Jika perjodohan masih andalan orang tua. Maka apa gunanya Siti Nurbaya berjuang mati-matian menentangnya.
==============================
"Adinda?"
"Iya, yah," jawab Adinda yang sudah duduk di meja makan bersama kedua orang tuanya.
"Kakak kamu di mana? Panggilkan dulu!"
Adinda langsung pergi menuju kamar Intan. Dia mendapat Intan masih santai membaca novel. Adinda tak mau mengajaknya bicara. Dia langsung menarik tangan Intan menuju meja makan.
"Ada apa sih Adinda?"
Adinda tak mau menjawab apa pun. Tangan Intan masih di genggamannya. Dia langsung manariknya hingga di depan ayahnya.
"Ini, yah."
"Ada apa sih?" Adinda kemudian duduk di kursi meja makan.
"Makan dulu. Dari tadi kamu belum makan, kan?" tanya ayahnya dengan senyum.
"Kak Intan makan hati, yah."
"Ini bocah mulutnya gak bisa direm, ya," Intan kesal.
"Sudah-sudah. Ribut aja kalian berdua. Silakan makan dulu," ucap ibunya.
Mereka pun makan bersama. Terlihat keakraban keluarganya. Tapi Intan sama Adinda tak pernah akur selama di meja makan. Entah apa yang menyebabkan mereka berdua hingga tak seakrab biasanya. Hal semacam ini adalah bumbu dalam keluarga. Adik dan kakak selalu punya cerita.
"Kamu mau kemana, Adinda?" tanya ayah pada Adinda yang sudah selesai makan. Dia terlihat buru-buru ingin meninggalkan meja makan. Sedangkan Intan, ibu dan ayahnya masih menikmati hidangan.
"Mau ke kamar, yah."
"Nanti dulu. Duduk saja dulu di sini. Ayah ingin bicara sebentar."
"Bisa nanti saja gak, yah?"
"Kamu itu, ya. Dibilang sekarang, iya sekarang Adinda," Intan menyambung. Adinda kemudian kembali duduk di kursi yang dia duduki sebelumnya.
"Lama sekali sih makannya, kak? Sini tak beresin piringnya," Adinda menarik piring Intan yang masih ada isinya. Padahal, Intan masih menikmati detik-detik penghabisan makanannya. Tapi Adinda sudah mengambil piringnya.
"Adinda...... Kakak kamu masih makan. Kok kamu ambil piringnya."
"Lagian sih makan lama dia, bu."
Intan masih menggerutu marah sama Adinda. Tapi Adinda tak meresponsnya. Dia membiarkan Intan bicara sendiri. Sedangkan ayahnya hanya santai melihat tingkah anak-anaknya.
"Kakak pernah lihat tentara makan, gak?" tanya Adinda pelan di tengah marahnya Intan.
"Kamu aja yang lihat sendiri," jawabnya cuek.
"Kalau kura-kura pernah kakak lihat makan?"
"Bicara aja sama tembok," jawab Intan.
"Kakak itu saat makan mirip sama kura-kura. Lambatnya kebangetan. Bikin orang sekampung emosi menunggunya."
"Kalau kamu mirip setan. Congoknya yang luar biasa," ujar Intan.
"Aku itu mirip seperti tentara. Semuanya siap siaga. Termasuk makannya yang cepat."
Meja makan pun sudah rapi. Tak ada lagi sisa makanan di atasnya. Semua sudah dibereskan dengan rapi. Tapi tak ada satu orang pun yang berani beranjak pergi. Termasuk Adinda yang awalnya sudah melangkahkan kaki menuju kamar.
Ayah mereka memang pemimpin keluarga yang tegas. Jika sudah melarang, maka tak ada satu anggota keluarga pun yang berani.
"Intan kamu sebentar lagi kan sudah wisuda. Ibu sama ayah ingin cepat-cepat gendong cucu," ucap ibunya yang membuat Intan menunduk malu. Sedangkan Adinda langsung menutup mulut menahan ketawa. Tapi tetap saja terdengar suara ketawa Adinda. Lalu ayahnya juga melanjutkan.
"Iya Intan. Ibu sama ayah sudah sepakat akan menikahkan kamu setelah wisuda."
Intan tak ada komentar apa pun. Dia menunggu sampai ibu dan ayahnya selesai bicara. Tapi Adinda kemudian menyambung pembicaraan dewasa itu.
"Nikah sama kak Stepen, ya?" Adinda memancing suasana. Tapi tak ada yang merespons kata-katanya.
"Kami sudah memilih jodoh yang terbaik untuk kamu."
"Betul apa kata ayah kamu. Kami ingin kamu itu bahagia," ibunya menguatkan argumen ayahnya.
"Intan. Kamu mau kan nikah?" tanya ayahnya dengan kalimat yang super hati-hati.
"Tak satu umat manusia pun yang menolak untuk menikah. Apalagi sebagai perempuan. Aku ingin tanggung jawab ayah terhadap putrinya bisa diemban oleh pasanganku," jawab Intan dengan wajah yang merah.
"Kami paham, Intan. Makanya ayah sama ibu mencari yang terbaik untuk kamu."
"Tidak adakah kebebasan memilih pasangan sendiri di keluarga kita?" tanya Intan dengan penuh keyakinan.
"Intan. Bukan tidak boleh memilih pasangan sendiri. Tapi ayah sama ibu sudah memilih yang lebih baik untuk kamu. Dia itu anak teman ayah di kantor. Orangnya ganteng, tinggi dan sudah menjadi manager juga di perusahaan tempat dia bekerja."
"Kamu boleh bertemu dulu sama orangnya. Atau ayah akan membawa orang itu ke rumah ini nanti," sambung ibunya.
Intan mulai berontak, "Ayah, ibu. Ukuran ganteng itu relatif. Tergantung siapa yang melihatnya. Apalagi sampai tertarik pada profesi seseorang. Itu hanya soal jabatan."
"Jadi kamu pilih yang seperti apa lagi? Seorang manager kurang bagi kamu. Ayah sudah puluhan tahun menginginkan posisi itu. Tapi sampai sekarang belum tercapai. Tapi tak apa. Yang penting putriku bisa bersanding dengan seorang manager."
"Itu ego, yah. Jika ayah sayang sama Intan. Maka ayah tidak melakukan perjodohan semacam ini."
"Ayah sama ibu ingin melihat kamu bahagia. Tidak lebih."
"Kesimpulannya kamu gak mau?" tanya ayahnya dengan nada yang tinggi. Tapi Intan hanya menjawab dengan santai.
"Aku mau menikah, yah. Tapi dengan pilihanku sendiri."
"Kamu sudah berani durhaka sama orang tua, ya. Sejak kapan kamu ini berani membantah?"
Dijawab dengan tegas sama Intan, "Sejak ayah dan ibu memilih keputusan yang salah."
Intan kemudian lari menangis menuju kamarnya. Sedangkan Adinda tak berani mengikutinya. Takut dimarahi sama ayah juga.
"Kamu mau seperti kakak kamu juga? Pembantah," ayahnya bertanya pada Adinda. Adinda tak berani menjawab. Dia hanya menunduk sambil memikirkan nasib kakaknya.
"Anak-anak tak tahu ini demi kebaikan masa depannya," ayah terus mengoceh.
Sambil berjalan menuju kamar Adinda berkata, "Sampai kapan pun kak Intan gak mau dijodohkan. Karena dia sudah punya pilihan sendiri."
Vote dan komen, ya. Thanks.
YOU ARE THE BEST
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Yang Pergi
Novela JuvenilTahukah kamu yang paling sakit saat mengingatmu? Bukan karena wajahmu yang imut dan lucu. Tapi karena senyuman manismu membuatku rindu. #WritingProjectAe Copyright © 2017