"Jangan memandang orang lain lemah hari ini. Karena hari esok, bisa jadi kita yang lebih lemah darinya. Dengarkan nasihat lawas ini."
"Ayah sudah tak tau lagi caranya berjuang. Semua sudah terjadi seperti yang tidak diharapkan," ucap Ayah Intan sambil menundukkan kepala.
"Entah bagaimana nanti saya membiayai kuliahnya adekmu di luar negeri? Dolar semakin naik. Nilai tukar rupiah semakin melemah. Sedangkan perusahaan sudah tak punya."
Intan hanya bisa menjadi pendengar yang budiman di rumah sederhana itu. Rumah yang tidak lagi mewah dan megah yang dihiasi sofa mahal. Kini hanya rumah sederhana yang dilengkapi kursi kayu.
"Bagaimana kalau Adinda kembali ke Indonesia? Lalu dia menghentikan kuliahnya. Mau ditaruh dimana muka kita ini?" Ayah Intan masih ngoceh memikirkan nasib Adinda.
Intan beranjak dari tempat duduknya mendekat ke Ayahnya. "Ayah. Adinda tidak akan melakukan hal sekonyol itu. Dia tidak sebodoh saya. Dia akan berpikir 1000 kali sebelum memutuskan sesuatu."
"Mulai hari ini. Saya akan mencari pekerjaan yang baru. Lupakan yang sudah terjadi. Saya akan bangun keluarga ini lagi," ucap Intan dengan tegas sambil berdiri.
"Kamu akan kerja apa, Intan? Kamu tidak boleh kerja yang berat. Di keluarga ini Bapak kepala keluarganya. Saya yang bertanggung jawab," Ayah Intan memotong keiginan Intan.
"Memang Ayah kepala keluarga. Tapi seorang anak juga harus mengabdi kepada orangtua."
Lama sudah tak terdengar kabar dari Adinda di luar negeri. Pihak keluarga bersepakat untuk tidak memberitahunya tentang kebangkrutan perusahaannya. Mereka memilih diam untuk menenangan proses pendidikan Adinda.
"Kalau begitu, kamu hati-hati ya, Intan. Ayah sama Ibu sebenarnya tak ingin kamu bekerja sama orang lain. Tapi apalah daya dengan kondisi saat ini."
Intan tersenyum manis memeluk Ayahnya. "Terima kasih Ayah. Doakan yang terbaik untuk anakmu ini ya, Ayah."
Rumah sederhana itu diguyur hujan deras. Seolah tak merestui Intan bekerja keras untuk keluarganya. Apalagi masalah yang dihadapi Intan bukan hanya dihimpit oleh ekonomi. Tapi diwarnai tangisan dan air mata dalam kegagalan membina cinta kepada pasangan.
Dia tak peduli hujan masih lebat. Payung yang ada di tangannya menjadi saksi perjuangannya mencari pekerjaan. Sesekali, wajahnya yang terlihat pucat dibasahi oleh percikan air hujan.
Tapi dia terus berjalan menuju perusahaan demi perusahaan hanya untuk memberikan surat lamaran. Diterima atau tidak, itu masih belum terpikirkan olehnya. Yang dia pikirkan adalah, memasukkan surat lamaran sebayak-banyaknya.
"Mohon maaf. Ada yang bisa kami bantu?" sapa Satpam di salah satu perusahaan ternama itu.
"Saya mau memasukkan surat lamaran pekerjaan. Apa perusahaan ini membutuhkan tenaga kerja?" jawab Intan.
"Untuk sementara belum ada. Tapi jika Ibu berkenan, silakan tinggalkan saja surat lamarannya di sini. Nanti akan saya berikan kepada HRD."
"Terima kasih, Bapak."
Intan langsung meninggalkan perusahaan ini. Dia kembali memasukkan lamarannya di berbagai perusahaan. Tapi tidak semua berjalan lancar. Ada yang sampai diusir oleh Satpam.
Puluhan surat lamaran selesai dikirimnya. Intan kemudian kembali pulang ke rumah dengan berbagai macam kenangan di saat di jalan.
Begitu duduk di ruang tamu. Intan menerima telepon dari salah satu perusahaan yang dikirimnya surat lamaran.
"Jika memang rezeki. Dari langit pun akan turun menghampiri. Apalagi hanya dari bumi," gumamnya dalam hati.
"Apa benar ini atas nama Ibu Intan Melati?" tanya HRD perusahaan itu.
"Iya benar. Saya Intan Melati."
"Baik, Ibu. Saya Juwita Ningrum dari HRD perusahaan media. Saya sudah melihat cv Ibu Intan Melati yang diberikan Satpam. Apa Ibu bisa datang besok jam 12.00 siang ke kantor?" tanya HRD.
"Bisa. Saya akan datang," Intan menjawab dengan spontan.
Intan merasa lama menunggu hari esok. Saat ini masih pukul 18.23 petang. Dia mencoba menenangkan diri dengan membaca buku. Hingga dia ketiduran sampai pagi.
"Selamat pagi, kami ingatkan kembali kapada Ibu Intan Melati untuk hadir di kantor media pada pukul 12.00 siang. By: HRD," bunyi sms gatway.
Pagi itu, Intan bersiap berangkat menuju perusahaan media yang dilamarnya. Segala persiapan dibawanya. Termasuk membawa kamera kesayangannya.
"Jumpa lagi saya sama Ibu," ucap Satpam yang meminta surat lamarannya.
"Terima kasih, Bapak. Saya dapat undangan hadir di sini dari HRD. Apa bisa tunjukkan dimana rungannya?" tanya Intan.
"Ibu masuk. Nanti di sebelah kanan ada lift. Rungan HRD ada di lantai 21. Begitu Ibu keluar dari lift sudah langsung ada di ruangan HRD."
Intan langsung mengikuti instruksi Satpam yang pernah membantunya ini.
Dalam hatinya, "Beberapa bulan yang lalu. Orangtua saya pernah punya kantor sebesar ini. Tapi kini semua sudah hilang."
Dia terus melamum hingga sampai di lantai 21 menara itu. Salah satu menara kota tertinggi di negeri ini.
"Mbak mau ke lantai berapa?" tanya penumpang lift yang turun di lantai 20.
"Oh maaf. Saya mau ke lantai 21," Intan kaget tersadar dari lamunannya.
Tiba di lantai 21. Intan langsung disambut oleh HRD perusahaan ini.
"Selamat siang, Mbak Intan Melati?" tanya perempuan cantik itu.
"Selamat siang, Ibu," sahutnya.
"Apa Mbak Intan mengenal saya?" tanyanya.
Intan kemudian memandangi orang itu dengan dalam. "Siapa ya? Tapi sepertinya kita sudah pernah bertemu."
"Yakin Mbak Intan tidak mengenaliku lagi?" tanyanya.
"Sebentar. Saya pernah melihat Ibu. Tapi di mana ya?"
"Nama saya Nindy. Saya pernah mengirim narkoba ke rumah Mbak Intan dulu."
"Hahhhh.... Serius. Berarti Mbak yang pernah dimarahi sama Ibu saya, ya?" tanya Intan.
"Bukan dimarahi. Tapi salah paham."
"Oh iya, kenapa Mbak Intan melamar pekerjaan? Bukannya perusahaan Mbak Intan banyak? Pengen cari pengalaman kerja sama orang lain ya?" tanya Nindy.
"Sudah bangkrut. Makanya saya mencari pekerjaan. Apa disini menerima pekerjaan?" tanya Intan tanpa rasa malu.
"Oo... Maafkan saya, Mbak. Saya tidak bermaksud membuat Mbak tersinggung," ujar Nindy.
"Mbak Intan mau kerja di bagian apa?" Nindy langsung tanya pada Intan.
"Apa? Biasanya kan tergantung perusahaan yang menentukan."
"Tidak selamanya berlaku rumus itu dalam perusahaan. Sekarang mau kerja di bagian apa?" tanya Nindy lagi.
Intan hanya diam tak bisa memilih. Lalu dia bilang, "Saya serahkan sama Ibu saja."
"Baik. Kamu akan saya tempatkan jadi Asisten Redaktur Pelaksana."
"Mbak Intan tidak perlu lagi menghadap HRD. Sekarang mari saya perkenalkan sama Redaktur Pelaksana."
Intan hanya bisa mengikuti intruksi. Dia langsung mengikuti dari belakang. "Oh iya Ibu. Jabatan ibu di sini sebagai apa?
Tak ada jawaban dari Nindy. Dia hanya tersenyum melihat Intan. Mereka berdua sampai di ruang Redaktur Pelaksana.
"Teman-teman semua. Perkenalkan Asisten Redaktur baru kita. Namanya Intan Melati," ucap Nindy seketika dia pergi meninggalkan ruangan.
"Mbak Intan saudaranya Ibu Nindy?" tanya Redaktur.
"Bukan. Emang Ibu Nindy sebagai apa di sini?" tanya Intan.
"Ibu Nindy CEO perusahaan ini, Mbak."
Selamat membaca kawan-kawan. Jangan lupa vote ya. Terima kasih
![](https://img.wattpad.com/cover/129096881-288-k844077.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Yang Pergi
Ficção AdolescenteTahukah kamu yang paling sakit saat mengingatmu? Bukan karena wajahmu yang imut dan lucu. Tapi karena senyuman manismu membuatku rindu. #WritingProjectAe Copyright © 2017