Malam Menegangkan

51 12 24
                                    

Jika ada yang merendahkan. Maka biarkan dia bicara sepuasnya. Setelah itu baru giliran kamu untuk menghajarnya lewat kata-kata yang bukan "MUTIARA".

==============================

"Apa kamu serius akan mengancam orangtuaku, Stepen?" tanya Intan saat Stepen kembali membawa dia kabur.

"Hehehe.... Mana mungkin aku serius. Walau bagaimana pun ayah kamu kan bakal jadi orangtuaku juga."

"Aku kira benaran kamu mau mengancam ayah."

"Emang ancamanku mengerikan ya?"

"Iya jelas, sayang. Sehebat apa pun orang. Jika sudah bertemu wartawan maka akan ada yang gemetar. Apalagi yang salah."

"Kok bisa begitu?"

"Karena wartawan itu sumber informasi. Jadi semua yang terjadi bisa digambarkan dengan jelas. Siapa yang berani coba. Presiden? Gubernur? Bupati? Atau Wali Kota sekali pun?"

"Ayah kamu yang berani, sayang. Saya hampir kehabisan akal saat diusir dari rumah kamu. Lagian ayah kamu galak sih."

"Ayah yang mana yang tidak galak jika putrinya akan dicuri? Sosok anak perempuan itu bagaikan ratu di keluarga bagi seorang ayah."

"Kamu tahu kenapa seorang ayah paling hebat menangis saat putrinya dinikahkan?" tanya Intan kemudian.

"Tahu dong," jawab Stepen datar, "Apa?" timpal Intan lagi.

"Karena seorang ayah sedih."

"Cuma itu saja jawabannya. Kalau seperti itu kan seorang ibu juga sedih."

"Terus apa dong?" tanya Stepen balik, "Karena mahkota yang paling berharga ada pada anak perempuan. Itulah sebabnya seorang ayah tidak berani sembarangan memberikan anaknya pada orang lain. Dia tidak ingin melihat putrinya sedih di kemudian hari."

"Aku tidak akan membuat ratu Intan sedih. Dia akan hidup bahagia bersamaku."

"Kalau begitu, kamu jangan menyerah untuk meminta restu ayahku. Kamu pasti akan berhasil."

"Jika ayah kamu tetap tidak merestui kita. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Stepen dengan wajah yang pesimis.

Intan kemudian memeluk Stepen dengan kesekian kalinya. "Kamu akan berhasil sayang. Pilihan orangtuaku akan jauh tersingkir karenamu. Aku sungguh mengharapkan itu."

"Jika tidak direstui ayah kamu. Apa kamu mau kita kawin lari?" ujar Stepen dengan kata yang super dalam.

Bukannya senang, tapi Intan malah marah sama Stepen. "Mau kamu taruh di mana muka keluargaku? Itu bukan pilihan yang bijak. Apa kamu tidak bisa berpikir yang lebih logis lagi? Kawin lari itu tidak ada di kamus keluarga kami."

"Di kamusku juga tidak ada kawin lari. Apalagi di keluargaku. Tapi ini satu-satunya pilihan kita untuk bisa hidup bersama, sayang."

"Kamu yakin dengan cara seperti ini?"

"Ini bukan soal yakin atau tidak. Tapi soal kemauan di antara kita. Karena tidak ada pilihan lain yang bisa mendapatkan restu orangtuamu."

Intan menarik napas panjang. Memikirkan segala akibatnya. Tapi karena yang namanya cinta. Apa pun akibatnya tak dipedulikan.

"Iya sudah. Apa kata nanti saja. Kamu datang kan di wisudaku besok pagi?" tanya Intan mengalihkan pembicaraan, "Kamu harus tunjukkan ke ayah bahwa kamu yang paling pantas menjadi suamiku."

"Siap ratu Intan!" jawabnya sigap, "habisin dulu makananmu."

Lagi santainya Intan. Stepen mengambil lagi kamera DLSR dari tas ranselnya. Dia diam-diam memotret Intan.

"Kamu kenapa sih suka sekali ngambil gambarku?" Intan protes, dia meninggalkan piringnya, "Sini kameranya."

"Tuh kan jelek. Gak ada cakep-cakepnya. Kamu malah suka mengambil gambarku. Aku hapus ya?"

"Kalau kamu menghapusnya. Berarti kamu akan menghapus namaku juga dari hatimu, bukan?"

"Apa hubungannya coba?" Intan menatap Stepen sempurna.

"Jelas ada," jawab Stepen singkat, "Apa?" tanya Intan lagi.

"Kamu tahu kenapa aku suka sekali memotret momen-momen indah kita?"

"Iya jelas gak tahu, sayang. Makanya aku tanya."

"Aku ingin mengabadikan setiap pertemuan indah kita. Hidup ini kita tak pernah tahu ujungnya. Mungkin aku yang pergi atau mungkin juga kamu yang pergi. Setidaknya aku sudah punya berbagai ragam koleksi tentang kamu. Karena cinta di hidup dan matiku hanya kamu seorang."

"Kamu gak lagi bermimpi, Stepen? Bicara kamu aneh, tahu gak."

Sudut Yogyakarta mulai sepi. Mungkin karena gerimis masih menyelimuti di malam itu. Delman dan becak pun tak terlihat lagi melintas mencari penumpang. Hanya terlihat sesekali orang memakai payung yang berduyun-duyun.

Handphone Intan kemudian berdering di saat Stepen akan melanjutkan omongannya. Ternyata Adinda yang menelepon. Mungkin dia khawatir karena besok paginya Intan akan ada wisuda.

"Kak Intan di mana? Kok belum pulang jam segini." Intan kemudian melihat pergelangan tangan kirinya yang dipakai jam, "Astaga! Iya Adinda. Aku akan segera pulang," sahut Intan setelah melihat waktu sudah larut malam.

"Buruan kak. Ayah sudah mencari kamu dari tadi. Katanya handphone kakak dimatiin ya."

"Iya. Biar gak ada yang gangguin," jawabnya polos yang disambut ketawa oleh Adinda, "Hehe. Dasar kakak durhaka."

"Ada apa sayang?" tanya Stepen yang mulai curiga bahwa telepon itu dari orangtua Intan.

"Gak ada apa-apa. Udah lanjutin aja lagi ceritamu yang ngawur tadi."

"Jika aku tak bisa menemukan kamu di dunia ini. Aku akan menunggu dan menyambutmu di surga nanti." Stepen mulai bicara dalam ke kehidupan masa depan.

"Tidak begitu, sayang. Kamu akan menemukanku di dunia dan di surga nanti," sahut Intan yang mulai sudah tak konsentrasi lagi.

"Kalau kamu yang pergi aku tak akan pernah merelakannya. Karena aku terlanjur menyayangi. Kamu itu bagaikan aliran darahku."

"Semoga saja kita hidup lebih lama di dunia ini. Aku punya mimpi besar untuk membuat kamu jauh lebih bahagia. Aku ingin memberikan segala yang kupunya pada kamu."

"Iya sayang. Aku juga ingin melengkapi hidupmu dengan segala kemampuanku."

Handphone Intan kembali berbunyi. Adinda menelepon lagi. "Kak Intan buruan pulang. Ayah sudah mulai ngamuk ini."

Intan langsung mematikan handphon miliknya. "Gawat, sayang."

"Kenapa sayang?" tanya Stepen curiga.

"Ayah mau mencari kita. Dia tahu kalau kita di sini. Kita harus pergi segera."

Untung Intan dan Stepen sudah meninggalkan kafe. Karena sesaat setelah mereka keluar. Ayah Intan sampai di lokasi dengan muka bengis.

VOTE & KOMEN GUYS. THANKS
YOU ARE THE BEST

Kamu Yang PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang