Hidup Itu Pilihan, Bukan Dipilih

70 14 3
                                    

Teguhkan hati. Apa pun yang akan terjadi biarkan waktu yang mampu memahami. Ikuti alur skenario yang akan terjadi.

===============================

Perdebatan panjang yang menegangkan sudah terjadi. Pilihan sendiri bukan solusi. Tapi pilihan orang tua seolah menjadi solusi yang paling berarti.

Intan masuk kamar dengan hati yang berduri. Tercabik-cabik akibat perdebatan pasangan masa depan yang dicari. Tak ada hak untuk memilih. Tapi diharuskan untuk memenuhi kewajiban pesan orang tua.

Adinda pun kemudian menyusul Intan ke kamarnya. Sedangkan orangtuanya geleng-geleng kepala melihat anaknya sudah berani membantah permintaannya. Padahal, sebelumnya tak ada yang berani.

Adinda memegang tangan Intan yang sedang menangis, "Sudah kak. Aku ikut mendukung kakak. Aku juga gak setuju kalau kakak dijodohin sama orang lain. Aku mau kakak hidup bahagia sama kak Stepen."

Tangisan pun terus berlanjut. Adinda kemudian menyapu air mata Intan dengan tisu yang ada di kamarnya. Perasaan sedih menyelimuti Intan di malam itu. Dia murung di kamar hingga tak mau keluar. Meratapi nasibnya yang akan terjadi. Stepen akan jadi kenangan seumur hidup.

"Segera bawa kak Stepen ke rumah kak. Biar ayah sama ibu tahu kalau kakak sudah punya pilihan."

"Bagaimana caranya, Adinda? Ayah sama ibu pasti akan marah lebih hebat lagi."

"Terus sampai kapan kakak harus menerima keputusan macam ini?" tanya Adinda.

"Sampai ayah sama ibu sadar kalau hidup ini adalah pilihan. Bukan dipilih."

"Kalau misalnya ayah tetap ngotot kamu harus nikah sama anak temannya gimana? Apa kakak akan menerimanya?"

Intan memikirkan jawaban sambil menyapu air mata, "Aku akan menerima. Walau pun hatiku tak memilihnya."

"Lalu bagaimana dengan kak Stepen? Bukankah kalian sama-sama mencintai?"

"Itu jelas Adinda. Tapi jika ayah menginginkan yang lain aku bisa apa?"

"Kakak bisa menolak. Kakak punya hak untuk menentukan masa depan kakak sendiri."

"Kakak punya hak. Tapi punya kewajiban juga untuk menuruti kemauan orang tua."

"Kakak harus menolaknya. Ini bukan keputusan yang arif yang dikeluarkan ayah. Ini keputusan yang salah. Aku akan berdiri di depan membela hak kakak."

"Sudah Adinda. Jangan jadi anak durhaka. Kakak akan terima tawaran ayah. Kakak akan menikah sama pilihan ayah."

"Tidak. Kakak tidak boleh menikah selain dengan kak Stepen."

"Apa kakak sudah memberitahu ini sama kak Stepen?"

"Sudah. Aku sudah memberitahunya."

"Terus bagaimana tanggapan kak Stepen? Apa dia menerima? Apa dia akan melepaskan kakak?"

"Jawab kak!" Adinda memaksa Intan menjawabnya.

"Apa kak Stepen juga rela melepaskan kakak?"

Intan kemudian menangis lebih kencang. Suaranya mulai terdengar sampai ke luar ruangan. Tapi Adinda berusaha menguatkan. Meredam suara tangisan Intan.

"Jangan nangis lagi, kak. Nanti ayah dengar."

"Stepen tidak setuju. Dia akan menemui ayah meminta restu. Tapi aku melarangnya."

"Kenapa dilarang, kak? Bukankah ini jalan yang terbaik untuk menggagalkan rencana ayah?"

"Apa kamu tidak mengenal ayah?" tanya Intan sama Adinda pelan.

"Tapi setidaknya dicoba dulu, kak. Kalau seperti ini namanya kakak putus asa. Dan, tidak berani mengambil resiko."

"Stepan akan datang di acara wisudaku."

"Itu bukan momen terbaik. Kakak harus segera membawa dia ke rumah ini bertemu sama ayah."

***

Jam tangan menunjukkan pukul 16.00 sore. Hujan masih belum berhenti. Kicauan burung belum terdengar dari pojok pohon di samping rumah. Simpang Malioboro Yogyakarta itu masih dipenuhi pengunjung.

Mereka tak peduli hujan mengguyur. Tapi mereka terus berjalan menikamati jantung kota raja itu. Intan masih tetap di dalam kamar sejak kemarin. Tak ada semangat dan gairah untuk keluar. Otaknya masih tetap memikirkan perjodohannya.

Pintu depan rumah pun terbuka. Ternyata ayah datang dengan segerombolan orang. Rombongan orang itu diapit oleh seorang pemuda tampan. Berbadan tinggi dengan menggunakan jas.

Mereka kemudian duduk bersama di ruang tamu, "Panggilkan Intan, ibu!" pinta ayahnya pada ibu. Pintu kamar Intan pun langsung digedor ibunya. Dia mengajak Intan menuju ruang tamu.

Intan kemudian duduk di samping ibunya. Sementara ayahnya mengawali ceritanya. "Silakan minum. Silakan!"

"Apakah ini putri bapak?" tanya orang tua di depan ayah.

"Betul, pak. Ini putri saya yang namanya Intan."

Pemuda itu hanya diam. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya. Begitu juga dengan Intan. Tak ada sekali lirik pun kepada pemuda itu. Dia sudah paham bahwa orang itu yang akan dijodohkan padanya.

"Kalau seperti itu. Kapan kira-kira kita nikahkan anak kita ini?" tanya ayah pemuda itu dengan blak-blakan.

"Secepatnya. Bulan ini Intan akan wisuda. Setelah itu baru kita rencanakan lebih matang," jawab ayah Intan.

"Kalau demikian. Kami pamit dulu. Setelah Intan selesai wisuda kami akan datang lagi," ucap ayah pemuda itu sambil berdiri bergegas meninggalkan lokasi.

Intan kemudian pergi ke kamar tanpa permisi pada ayahnya. Dia langsung melemparkan badannya ke atas kasur. Air matanya kembali memenuhi kelopak mata hingga banjir di pipinya.


VOTE DAN KOMEN. THANKS
You are the best.

Kamu Yang PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang