Jawaban Intan

128 19 16
                                    

Semua manusia pasti merasakan cinta. Tapi bagaimana mereka mengolahnya yang akan berbeda dari cinta yang biasanya.

==============================

"Adinda? Sini deh!" Intan memanggil Adinda ke kamarnya.

"Ada apa sih? Kok main ngumpet segala," tanya ibu mereka yang sedang menuju dapur. Sedangkan ayah mereka masih santai di depan televisi.

"Gak ada, bu."

"Adinda. Cepatan ke sini!" Intan kembali memanggil. Kemudian dibantu sama ibu mereka.

"Adinda. Kamu dipanggil kakak itu."

Adinda pun meletakkan novel yang dibacanya. Dia kemudian mendatangi Intan ke kamarnya. Sampai di kamar, Adinda langsung menarik selimut.

"Iya elah ini bocah. Aku panggil bukan buat tidur. Tapi lihatin ini."

"Jam kakak bagus sekali. Tukar dong kak," Adinda bangun dari tidur berbaringnya dan melepas jam dari tangan kirinya.

"Enak aja. Aku juga dikasih Stepen. Tadi waktu kami keluar. Ternyata dia mau memberi aku hadiah ini."

"Aduh, kak Stepen romantis sekali," Adinda bawa perasaan mendengar kata-kata Intan yang mendapat hadiah.

"Stttt.... Jangan keras-keras. Nanti ketahuan sama ibu."

"Makanya kasih ke aku. Biar ibu gak tahu."

"Semua kasih ke kamu. Terus aku dapat apa?"

"Kakak dapat cinta kak Stepen."

"Menurut aku nih, kak. Kalau kakak itu cocok sekali sama kak Stepen. Jaga cinta kakak sama dia. Jangan sampai seperti cintaku yang tak sampai satu kalender."

"Sok bijak kamu. Masak ada cinta satu kalender," Intan protes.

"Ada kak. Aku buktinya. Belum sampai satu tahun sudah tamat. Skenario drama cinta kami berakhir sebelum selesai. Ceritanya masih menggantung."

Intan tertawa mendengar ucapan Adinda, "Hehehehe. Kamu ini terlalu banyak nonton drama korea kali, ya. Makanya seperti ini nih. Atau jangan-jangan kamu terlalu banyak makan micin."

"Sabar. Orang yang sudah menikah puluhan tahun saja bisa bubar. Apalagi hanya berstatus pacaran yang masih enam bulan. Itu masih rentan dengan kata putus," Intan menasehati adiknya.

"Putus sih gak masalah, kak. Tapi sakitnya setelah putus itu yang jadi masalah."

"Jangan diingat lagi. Biar hati kamu bisa melihat yang lebih baik lagi. Kan bukan cuma dia cowok di dunia ini? Masak kamu nyerah?"

"Memang kami baru enam bulan pacaran. Tapi kenangan indah yang kami lalui tak kalah dengan orang pacaran seribu tahun."

"Paling sakit saat aku tak sengaja singgah di tempat-tempat yang pernah kami singgahi. Dan, itu rasanya perih dan sesak di dada," sambung Adinda dengan cerita yang lebih serius.

"Itu namanya takdir, Adinda. Mungkin takdir cinta kamu seperti itu. Maka tidak ada yang bisa ikut campur di dalamnya. Nikmati saja takdir hidup itu. Enjoy your life!"

"Apa mungkin aku bisa menemukan cinta yang lebih baik?"

"Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Jika kamu ingin mendapat yang lebih baik. Maka perbaiki diri kamu dulu ke arah yang jauh lebih baik. Setelah itu, silakan kamu bercita-cita mendapat pasangan yang lebih baik. Kamu tahu kan kalau pasangan itu bagian dari fotokopi pasangan itu sendiri?"

"Aku gak baik ya, kak?"

"Bukan seperti itu. Tapi ini janji Tuhan,  laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula. Bukan sebaliknya."

"Kakak gak baik kok bisa dapat orang baik seperti kak Stepen? Apa ini adil? Jelas tidak kak. Lebih cantik aku daripada kakak."

"Sejak kapan kamu lebih cantik daripada aku?" tanya Intan sambil ngeyel geli.

"Sejak ibu bilang aku cantik."

"Itu bukan ucapan yang sebenarnya. Kalau yang sebenarnya menyakitkan Adinda. Kamu itu.... Aduh. Aku sampai gak tega menyebutnya," Intan meledek adiknya.

"Iya terserah kakak aja lah. Aku mau tidur. Minggir sana dikit," Adinda mengakhiri cerita dengan kesal.

"Tidur itu di kamar kamu. Bukan di kamarku bocah."


***

Hari sudah hampir sore. Jadwal kuliah Intan sudah mendekati waktunya. Tapi dia masih cerita serius di kamarnya bersama Adinda. Pintu kamar dikunci rapat dari dalam. Tak ada yang bisa membukanya.

"Ibu. Intan gak kuliah, ya?" tanya ayah pada ibu mereka.

Dijawab singkat, "Kuliah, yah."

Ibunya kemudian bergegas menuju kamar Intan. Sebelum diketuk pintu kamar. Dia hanya memanggil lewat suara seperti biasanya. Tapi tak didengarkan oleh Intan dari dalam kamar. Sepertinya masih asyik cerita berdua dengan adiknya.

Kemudian ibunya langsung menggedor pintu, "Intan. Intan!" Apa kamu gak kuliah?"

"Iya Allah. Aku ada jadwal kuliah ternyata," ucap Intan.

"Iya, bu. Ada. Ini sedang siap-siap," jawabnya kemudian.

"Gara-gara kamu ini," Intan menunjuk Adinda sambil bergegas mandi.

"Enak aja. Kakak yang memanggil aku ke sini."

Sekitar dua puluh menit kemudian. Intan sudah siap berangkat kuliah. Kebetulan, hari ini dia masuk kuliah sore. Karena jadwal kuliahnya berubah dari biasanya. Sedangkan kedua orang tuanya sudah pulang kerja lebih awal dari biasanya.

"Aku berangkat ya. Ibu, ayah."

"Hati-hati di jalan," ucap ibunya.

Adinda menyahut dengan menggoda, "Ingat pesan ayah. Jangan pacaran terus. Kuliah yang benar dulu."

Intan kemudian menyubitnya dan berbisik, "Jangan berisik."

"Sudah-sudah. Jangan ribut. Berangkat terus nanti kamu terlambat," ucap ayahnya sambil melindungi Adinda dari cubitan kakaknya Intan.

Adinda merasa menang bisa menggoda kakaknya di depan orang tuanya. Dia tertawa saat mau dicubit sama Intan. Tapi dia mengelak dan dilindungi ayahnya.


VOTE & KOMEN, GUYS. TERIMA KASIH.

YOU ARE THE BEST

Kamu Yang PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang