Adu Mulut

52 10 3
                                    

"Tidak semua cinta berakhir di pelaminan. Tidak semua cinta juga gagal akibat berjauhan. Tapi cinta yang paling gagal adalah ditinggal "MATI".

===============================

"Sekarang kamu tahu kan akibatnya?" ibu Intan belum puas marah kepada ayah Intan sejak di kamar Intan tadi. Mulutnya terus mengomel dengan jengkel.

Intan masih murung pilu di kamar. Setiap orang yang datang ke kamarnya selalu dikiranya Stepen. Dia selalu menyebut nama Stepen. Wajahnya tak secantik biasanya. Kini sudah berubah. Intan sudah kurus dan tak pernah berdandan rapi. Rambutnya sudah tak sewangi biasanya. Tapi kini dia sudah jarang mandi.

"Masa depan Intan akan hancur kalau seperti ini. Dia tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dalam kesedihan," ucap ayah Intan pelan kepada istrinya.

"Saya akan bawa dia ke psikolog," ucap ibu Intan yang disangkal ayah Intan, "Tidak. Intan sudah gila. Dia harus dibawa ke rumah sakit jiwa."

"Gak. Intan harus dibawa ke psikolog. Dia gak gila. Kamu jangan mengada-ngada deh. Anak sendiri dibilang gila."

"Bukan begitu maksud saya," ucap ayah Intan pelan.

"Terus gimana maksud kamu?"

"Kita kan sudah lihat kondisi Intan. Sepertinya dia sudah gangguan jiwa. Itu makanya kita harus segera bawa dia ke rumah sakit jiwa. Apa kamu mau anak kita jadi gila benaran?"

"Intan mau saya bawa ke psikolog. Bukan ke rumah sakit jiwa."

"Kamu itu kenapa sih gak pernah dengarin aku ngomong? Intan itu tidak waras lagi. Dia butuh dokter jiwa. Bukan psikolog. Aneh-aneh saja kamu ini," ayah Intan menggerutu sambil pergi menuju Intan.

"Jangan kamu bawa dia ke dokter jiwa. Tolong jangan bawa dia! Dengarkan aku."

"Kenapa kamu menolak aku membawa Intan ke dokter jiwa? Kamu malu?" tanya ayah Intan cekitan.

"Bukan aku yang malu. Tapi Intan yang akan malu. Karena dia bukan orang gila. Intan hanya terbeban pikiran. Itu bisa diatasi oleh psikolog."

"Terserah kamu mau dibawa kemana Intan. Pokoknya harus bawa sekarang. Coba kamu lihat kondisinya sekarang! Aku gak kuat," ayah Intan melihat Intan ke kamarnya.

Akhirnya, ayah Intan dan ibunya sepakat membawa Intan ke psikolog. Meskipun adu mulut sudah menghiasi sebelumnya. Emosi sudah memuncak. Tapi ayah Intan siap mengalah hingga adu mulut pun berakhir.

"Yee, Stepen datang. Aku kangen sama kamu. Kamu darimana saja?" Intan langsung berdiri dan memeluk ayah Intan yang masuk ke kamarnya. Padahal, ayah Intan akan membawanya dengan ibu Intan ke psikolog.

"Kamu lihat kan ini?" ujar ayah Intan pada ibunya dengan kesal sambil menunjuk Intan.

"Apa kamu masih tetap ngotot mau membawa dia ke psikolog? Lihat dia sekarang! Apa mungkin dia bisa menceritakan masalahnya kepada psikolog? Itu mustahil ibu. Mari kita bawa dia sekarang ke psikolog!"

Ibu Intan menunduk tak kuat melihat Intan yang selalu berbuat aneh. Dia selalu mengira siapa saja yang masuk ke kamarnya adalah Stepen. Otaknya sudah penuh dengan nama Stepen. Tak ada ruang untuk memikirkan orang lain di otaknya.

Melihat kondisi Intan yang semakin aneh. Akhirnya dia menyetujui permintaan ayah Intan untuk membawa ke rumah sakit jiwa. Meskipun sebelumnya sudah sepakat di antara keduanya akan membawa Intan ke psikolog. Tapi kondisi Intan sudah tak memungkinkan dibawa ke psikolog. Intan butuh penanganan yang serius untuk menghadapi kenyataan hidupnya.

"Stepen. Apa ayahku sudah merestui hubungan kita? Apa kita akan segera menikah? Ini gaun yang akan kukenakan saat pernikahan kita nanti," Intan mengambil baju dari lemarinya. Dia kemudian menunjukkan kepada ayahnya. Sedangkan ibunya kembali dihujani air mata. Tak kuasa melihat Intan terganggu jiwanya karena kepergian Stepen.

"Ayo bawa dia sekarang, yah. Aku akan menyiapkan mobil," ibu Intan yang menyetir mobil mengantar Intan ke rumah sakit jiwa.

Mereka bertiga kemudian berangkat menuju rumah sakit jiwa. Plat AB itu melaju cepat menyisir ramainya Kota Yogyakarta. Rintik hujan menyelimuti perjalana mereka, hingga kaca mobil diselimuti embun liar. Pandangan pum terbatas, tapi ibu Intan seorang pengemudi yang lincah. Dia tak terhambat memainkan kaki dan tangannya memutar setir kendaraan.

"Kita mau kencan kemana sayang? Kamu kok gak bilang-bilang ke aku. Apa kita akan foto prewedding? Wah, aku senang sekali. Kamu pinter membuat aku bahagia," kata Intan pda ayahnya. Mereka berdua duduk di kuris tengah mobil. Tapi Intan memeluk ayahnya dengan erat. Dia berpikir ayahnya itu Stepen yang sedang mengajak kencan.

"Cepat sedikit mengemudinya, bu. Intan semakin ngawur ini."

Mendadak, gas plat AB itu pun diinjak kuat oleh ibu Intan. Perjalanan 20 menit pun sudah dilewati dengan adengan-adengan Intan yang semakin aneh di dalam mobil. Mereka pun akhirnya sampai di depan rumah sakit. Kemudian mereka langsung menuju ruang konsultasi dokter jiwa. Ayah dan ibu Intan menjelaskan secara bergantian masalah yang dihadapi Intan kepada dokter yang sedang bertugas.

"Kasus seperti ini sudah banyak terjadi pak, ibu. Bukan hanya putri Anda saja yang mengalaminya. Tapi sudah ratusan orang yang berkonsultasi kepada saya," ucap dokter cantik yang mengenakan jas putih itu. Dia duduk di kursi putarnya, sedangkan ayah dan ibu Intan menghadapnya dengan mendudukkan Intan di samping dokter.

"Apa kamu yang akan menjadi desain panggung pesta pernikahan kami nanti? Beruntung sekali kamu bisa menjadi EO pernikahan kami," Intan bicara pada dokter cantik yang rambutnya sebahu.

"Seperti itu yang kami hadapi akhir-akhir ini dok. Siapa yang tidak khawatir jika anaknya jadi seperti ini. Padahal, dia akan segera menikah," ucap ayah Intan.

"Segera menikah? Kata ibu ini pacarnya sudah meninggal. Lalu akan menikah dengan siapa lagi?" dokter bertanya sepontan.

"Itu pacarnya yang meninggal dok. Tapi jodohnya Jiazhen. Sebelumnya saya sudah menjodohkan Intan sama Jiazhen."

"Apa bapak mengira ini masih zaman Siti Nurbaya? Saran saya ya pak. Jangan mengorbankan kebahagiaan anak demi kebahagiaan orangtuanya," dokter itu akhirnya memberi saran pada ayah Intan yang akan menikahkan putrinya dengan Jiazhen.

"dok, saya bawa putri saya ke sini. Bukan untuk mendengar ceramah dokter. Tapi mendapat kesembuhan putri saya. Ini urusan saya, dokter itu urusannya mengobati orang sakit di sini. Bukan ceramah."

"Maaf pak. Saya orang yang paling tidak suka melihat orangtua yang suka menjodoh-jodohkan anaknya. Maafkan saya yang harus bicara seperti ini," dokter itu masih menyambung kata kesalnya.

"dokter. Apa sudah bisa dihentikan ceramahnya? Apa kamu tidak tahu saya? Segera obati anak saya. Sebelum kamu menerima akibatnya," ayah Intan mengancam dokter cantik itu.

"Iya pak. Mohon maaf. Putri bapak harus dirawat di rumah sakit ini. Kami tim dokter akan melakukan semacam terapi untuk menormalkan otaknya. Bapak sama ibu silakan pulang. Putrinya akan kami yang mengurus di sini."

"Apa tidak bisa sekarang?" tanya ayah Intan memaksa.

"Mohon maaf bapak. Mengembalikan sistem otak itu butuh waktu yang lama. Kami harus secara pelan-pelan mengembalikan ingatannya seperti semula. Otaknya terlalu berat berpikir. Sehingga timbul efeknya seperti in," dokter cantik itu menjelaskan dengan rinci kepada ayah dan ibu Intan. Adu mulut pun terhenti di situ. Ayah dan ibu Intan kemudian pulang meninggalkan Intan di rumah sakit jiwa.

"Cinta itu ternyata bisa merusak sistem otak. Di saat kisah cintanya sukses, maka otaknya akan berputar lincah. Tapi jika cintanya gagal, maka gila menjadi risikonya," ucap dokter cantik itu lagi yang membuat langkah ayah dan ibu Intan terhenti.


Vote dan komen ya. Terima kasih

Kamu Yang PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang