Kabar Dari Eropa

26 7 3
                                        

Adinda apa kabar di Eropa sana? Iya Adinda yang telah beberapa bulan meninggalkan Yogyakarta. Apa dia sudah mulai kuliah? Apa dia sudah menemukan teman dekat yang bias diajak curhat setiap saat?

Tepat lima bulan sudah Adinda tanpa suara dengan nyata. Sesekali hanya menelepon lewat suara udara yang didengarkan ayah dan ibunya. Mereka hanya bisa bernostalgia lewat elektronik bikinan asing.

“Ayah sama ibu apa kabar? Kak Intan?” suara itu muncul untuk kesekian kalinya di ponsel orangtuanya.

“Baik. Ayah sama ibu baik-baik aja di sini. Apa kamu sudah mulai kuliah di sana, Nak?” ibunya kembali bertanya tanpa menjawab lengkap yang ditanyakan Adinda.

Batin Adinda tak enak. Dia kembali mengulangi pertanyaannya, “Kak Intan?” ponsel itu pun senyap beberapa menit, “Iya kak Intan mu juga baik-baik aja.”

Orangtuanya berusaha menyembunyikan penyakit yang sedang diderita Intan. Tapi air mata ibunya menetes tak berhenti menjawab pertanyaan putrinya dari negeri seberang. Dia tak kuasa untuk membohonginya. Sedih melihat kondisi putri sulungnya yang kini menjadi bulan-bulanan orang yang menganggap hina karena gangguan jiwa.

Suara ibunya berubah total seakan serak secara tiba-tiba, “Kamu apa kabar di sana? Baik-baik saja, kan?”

“Iya aku baik-baik aja kok, Bu. Eh, kenapa suara ibu begitu? Ibu nangis?” tanya Adinda penasaran.

Ibunya dengan cepat menghapus air mata yang bercucuran ke pipi tak terbendung. “Gak. Gak ada yang nangis. Salah dengar aja kali kamu.”

Ibunya mengeles bahwa dirinya sedang menangis memikirkan nasib putri sulungnya yang kini dalam masalah kronis. Putri yang baru diwisuda kini telah menginap di panti social pusat rehabilitasi gangguang jiwa. Orang-orang menyebutnya pusat rehabilitasi orang gila.

“Oh iya, Bu. Ponsel kak Intan gak bias dihubungi. Kenapa? Kak Intan ganti nomor ponsel ya? Dinda minta dikirimin dong, Bu!”

SONTAK! Ibunya kebingungan mau membuat alasan apa lagi. Ponsel itu kembali diam. Tak ada suara yang terdengar dari speaker ponsel. “Ibu. Halo ibu. Ibu …,”

“Iya. Ibu dengar.”

“Minta nomor kak Intan yang baru ya, Bu!”

“Dinda, ibu mau kasih tahu kamu sesuatu. Tapi Dinda jangan …,”

“Jangan kenapa Bu?” Adinda memotong bicara ibunya yang sedang bicara lesu.

“Kakak kamu sekarang sedang sakit. Sejak kamu pergi dia selalu murung di kamar.”

“Terus kenapa kak Intan?” Adinda tak sabaran mendengar jawaban ibunya lebih lanjut.

“Sejak itu, dia mengira ibu ini Stepen. Begitu juga ayahmu. Saat ayahmu melihat kondisi kakakmu itu. Dia mengira ayahmu itu Stepen. Mulai saat itu, kami memutuskan membawanya ke rumah sakit jiwa. Karena gak mungkin dibiarkan seperti itu.”

“Kak Intan gangguan jiwa?” Adinda bertanya lagi setengah menangis.

“Jangan sedih! Kamu gak boleh nangis. Anak ibu sama ayah pasti kuat. Kamu belajar yang focus di sana. Kakak kamu biar ayah sama ibu yang mengurusnya. Dia pasti sembuh. Kamu jangan terlalu memikirkan dia.”

“Apa mungkin aku bisa fokus? Sementara anggota keluargaku sedang dalam musbih.” Batin Adinda sambil menarik panjang nafasnya.

“Berarti kak Intan sudah lima bulan tinggal di rumah sakit jiwa?”

“Bukan di rumah sakit jiwa. Tapi di panti sosial tempat rehabilitasi orang gangguan jiwa.”

“Itu sama saja, Bu. Sama-sama tempat orang yang bermasalah dengan kejiwaan. Aku ingin pulang. Aku ingin menemani kak Intan. Dia pasti butuh aku.”

“Dinda. Dengarin ibu! Kamu harus fokus kuliah di sana. Kak Intan mu akan kami yang mengurusnya. Sebentar lagi akan sembuh kok.”

Adinda masih bersikeras dengan pendiriannya, “Tidak, Bu. Aku harus pulang. Tak akan berarti kuliahku jika anggota keluargaku menjadi orang hina. Aku akan pulang!”

Kini ibunya sudah tak kuat menahan tangis. Suaranya mulai terdengar jelas di ponsel Adinda. “Sudah, Bu. Jangan nangis lagi. Aku akan pulang untuk kesembuhan kak Intan.”

“Aku menangis karena pikiranmu yang memikirkan pulang. Kamu tidak boleh pulang. Kamu harus tetap tinggal di Belanda. Percayalah, kak Intan mu akan segera sembuh,” suara sendu itu terdengar lagi dari ponsel.

  “Kalau aku tidak pulang. Kak Intan sulit disembuhkan,” Adinda bicara nerocos begitu saja.

“Sudah ditangani sama dokter dan psikolog. Kamu fokus belajar saja di sana. Ayah sama ibu akan menjaganya dengan baik.”

“Psikolog akan butuh banyak informasi tentang kak Intan. Ibu sama ayah tidak akan tahu ribuan rahasia yang tersembunyi. Jika informasi yang diberikan kepada psikolog masih kurang, maka dia akan kesulitan untuk menyembuhkan. Itu artinya kak Intan harus dirawat lama di rumah sakit itu. Ayah sama ibu harus percaya sama aku. Aku akan pulang secepatnya.”

“Jika memang ada rahasia yang tersembunyi. Apa kamu bisa mengerti?” tantang ibunya dalam sendu tangisnya.

“Dari ribuan rahasia yang disimpan kak Intan. Paling hanya seperempatnya yang tidak tahu. Selebihnya kak Intan selalu curhat sama aku.”

“Pokoknya kamu gak boleh pulang titik. Kamu jangan khawatir. Dokter sama psikolog yang menangani Intan orang hebat. Jangan kecewakan ibu sama ayah!”

Habis sudah akal Adinda. Dia hanya bias menerima apa yang disampaikan orangtuanya. Tak ada bantahan lagi. Dia harus fokus belajar di Belanda.

“Jika ibu sama ayah gak mau dikecewain. Kenapa ibu sama ayah tega mengecewakan kak Intan sampai seperti ini? Apa semua itu kurang untuk kak Intan, Bu? Hati kak Intan sudah terluka. Tapi dia tahu statusnya seorang anak. Tidak mau durhaka, itu sebabnya dia selalu menerima keinginan ibu sama ayah yang gak pernah masuk ke dalam hatinya.”

“Stop Adinda! Jangan coba-coba ceramahi orangtuamu.” Ayah Adinda berdiri mengambil ponsel dari ibunya. Dia tak kuat mendengar ucapan Adinda yang mengatakan, “Kenapa ibu sama ayah tega mengecewakan kak Intan sampai seperti ini? Apa semua itu kurang untuk kak Intan, Bu?”.

Telepon pun langsung ditutup ayahnya. Dia sepertinya sangat marah mendengar ucapan Adinda yang membuatnya kecewa.



VOTE & KOMEN GUYS.
TERIMA KASIH

Kamu Yang PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang