Lambaian Tangan Adinda

58 10 4
                                    

NYAWA boleh hilang. Pergi boleh tidak kembali. Tapi kenangan tidak akan hilang dan pergi dari dalam hati.

================================

"Jangan sedih lagi kak. Mungkin ini takdir cinta kalian. Kakak harus menerima dengan lapang dada. Ikhlaskan kepergian kak Stepen," ucap Adinda yang siap-siap menuju airport di dalam kamar Intan. Tapi Intan masih menunduk pilu dengan mata bengkak.

Satu malam sudah dilewati Intan tanpa pesan chat dari Stepen di ponselnya. Biasanya, saat malam tiba pesan chat Stepen sudah penuh di ponsel Intan. Tapi kini pesan chat yang bernada sendu tak lagi terbaca. Kalimat "Selamat tidur" dan "Aku selalu padamu" tak lagi muncul di antara pesan chat lainnya.

"Kak jangan sedih begitu dong. Kalau aku pergi kakak mau curhat sama siapa lagi coba? Aku khawatir sama kakak."

Pernyataan Adinda hanya menambah dada Intan semakin sesak. Hela nafasnya semakin mendayu tak henti. Seolah-oleh ingin berteriak sekuat tenaga. Tapi mulutnya sudah tak berdaya mengeluarkan suara.

"Kak Intan jangan sedih dong," Adinda kembali mengeluarkan air mata memeluk Intan yang sudah berpenampilan tak karuan. Rambutnya kusut tak berurus. Wajahnya dipenuhi siraman air mata. Sehingga sangat terlihat kusam.

Intan membalas pelukan Adinda dengan hangat. Sedangkan Adinda menangis semakin menjadi. Dia tak tega melihat Intan bersedih seperti itu. Jam di tangan kiri Intan menjadi bahan penakluk rindu pada Stepen. Dia mencium dengan penuh kesan sambil menangis jam pemberian Stepen itu.

"Kak jangan sedih lagi. Aku harus pergi sekarang. Hubungi aku setiap waktu kak. Aku sayang sama kakak. Aku mau kak Intan baik-baik saja," Adinda mencium Intan dengan penuh kasih sayang. Sementara air matanya masih bercucuran memenuhi pipinya.

Intan menganggukan kepala sambil mencium balik Adida, "Kamu hati-hati di sana."

"Iya. Aku akan hati-hati. Kakak jangan sedih lagi ya," Adinda memegang wajah Intan dengan kedua tangannya.

"Kakak itu hebat. Kakak juga dikenal kuat kok. Jadi kakak harus bisa mengikhlaskan kepergian kak Stepen. Biarkan dia tenang di alam sana. Namanya juga takdir, dan inilah takdir kak Stepen."

"Bukan perginya yang kutangisi. Tapi kenangan indah bersama dia yang selalu dalam sanubari."

"Pokoknya kakak sabar. Dan jangan diingat-ingat lagi. Memang berat dan butuh waktu. Tapi kakak pasti bisa. Aku yakin itu," saran Adinda sambil mendorong koper miliknya dari kamar.

"Aku pasti merindukan kamu kak. Tempat curhatku sudah tinggal di sini. Gak ada lagi tempatku menceritakan pria-pria ganteng sama kakak." Intan tersenyum memaksa di tengah kesedihannya. Pipinya tak bisa tersenyum selebar biasanya. Mungkin karena sudah terlalu lama dia tak teersenyum. Hingga dia lupa sebagaimana senyum manis yang selalu diberikan pada Stepen.

"Di eropa kamu pasti menemukan teman curhat yang lebih dari aku. Hati-hati ya sayang."

Orangtuanya yang ikut mengantar terlihat sedih. Bukan karena melihat Intan yang ditinggal Stepen untuk selamanya. Tapi karena kepergian Adinda kuliah ke eropa. Apalagi ibunya yang merasa paling kehilangan kepergian anak bungsunya.

"Hati-hati ya sayang. Sering-sering telepon kami di sini," ucap ibunya ketika Adinda memeluk ibunya saat akan meninggalkan rumah.

Adinda pun pergi meninggalkan lokasi. Tak ada lagi anak bungsu yang orangtuanya di rumah. Tinggal tiga orang lagi, yakni ayah Intan, ibu Intan dan Intan. Rumah bakal tak seramai biasanya. Tak ada Intan yang selalu mengganggu kakak Intannya.

"Ayo pulang. Jangan sedih begitu. Adinda cuma sebentar aja kok. Kalau ibu dengan berat hati melepasnya belajar, maka dia akan kesulitan menerima ilmu di sana," ayah Intan mengajak ibu Intan dan Intan kembali ke rumah.

Tumben, saat berjalan ayah Intan merangkul putrinya Intan sampai ke rumah. Ayah Intan banyak cerita sambil menuju rumah yang berjarak 20 meter dari jalan raya.

"Ayah paham perasaan kamu sayang. Maafkan ayah yang tidak merestui Stepen sama kamu ya."

"Sudah terlambat ayah minta maaf. Stepen sudah tak bisa lagi memaafkan ayah. Dia sudah bahagia di surga sana."

"Kalau begitu. Ayah minta maaf sama kamu saja. Sebenarnya, ayah bisa menyetujui kamu sama Stepen. Tapi Jiazhen akan lebih baik untuk kamu sayang."

"Karena dia manajer?" Intan memotong bicara ayahnya.

"Bukan hanya itu. Tapi akhlaknya yang sangat mulia. Keluarganya orang terpandang."

"Stepen memang tidak seperti itu. Tapi kami sudah berjanji akan membuat keluarga ini lebih terpandang. Terutama tidak ada lagi sistem perjodohan sampai pada anak cucu," Intan menyindir ayahnya.

"Kalau tujuannya baik tidak masalah. Tidak semua perjodohan itu buruk. Karena orangtua tidak akan mau anaknya tersiksa di kemudian hari. Mereka akan antisipasi kemungkinan-kemungkinan itu."

"Niatnya mungkin bagus, yah. Tapi itu akan menjadi penyesalan anak untuk seumur hidupnya. Sejatinya, setiap insan itu memiliki pilihan sendiri. Lalu kenapa harus dicarikan oleh orangtuanya? Ini sama aja orangtua tidak percaya sama anaknya."

"Pokokya maafkan ayah ya. Semoga Stepen tenang di alam sana. Putri ayah tidak lagi sedih di sini. Karena tidak lama lagi kamu akan berbahagia bersama Jiazhen. Mau kan kamu nikah sama Jiazhen?"

"Aku gak bisa bilang mau atau tidak. Aku khawatir tidak bisa melupakan Stepen dari pikiranku."

"Sudah. Nama Stepen sebaiknya kamu hapus dengan permanen sayang. Kamu akan hidup bahagia sama Jiazhen. Lagian Stepen sudah gak mungkin kembali ke dunia ini."

"Dia memang tidak hidup di dunia ini. Tapi kenangannya akan tetap hidup di dalam jiwaku. Melupakannya bukan usaha mudah bagiku."

Intan kemudian melepas rangkulan ayanhnya. Dia kemudian pergi ke kamarnya menyendiri lagi.


VOTE & KOMEN YA. THANKS

Kamu Yang PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang