Ganti Rugi

30 8 6
                                    

“Kami sudah memberitahu semua saudara dan kerabat. Kalau Jiazhen mau dinikahkan sama Intan.”

Ayah Jiazhen kembali mendatangi rumah orangtua Intan. Kali ini dia datang sendiri. Tanpa ada pengawalan oleh istri dan anaknya Jiazhen. Dia langsung duduk di sofa dengan sepatu yang mengkilat.

“Gak masalah, Pak. Intan akan segera sembuh. Setelah itu kami akan menikahkan dengan putra bapak,” ucap ayah Intan dengan intonasi yang lebih lembut.

“Bukan itu masalahnya sekarang. Tapi keluarga kami sedang malu akibat anak bapak. Jiazhen sangat malu sama teman-teman kantornya. Ini semua gara-gara kamu! Kalian harus ganti rugi,” ayah Jiazhen mulai meninggikan suaranya.

Sementara ayah Intan masih diam menyimak kata demi kata yang diucapkan ayah Jiazhen. Bicaranya sangat cepat, hingga ayah Intan banyak yang tertinggal menyimaknya. Tapi satu kalimat langsung menyantol di kepala ayah Intan, “ Semua ini gara-gara kamu!”

Tapi dia mendiamkan, tanpa mau terburu-buru memotong pembicaraan ayah Jiazhen yang sedang emosi. Bawaannya santai, tidak seperti sebelumnya yang sangat terlihat sedih akibat anaknya ditolak keluarga Jiazhen.

“Jika saya tahu seperti ini akhinya, maka mengenal kamu pun saya gak akan pernah mau. Apalagi sampai menjodohkan anak saya dengan putrimu yang gila.”

Wajah ayah Intan mulai hitam kemerah-merahan. Dia sedang menahan amarah yang sedang memuncak di jiwanya. Sedangkan ayah Jiazhen selalu memancing emosi ayah Intan naik pitam.

“Anak gila gila kok dijodohkan sama putra saya,” ayah Jiazhen langsung berdiri mengayuhkan tangan melangkan kaki menuju pintu rumah mewah itu.

Ayah Intan menarik pundak ayah Jiazhen sambil menunjuk wajahnya dengan marah, “Yang gila itu kamu! Bukan putriku. Kamu yang lebih dulu gila melihat putriku. Sekarang kamu pergi dari rumahku. Jangan coba-coba kamu datang lagi ke sini.”

Adu mulut pun mulai tak terhindarkan. Untung, perkelahian fisik belum sempat terjadi. Karena ibu Intan langsung melerai dengan menarik suaminya ke ruang tamu tempat mereka duduk berdua tadi.

Jika tak datang ibu Intan, mungkin salah satu dari mereka akan tamat.
Sedangkan ayah Jiazhen langsung pergi meninggalkan rumah yang dicat putih itu. Tinggal ayah Intan dan ibunya berdua. Sedangkan emosi ayah Intan masih menggebu. Keringat marahnya masih berlumuran di wajah dan bajunya.

“Akan kubunuh orang itu! Sudah menolak putri kita. Masih berani berkata kasar lagi datang ke rumah ini.”

“Sudah, Yah. Sabar! Biarkan mereka seperti itu,” ucap ibu Intan sambil membersihkan keringat suaminya dengan tisu. Ayah Intan terlihat sambil bersandar ke istrinya di atas sofa itu.

“Orang seperti itu tidak perlu dikasihani. Dia minta dibunuh itu. Sudah keterlaluan sama keluarga kita. Anaknya Cuma malu karena tidak jadi menikah. Tapi anak kita tidak diperhitungkannya yang masih dirawat.”

“Sudah, Ayah. Sekarang istirahat saja. Nanti agak sorean kita jenguk Intan,” pinta ibu Intan yang menyejukkan.

***

“Apa ibu bisa menceritakan tentang Stepen bagi Intan?” Melody meminta ibu Intan menceritakan tentang Stepen di mata Intan.

“Tapi saya tidak terlalu mengenal Stepen. Kami tidak membolehkan Intan pacaran dulu waktu masih kuliah. Itu sebabnya Intan tidak pernah cerita sama kami di rumah tentang cowok. Lagian Intan sudah kami jodohkan sejak dia masih SMA,” ibu Intan menjawab dengan seadanya.

“Apa ibu yakin tidak mengetahui lebih jauh tentang Stepen?” tanya Melody meyakinkan.

“Tahunya setelah kami memberitahu tentang pernikahannya sama anak teman kerja ayahnya di kantor. Setelah itu Intan mulai membawa Stepen ke rumah. Dia menolak dijodohkan. Dan mulai saat itu juga Stepen berjuang mendapatkan restu dari kami untuk menikahi Intan. Tapi kami tidak pernah mengizinkan. Karena Intan sudah punya calon.”

“Ada lagi?” tanya Melody melanjutkan.

“Terakhir, Stepen datang ke acara wisuda Intan. Di sana juga Stepen kembali meminta restu ayah Intan. Supaya dia bisa menikah dengan Intan. Tapi ayah Intan tetap gak menerimanya. Karena calon Intan sudah ada. Saat itu dia ditugaskan dari kantornya untuk meliput gempa di Bantul. Tapi sayang, nyawa Stepen juga ikut melayang dengan ribuan korban lainnya.”

“Baik, Bu. Kira-kira ada yang tahu gak tentang kehidupan pribadi Intan selain ibu?” tanya Melody yang tiba-tiba dr. Ervina masuk ke ruangannya.

“Eh, maaf. Silakan dulu!” ucap dr. Ervina dari pintu yang melihat orangtua Intan sedang berkonsultasi.

“Gak apa-apa. Masuk aja. Aku butuh kamu juga kok,” ucap Melody meminta dr. Ervina masuk ke ruangannya.

“Bagaimana bu? Apa ada?” tanya Melody melanjutkan. Kini dr. Ervina sudah ada di samping Melody di dalam ruangan 4 x 4 itu.

Ibu Intan memikirkan siapa teman dekat Intan. Dia mulai menyebutkan dengan suara yang hanya bisa didengar oleh dirinya, “Adesty, Bellia, Kim, Alex, Laura, Jhon, atau …”

“Siapa bu?” tanya Melody yang mendengar gerutu mulut ibu Intan.
“Oh, bukan.”

“Coba ibu pikir-pikir dulu. Intan lebih suka cerita sama siapa? Ibu kan bisa lihat kesehariannya,” saran Melody yang disambung dr. Ervina, “Diingat-ingat saja dulu, Bu. Jangan terburu-buru.”

Sekitar lima menit ibu Intan memikirkan, akhirnya dengan suara jelas dan keras ibu Intan memberitahu, “Adinda Putri teman curhat dan bertengkarnya. Iya, dia teman curhatnya.”

“Apa dia temannya?” tanya Melody meminta penjelasan.

“Dia adiknya Intan. Adinda sedang kuliah di Belanda.”

“Terus bagaimana kita meminta penjelasan dari Adinda. Kan dia gak di sini. Sedangkan informasi ini butuh segera,” ucap Melody melas.

“Tenang Melody. Aku punya caranya,” sahut dr. Ervina dari sebelahnya tersenyum.

“Apa?” tanya Melody penasaran pada dr. Ervina, “Kita telepon sekarang juga,” kata dr. Ervina dengan instan.


VOTE & KOMEN KALIAN SANGAT DIBUTUHKAN GUYS.
TERIMA KASIH

Kamu Yang PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang