Kembali Pulang

50 8 2
                                    

TIGA bulan sudah berlalu. Intan kini sudah mengenal dengan baik siapa yang ada di depannya saat ini. Dia adalah Rendy teman SMA-nya yang datang berkunjung ke rumah Intan.

"Kamu masih ingat gak teman kita yang paling suka bolos dulu?" Rendy mengawali ceritanya yang didengarkan serius oleh Intan yang pegang kepala sambil mengingat.

"Siapa ya? Aku lupa nih. Soalnya udah lama banget gak ketemu."

"Itu loh, Yonki yang rambutnya kribo."

"Haha ..., iya ingat-ingat." Intan ketewa lepas mendengar teman SMA-nya bernama Yonki diberitahu Rendy.

"Halo Intan? Apa kabar?" tanya dr. Ervina yang tiba-tiba datang ke rumah Intan bersama psikolog Melody.

"Hai, dokter kok mau datang gak bilang-bilang. Aku jadi malu ini rumah pada berantakan semua ini. Silakan duduk, dok, mbak," Intan langsung berdiri kaget melihat kedua bidadari tanpa sayap itu datang.

Rendy juga ikut berdiri, "Ini siapa? Yang baru ya?" tanya Melody becanda kepada Intan.

"Aku teman SMA Intan," dijawab singkat oleh Rendy.

"Wah hebat sekali. Sudah sarjana, tapi masih bisa ngumpul dengan teman SMA," puji Melody.

"Intan, Melody mau bicara tuh sama kamu," bisik dr. Ervina pada Intan yang masih berdiri mencari posisi duduk. Sedangkan Rendy, Melody dan dr. Ervina sudah duduk di sofa di depannya.

Melody kemudian berdiri dan meraih tangan Intan. "Boleh aku bicara sama kamu sebentar aja?"

"Lama juga gak masalah, mbak. Kita ngobrol di sana aja ya?" Intan mengajak Melody bicara berdua di taman rumah mewah Intan. Kemudian mereka berdua pergi menuju sudut dengan meninggalkan dokter Ervina dan Rendy duduk di sofa.

"Ada apa mbak?" tanya Intan dengan lembut pada Melody.

"Gak ada yang serius sih. Aku cuma mau menanyakan kondisi kamu. Apa masih ada mengingat Stepen?" tanya Melody dengan suara yang hati-hati. Wajahnya tak berani mendongak kepada Intan yang duduk di kursi taman. Melody hanya memandang lurus kepada taman yang mekar di depannya.

Intan sudah dinyatakan sembuh oleh pihak rumah sakit sejak bulan September lalu. Intan sudah dikembalikan kepada orangtuanya. Maskot yang mirip Stepen ternyata bisa membantu proses penyembuhan Intan dari sakit jiwanya.

Intan menyambut ucapan Melody dengan senyum mekar di bibirnya, "Namanya juga sudah terlanjur cinta, mbak. Mengingat itu kan pasti ada. Tapi gak separah dulu. Aku sudah bisa mengontrol emosi. Terima kasih untuk mbak yang sudah bersedia menyembuhkanku."

"Bukan berterima kasih sama aku, Intan. Tapi pada Tuhan diri kamu sendiri yang sudah bisa mengikhlaskan."

"Iya, mbak. Aku sudah ikhlas dengan semua kenangan yang dilewati bersama. Meskipun pada akhirnya aku harus mendapat gelar 'GILA' dari semua orang."

"Tidak semua orang Intan. Sebutan itu hanya orang yang belum paham. Penyakit seperti kamu itu wajar. Karena masih sock dengan kabar yang tiba-tiba menyakitkan. Jika aku di posisi kamu, maka tak tertutup kemungkinan aku juga akan seperti kamu."

"Separuh jiwaku memang telah pergi. Tapi aku akan merawat separuh jiwaku yang tertinggal untuk masa depanku," ucap Intan menatap Melody.

"Kamu pasti bisa. Kamu kuat kok!" Melody menyemangati.

Intan tersenyum lebar menatap Melody yang masih setengah ragu. "Aku akan bunuh diri saja. Percuma aku hidup tanpa Stepen."

"Intan?" teriak Melody kaget mendengar Intan yang bicara seperti saat masih sakit jiwa.

"Hehe ..., aku cuma becanda. Masak iya aku mau bunuh diri. Iya gak lah."

"Kamu bikin aku kaget aja Intan. Jangan becanda gitu dong. Jatuh cinta itu jangan terlalu jatuh. Nanti repot bangunnya. Cukup sekadarnya."

"Aku sudah tahu caranya bangkit kok mbak."

"Gimana?" tantang Melody.

"Berusaha melupakan kenangan yang paling manis di antara kami. Karena aku tahu mbak, yang manis-manis itu akan diselimuti semut."

"Maksudnya apa? Gak nyambung betul," Melody ketawa mendengar ucapan Intan yang sok puitis. Tapi tidak nyambung.

Intan membalas ketawa Melody, "Nah itu. Aku juga merasakan kok kalau kata-kataku itu gak nyambung. Tapi mungkin ada hubungannya sama nasibku yang tak pernah nyambung ini."

"Aduh Intan. Jangan sok puitis begitu dong. Nanti kamu jadi penulis novel. Terus aku gak beli novel kamu," Melody bergurau dengan Intan di taman itu.

"Ternyata pada ngomongin novel di sini?" dr. Ervina ternyata sudah lama nguping dari belakang Intan dan Melody di kursi panjang taman.

"Wah, ada yang nguping ternyata," jawab Melody yang tak tahu keberadaan dr. Ervina di belakangnya.

"Ngomongin novel apa sih? Pati karya abang Tere itu ya?" tanya dr. Ervina sok tahu.

"Eh ..., siapa yang ngomongin Tere. Ini Intan mau jadi penulis novel," sahut Melody.

"Yang benar Intan?" tanya dr. Ervina.

"Gak lah, dok. Mbak Melody ini hanya becanda," Intan menjawab malu.

"Nah tadi. Kamu puitis banget. Kan kalau orang yang puitis tandanya akan jadi penulis novel," sahut Melody.

"Jujur ya. Kamu sepertinya cocok sekali jadi penulis novel Intan?" lanjut Melody dengan suara yang lebih serius.

"Sudah pernah belajar menulis sih. Tapi masih belum percaya diri untuk menjadi penulis," jawab Intan seadanya.

"Apa kamu suka menulis?" tanya dr. Ervina.

"Awalnya sih gak. Tapi sejak dipaksa belajar menulis akhirnya jadi suka."

"Dipaksa sama siapa?" tanya Melody dengan polosnya.

"Dipaksa sama Stepen. Dia yang mengajariku melukis namanya dengan tinta permanen."

Melody sama dr. Ervina tak bisa berkata-kata lagi. Mereka berdua diam tanpa suara. Seolah-olah bungkam dengan skak mat dalam permainan catur.

"Apakah cinta itu mengajarkan untuk berpikir berat?" tanya dr. Ervina dengan santai kepada Melody saat meninggalkan rumah Intan.

VOTE & KOMEN YA GUYS.

Terima kasih

Kamu Yang PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang