Menghapus Masa Lalu

41 9 2
                                    

Dipisahkan oleh bencana saja sakitnya minta ampun. Lalu bagaimana dengan sakitnya ditinggal nikah.

================================

"Intan ayo keluar! Jangan di kamar terus. Sini sayang!" Ibu Intan memanggil Intan dari kamarnya. Dia sudah berhari-hari menyendiri di dalam kamar.

Pikirannya masih tetap memikirkan tentang meninggalnya Stepen di gempa Bantul. Intan tak mau keluar meskipun diajak ibunya. Tapi dia tetap menyendiri merenungi kisahnya.

"Sayang. Ayo keluar! Kamu gak boleh sedih lagi. Ayo!"

Tetap tak ada jawaban Intan yang terdengar dari dalam kamar. Ruangan yang berukuran 4 x 4 itu masih sunyi. Tanpa ada suara riuh seperti sebelumnya. Biasanya, ruangan kamar ini menjadi tempat Intan dan Adinda bersarang. Sebelumnya, suara berisik selalu terdengar dari ruangan yang terletak di pojok rumah itu.

Ibu Intan kemudian memaksa masuk ke dalam kamar Intan. Untung, kamar Intan tidak dikunci dari dalam. Sehingga ibu Intan bisa dengan leluasa masuk ke dalam kamar Intan. Dia kemudian melihat Intan yang saat itu lagi menangis di pojok kamar.

Sudah beberapa hari Intan menangis seperti ini. Dia tak mengenal henti menangisi kepergian Stepen yang tak kembali. Kisahnya terlalu berat untuk dilupakan. Bahkan, Stepen dan Intan sudah berjanji akan melakukan kawin lari.

Tapi semua itu janji yang tak bisa ditepati Stepen. Dia kini menjadi satu di antara korban jiwa ribuan warga Yogyakarta pada saat terjadi gempa. Tewasnya Stepen itu hanya berselang 15 jam setelah janji itu terucap dari mulut Stepen. Ternyata gempa Bantul yang memisahkan Stepen dan Intan untuk selama-lamanya.

"Sayang. Jangan nangis terus-terusan begitu dong. Gak baik. Jaga kesehatan kamu. Biar saat pesta pernikahan kamu nanti tetap fit. Kamu juga terlihat cantik dan anggun."

"Sayang. Kenapa kamu yang pergi? Kamu tinggalkan aku di sini. Aku mau sama kamu selamanya Stepen. Sini sayang! Aku sudah lama menunggu kedatanganmu. Tapi kenapa kamu lasa sekali menjemputku? Aku kan sudah selesai wisuda. Ayo sini Stepen sayang!" Intan memanggil ibunya dengan sebutan sayang. Dia mulai stres dan mengira ibunya adalah Stepen yang datang untuk menjemputnya.

Ibu Intan menyaksikan keanehan yang terjadi pada Intan saat itu. Intan mengambil tangan ibunya. "Ayo ke sini sayang. Kenapa kamu menjauh? Sebentar lagi kita akan menikah. Nanti akan kutunjukan gaun pernikahanku sama kamu. Kamu pasti suka sayang. Aku juga sudah menyiapkan orang untuk merias wajahku nanti. Kamu pasti senang melihatku anggun Stepen."

"Kamu sudah mendapat restu orangtuaku, kan?" tanya Intan pada ibunya yang menganggap ibunya adalah Stepen.

"Jawab sayang! Apa kamu dimarahi orangtuaku? Atau kamu diusir lagi dari rumah?" Intan memaksa ibunya menjawab pertanyaannya. Ibu Intan tak kuasa menahan tangis. Dia mulai paham bahwa putrinya sudah tak waras lagi. Tidak sebahagia dulu lagi. Pikirannya sudah penuh beban menahan kenangan.

Mendengar suara Intan yang mendayu itu membuat ayah Intan penasaran. "Bicara sama siapa Intan itu?" gumam ayah Intan sambil berjalan menuju kamar Intan. Pintu kamar yang tidak ditutup membuat ayah Intan semakin mudah melihat siapa yang ada di dalam kamar.

Ayah Intan kemudian melihat istrinya bersama putrinya. Tapi dalam pikiran ayah Intan, "Kenapa Intan bicara romantis? Apa ada orang lain yang disembunyikan?" Dengan penuh penasaran ayah Intan masuk ke dalam kamar, "Ada apa bu? Kenapa dengan Intan?"

"Intan yah, Intan....." sauara ibu Intan tersenggal memberitahu kepada ayah Intan.

"Kenapa?"

Intan kemudian berdiri dan mengambil tangan ayahnya. "Kamu kan teman Stepen? Aku butuh bantuan kamu. Tolong kami bisa mendapatkan restu ayahku. Aku sama Stepen saling mencinta. Aku sudah menyediakan gaun pernikahanku sama Stepen. Kamu bantu aku ya!"

Ayah Intan hanya geleng-geleng kepala melihat putrinya sudah tak normal lagi. Dia kemudian melirik istrinya dengan penuh bersalah. Air mata ibu Intan mengempul di mata. Seolah-olah sulit untuk meneteskan.

"Stepen ini baik. Kamu harus bantu kami. Aku butuh hidup sama dia," Intan menarik tangan ibunya menunjukkan ke ayahnya. Sementara ayah Intan dan ibunya masih melirik heran melihat putrinya.

"Kamu kenapa sayang? Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja kan?" Ibu Intan kemudian memeluk Intan dengan penuh kasih sayang.

"Kamu jangan menangis Stepen. Ayah sama ibu pasti menyetujui pernikahan kita. Kamu tenang saja," Intan menghapus air mata ibunya yang sedang menangis. Ibu Intan tak kuasa melihat putrinya yang sudah terganggu jiwanya.

"Ini semua salah kamu!" ibu Intan menunjuk ayah Intan dengan intonasi tinggi. Ayah Intan masih berdiri kaku di hadapan kedua perempuannya.

"Ini salah kamu. Lihat dia sekarang jadi seperti ini! Apa kamu puas dia sudah gila. Apa kamu puas?" ibu Intan teriak dengan sehebat-hebatnya kepada ayah Intan dalam kamar itu.

"Kenapa kamu marah sama dia Stepen? Dia kan teman kamu. Dia akan menolong kita. Jangan marah sama dia," ucap Intan pada ibunya yang membuat tangisan pecah.

Kesedihan Intan kini sudah dibagi pada ayah dan ibunya. Mereka sudah merasakan kesedihan karena kehilangan akal sehat putri cantiknya. Ayah Intan tak menanggapi satu patah kata pun ucapan istrinya. Dia hanya menunduk sedih melihat Intan bicara tak pakai otak lagi.

"Kamu tahu kan akibatnya. Aku sudah peringatkan kamu. Jika putri kita ada yang disukainya. Maka tugas kita memberi restu. Akibatnya jadi seperti ini. Apa kamu sudah sangat puas melihat darah dagingmu menjadi gila? Sampai kapan kami akan memiliki ego seperti ini?" ibu Intan terus mengomel sambil memeluk Intan.

"Nanti kalau Adinda sudah kembali. Kamu jodohkan lagi sama pilihan kamu. Biar satu rumah ini menjadi gila," ibu Intan menyindir kesal.

"Aku mencari kebahagiaan putriku. Bukan seperti ini yang kuinginkan," akhirnya ayah Intan bicara lagi setelah mulutnya tertutup rapat melihat kondisi Intan.

"Sebelum melakukan sesuatu. Maka pikir lah terlebih dahulu. Supaya ego dalam diri itu mati."

"Kenapa kamu malah bahas perjodohan? Bukan itu masalahnya. Bicara asal ceplos saja," ayah Intan naik pitam.

"Apa masalahnya?"

"Masalahnya. Stepen meninggal dunia. Bukan karena perjodohan. Pakai otak kalau bicara," ayah Intan marah dan keluar dari kamar Intan.

"Sayang. Kamu harus sabar. Stepen akan digantikan oleh orang yang lebih baik nanti. Kamu harus melupakan dia pelan-pelan. Pikiranmu gak boleh lagi dipenuhi tentang Stepen," ucap ibu Intan pada Intan yang masih memeluknya.

"Belajarlah melupakan. Meskipun mengingatnya dulu lebih memberatkan. Kamu butuh mengeja huruf yang ada di namanya. Tapi sekarang kamu harus menghapus masa lalu," ibu Intan mengangkat Intan naik ke atas ranjang.


VOTE & KOMEN YA. TERIMA KASIH

Kamu Yang PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang