Pelukan Hangat

50 8 3
                                    

Jangan menolak. Siapa tahu yang kamu tolak itu baik untuk masa depanmu. Dan kamu akan menyesal di kemudian hari.

============================

"Sekarang kamu sudah jadi milikku. Aku juga sudah jadi milikmu seutuhnya. Kita berdua sudah sama-sama memiliki," suara itu terdengar nyaring dari sudut kamar 5 x 5 itu.

Perasaan Intan belum sepenuhnya menyambung terang, masih tersisa gabut yang tak bisa dihapuskan. Intan mencoba menanggapi suara Jiazhen dengan sebisanya dari sudut kamar.

"Jika memang cinta sudah tertanam di dalam diri, maka apapun alasannya, Kita pasti akan menuai. Jika syarat itu belum terpenuhi, maka apapun alasannya tak akan bisa terganti."

"Dalam sekali omonganmu, Intan. Aku sampe sulit memahami. Apa gak bisa ngomong lebih santai?" ucap Jiazhen.

"Apa aku membentak? Tidak, kan? Apa aku mendiamkan ? Jawabannya tidak. Lalu kenapa dengan omonganku Jiazhen? Aku akan memenuhi kewajibanku sebagai istri."

"Boleh aku bertanya, Intan?"

"Silakan!"

"Apa kamu nikah sama aku karena tepaksa?"

Seketika Intan menghayal masa lalu. Dia memutar seluruh film dokumenter pribadi di dalam otaknya. Tak terkecuali saat paling indah bersama Stepen. Dia menghayal masa di mana selalu mengabadikan segala momen dengan kamera DLSR milik Stepen. Masa di mana mereka berdua saling potret dalam keriuhan taman kota dan mengabadikan sepasang merpati.

"Hubungan kakak kok bisa langgeng ya? Aku ingin punya pasangan seperti kakak," ucapan Adinda pun terlintas jelas di benak Intan saat itu.

Pernikahan Intan sama Jiazhen sudah berjalan setengah tahun. Lika-liku pernikahannya seperti menaklukkan puncak Gunung Everest. Harus mendaki dan menyisir berbagai anak sungai hingga sampai di puncak.

Jalinan asmara ini hasil pertemanan di antara kedua orangtua mereka, hingga berakhir di pelaminan dengan penuh hamburan air mata. Tapi saat dilamar, Intan tak lagi menolak pinangan Jiazhen. Dia lebih memilih memenuhi permintaan ayahnya.

Saat itu, ayah Intan mengatakan, "Menikahlah dengan lelaki pilihan bapak. Suatu saat kamu pasti tahu apa maksud dari pernikahan ini. Tidak ada orangtua yang menjerumuskan anaknya ke jurang sengsara." Kalimat ini masih tersimpan rapi dalam ingat Intan.

"Intan?"

"Iya, iya. Ada apa?" Intan tersadar dari lamunannya.

"Apa kamu nikah sama aku karena tepaksa?" pertanyaan ini kembali muncul dari mulut Jiazhen yang sudah terlihat rapi dengan baju hitamnya. Pagi ini Jiazhen berangkat ke kantor lebih cepat dari biasanya.

Sedangkan Intan tak mau menjawab pertanyaan Jiazhen. Intan langsung pergi menuju dapur mengambil sarapan untuk Jiazhen. "Jangan pergi dulu, Zhen. Aku ambilin sarapan dulu."

"Gak, aku akan menunggu sarapan bikinan istriku," ucap Jiazhen dengan lembut.

"Ini makan dulu. Biar kerjanya lancar. Perutnya gak bunyi saat bekerja. Kan malu sama orang-orang kalau perut suamiku bunyi," Intan menyuapi roti basah dengan taburan selai ke mulut Jiazhen.

"Biar aja perutku bunyi. Yang malu kan bukan aku."

"Maksudnya?" tanya Intan.

"Yang malu pasti Intan. Karena Intan gak ngasih makan suaminya."

"Ih jahatnya. Iya gak mungkinlah aku gak ngasih makan suamiku. Itu kewajibanku."

"Ini juga kewajibanku," Jiazhen kemudian mendaratkan ciumannya di kening Intan.

"Tuh kan jahat! Cium gak minta izin," ucap Intan.

"Masak harus bikin surat permohonan dulu ke RT/ RW untuk cium istri sendiri."

"Iya gak gitu juga kali. Nih habisin dulu," Intan melanjutkan menyuapin suaminya.

"Gak usah minum ya? Biar kering tenggorokan kamu Zhen."

"Itu kan, siapa yang jahat. Ayo!"

"Aku pergi ya. Kamu hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa segera telepon aku."

"Siap bos besar," Intan berdiri tegak di hadapan Jiazhen yang sudah rapi dengan seragamnya.

"Jangan suka menghayal. Gak baik untuk kesehatan," ucap Jiazhen.

"Iya sayang. Udah pergi aja. Nanti kesiangan lagi berangkatnya."

"Gak bakal kesiangan. Ini masih gelap. Kan aku dibangunin cepat tadi sama istriku."

"Gelap dari mana? Ini karena lampunya aku matiin, makanya gelap."

"Iya sudahlah kalau memang aku diusir dari rumah," ucap Jiazhen manja.

Jiazhen kemudian menuju pintu ditemani Intan. Seragam rapi dan wangi itu masih segar dihidung Intan. Sepatu hitam yang mengkilat menimbulkan bunyi khas saat berjalan. Iya, sepatu manajer. Orang kaya lagi.

"Kayaknya ada yang ketinggalan," Jiazhen melihat isi tasnya.

"Apa yang ketinggalan? Kamu taruh mana biar aku amblil?" tanya Intan dengan gesit.

Jiazhen langsung masuk ke rumah lagi tanpa menjawab pertanyaan Intan. Sedangkan Intan mengikuti dari belakang dengan perasaan khawatir.

"Apa yang ketinggalan Zhen?" tanya Intan kembali.

Belum sampai ke kamar, Jiazhen kembali menuju pintu keluar. Intan tetap saja mengikuti dari belakang dengan cemas.

"Sudah ketemu?" tanya Intan kembali saat di pintu.

"Sudah. Ini sudah ketemu," Jiazhen mengangkat tangannya untuk berjabat tangan. Kemudian Jiazhen mencium kening Intan pamitan pergi kerja.

"Mana?" tanya Intan yang belum paham maksud Jiazhen.

"Ini sudah ketemu," Jiazhen mencium kening Intan dan memeluknya dengan hangat.

"Suami bermodal modus," ucap Intan sambil tertawa menyaksikan Jiazhen menuju kantornya.


Vote dan Komen ya gusy.
Terima kasih

Kamu Yang PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang