun sampai kamu jadi milikku.

=============================

Stepen kembali menjemput Intan mengajak kencan. Mereka menyisir berbagai sudut Kota Yogyakarta. Kamera DLSR dengan lensa panjang tak pernah ketinggalan di tas Stepen.

Dia memanfaatkan momen terindah Intan untuk mengambil gambar terbaik. Tapi Intan tak pernah suka difoto. Hanya saja Stepen selalu mencuri momen terindah disaat Intan sedang lengah.

"Kamu motret aku, yah?" tanya Intan yang mendengar suara kameranya. Stepen hanya tersenyum dan mematikan kamera. Intan kemudian merebut kameranya.

"Tuh, kan. Kamu motret aku. Jelek tau."

"Siapa yang bilang kamu jelek? Kamu tercantik kok di hati aku."

"Gombal," timpal Intan sambil tersenyum manis memeluk Stepen.

"Sayang. Seminggu yang lalu orang yang mau dijodohkan sama aku datang ke rumah."

"Terus kamu bilang apa?"

"Gak ada. Diam aja. Tapi orang tuaku sama orang tuanya sudah membuat rencana pernikahan kami."

"Kamu harus segera datang ke rumah. Kamu harus tunjukkan kalau kamu adalah calon suamiku yang terbaik," pinta Intan dengan rendah hati.

"Kapan?"

"Sebelum akad menyatukan kami."

"Tapi aku dalam bulan ini liputan di luar kota."

"Kalau kamu liputan. Berarti ikhlaskan saja aku sama dia."

"Oke. Besok aku akan ke rumah kamu. Aku akan menghadap orang tuamu."

***

Pagi buta. Stepen sudah sampai di depan pintu rumah Intan. Dia terlihat biasa. Tak punya penampilan yang mewah dan megah seperti pria yang akan dijadikan mantu.

Namanya wartawan. Penampilan hanya seadanya dengan membawa tas ransel berisi kamera DLSR. Sepatu sport menjadi andalan saat liputan menjadi pengawal Stepen menuju pintu rumah Intan.

Belum diketuk pintu rumah, ayah Intan sudah melihat dari cctv. Dia kemudian menghampiri pria itu yang sedang kebingungan.

"Mohon maaf, kita sudah tidak langganan koran lagi," ucap ayah Intan yang saat itu menemui pria yang memakai jaket hitam dan tas ransel.

Wajah Stepen langsung merah padam. Antara ingin marah dan memendam malu. Dengan gagah dia mengangangkat wajahnya. Tak ada gerogi saat mengawali pembicaraan dengan orang tua Intan.

"Mohon maaf, pak. Saya bukan tukang koran. Tapi saya ingin bertemu dengan bapak!"

"Anda siapa? Sepertinya saya gak ada janjian sama siapa pun pagi-pagi begini."

"Saya Stepen, pak. Boleh saya masuk?" Stepen minta masuk ke dalam rumah. Dia ingin bicara serius.

"Sekali lagi saya minta maaf. Saya tidak mengenal Anda. Kalau boleh tahu tujuan Anda apa ya?" tanya ayah Intan dengan perasaan tak enak. Dia tidak mempersilakan Stepen masuk ke dalam rumah.

Kamu Yang PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang