Pergi Tanpa Kembali

44 12 7
                                    

Paling menyakitkan adalah, ketika pergi dan lupa cara kembali.

================================

"Kamu bawa apa itu Adinda? Senyum-senyum sendiri lagi," tanya Intan di sela-sela dia membereskan perlengkapan wisudanya tadi pagi.

"Kakak mau tahu banget atau mau tahu kali?" Adinda berteka-teki.

"Apaan sih. Kamu kasih gak?" Intan berhasil merebutnya. Intan kemudian membaca selembar kertas yang dibawa Adinda.

"Wah, kamu lulus kuliah di eropa Adinda. Ayah, ibu," teriak Intan sambil lari menuju orangtuanya.

"Ada apa sih Intan? Teriak-teriak seperti anak kecil saja," ibu Intan mengomel.

"Adinda lulus kuliah di eropa ayah, bu."

"Yang benar?" tanya ibu Intan dengan ragu.

"Iya benar. Ini bukti kelulusannya."

"Akhirnya... " ucap ayah Intan dengan bangga.

Semua anggota keluarga merasa hari ini adalah surga mereka. Karena Intan lulus menjadi seorang sarjana. Adinda lulus di perguruan tinggi eropa. Impian orangtua Intan sudah tercapai. Tinggal satu impian lagi untuk menyatukan Intan dengan Jiazhen di pelaminan. Seorang putra dari anak teman sekantornya.

"Ternyata kamu pinter juga ya bocah. Aku bangga punya adik seperti kamu," puji Intan sambil memeluk manja.

"Aku juga bangga punya kakak cerewet seperti kamu," balas Adinda yang tak mau mengalah.

"Kapan berangkatnya Adinda?" tanya ayahnya.

"Secepatnya yah. Temanku yang lulus ke Amerika besok pagi berangkat."

"Berarti di rumah akan sepi dong. Cuma ada ibu sama ayah nanti," ucap ibunya dengan perasaan sedih di tengah kebahagiaan kelulusan Adinda.

"Kok berdua? Kak Intan kan selalu ada untuk ibu dan ayah di sini."

"Sebentar lagi kak Intan kamu akan menikah sama Jiazhen. Mungkin dia lebih memilih tinggal di rumahnya."

"Bukannya kak Intan akan menikah sama kak Stepen?" tanya Adinda tak sabaran.

"Sudah! Sudah! Kamu berangkat besok siang aja Adinda. Sekarang kamu siapkan perlengkapan yang dibutuhkan di sana," ayahnya mengakhiri percakapan karena membahas nama Stepen. Sedangkan Intan sudah tak peduli soal nikah sama siapa pun. Karena malam ini dia akan kawin lari sama Stepen.

"Ayo aku bantuin. Ambil koper kamu biar aku beresin barang-barang bawaanmu," Intan menuju kamar Adinda yang diikuti Adinda.

"Apa kakak sudah menerima lamaran pria anak teman ayah? Siapa namanya itu?"

"Tidak pernah. Aku tidak akan pernah bisa menerimanya."

"Namanya siapa dia kak?"

"Jiaz.... Lupa aku. Pokoknya ada kata Jiaznya."

"Kak ada merasa getaran gak? Kepalaku kok pusing begini ya."

"Ini gempa Adinda. Gempa susulan tadi pagi," Intan dan Adinda lari dari dalam kamar. Lalu ayah dan ibunya mengajak keluar rumah untuk menghindari robohnya bangunan.

Gempa susulan terjadi beberapa kali seperti pada pukul 06:10 WIB, 08:15 WIB dan 11:22 WIB saat ini. Gempa Bumi tersebut mengakibatkan banyak rumah dan gedung perkantoran yang roboh, rusaknya instalasi listrik dan komunikasi

"Bagaimana dengan Stepen?" tanya Adinda dalam hatinya.

"Kamu kenapa kak? Gelisah begitu. Pusing ya?"

"Aku khawatir sama Stepen yang sedang liputan di Bantul," bisik Intan pada Adinda.

"Apa? Kak Stepen liputan di lokasi pusat gempa. Sungguh berbahaya itu kak. Mending kakak hubungi dia sekarang!" Adinda menyuruh menelepon Stepen. Intan kemudian mengambil ponselnya ke kamar yang tertinggal saat berhamburan keluar rumah.

Mereka sekeluarga kembali masuk ke dalam rumah karena kondisi gempa sudah berakhir. Tak ada lagi tanda-tanda yang mengkhawatirkan.

"Gak bisa dihubungi. Ponselnya sepertinya gak aktif."

"Coba lagi kak! Siapa tahu cuma gangguan jaringan."

Ponsel Stepen tetap saja tak bisa dihubungi. Mungkin akibat robohnya sebagian instalasi listrik di daerah Bantul. Intan kembali membantu Adinda membereskan barang-barang yang akan dibawanya ke eropa.

"Mungkin Stepen lagi sibuk liputan. Biarkan saja dulu. Nanti dia akan menghubungiku sendiri."

Adinda kemudian menyalakan televisi di kamarnya. Setiap chanel televisi hanya menayangkan tentang gempa Yogyakarta. Ribuan nyawa manusia melayang akibat bencana alam maha dahyat ini.

Gedung-gedung berobohan, fasilitas umum hancur. Situs kuno dan lokasi wista yang ada di Yogyakarta rusak parah. Semua sudah rata dengan tanah hanya hitungan menit.

"Sebenarnya aku khawatir melepas Stepen pergi liputan tadi pagi. Tapi karena kangornya sudah menugaskan aku bisa apa. Dilarang juga sudah percuma. Pekerjaannya berat."

"BREAKING NEWS! Seorang jurnalis media cetak meninggal saat liputan gempa di Bantul. Diketahui, jurnalis ini tewas saat meliput pengevakuasian korban dari sebuah mal. Tewasnya jurnalis yang memiliki nama Stepen William ini akibat gempa susulan beberapa menit yang lalu. Menurut saksi yang melihatnya, Stepen William tewas akibat tidak mau lari saat gempa susulan terjadi. Karena Stepen William diketahui ikut membantu korban."

Tanyangan televisi itu langsung membuat Intan lemas. Dia tak berdaya lagi membantu memasukkan perlengkapan Adinda ke dalam koper. Intan tak bisa menahan tangis saat mengetahui Stepen sudah meninggal akibat gempa susulan beberapa menit yang lalu.

Adinda dengan sigap memeluk Intan yang saat itu menangis histeris. Adinda juga tak bisa menahan air mata menyaksikan Stepen sudah tiada. Padahal, Stepen masih ada di dunia nyata pagi tadi saat acara wisuda.

"BREAKING NEWS! Jurnalis tewas saat membantu korban gempa!" dengan sekejab kalimat ini sudah tersebar di seluruh chanel televisi.

Tangisan Intan tak terhentikan. Orangtuanya yang mendengar juga menghampirinya. Tak terkecuali ibunya sejak pengumuman kelulusan Adinda ke eropa tadi sudah sedih. Ibunya sambil menyapu air mata memeluk kedua putrinya.

"Tapi ibu bangga sama kalian. Ada ribuan orang yang ingin lulus di luar negeri. Tapi tak mendapat rezeki. Kami bangga sama kamu Adinda. Sama kamu juga Intan yang sudah lulus Cum Laude," ibunya memuji putrinya.

"Gak usah sedih begitu. Nanti kalau libur Adinda kan bisa pulang. Sudah gak usah sedih lagi," ayahnya juga belum nyambung apa yang membuat Intan sama Adinda menangis histeris.

"Bukan itu masalahnya, yah," ucap Adinda yang masih memeluk Intan.

"Jadi?"

"Kak Stepen meninggal dunia. Dia tewasa saat gempa susulan barusan di Bantul. Chenel televisi semua memberitakan tentang kak Stepen."

"Ayah sama ibu sudah bahagia. Tak ada lagi orang yang menyukai kak Intan. Sudah berakhir semuanya. Itu kan yang ayah dan ibu inginkan?" Adinda menyindir orangtuanya sambil menangis. Sedangkan Intan tak bisa dihentikan dari tangisannya sampai dia lemas tak berdaya.

Orangtua mereka tak berani bicara apa pun mendengarnya. Ibunya yang menangis karena sedih akan ditinggalkan putrinya. Kini dia berhenti menangis dengan malu. Kedua orangtuanya salah tingkah saat Adinda mengatakan mereka karena Stepen.

"Ini awal kebahagiaan bagi ayah dan ibu. Tapi tidak bagi kak Intan. Separuh hatinya sudah pergi tanpa kembali."


Vote dan komen. Terima kasih

Kamu Yang PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang