Dunia seakan runtuh, bahkan guncangan yang disebabkan oleh gempa pun tak kan bisa menandingi guncangan hati Varron dan Venus. Kenapa Mama Luna pergi? Kenapa ia tidak permisi terlebih dahulu? Tidak... Yang Venus dan Varron harapkan, hanya... kenapa Mama Luna sebelum pergi tidak kembali seperti Mama Luna 2 tahun yang lalu?
"Mama..." Tangis Venus begitu menyayat hati siapa saja yang mendengarnya. Kesedihan yang ada disorot mata Varron dengan jelas menggambarkan kepedihan yang ia rasakan.
Varron berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan kaki yang tertatih dan tatapan mata yang menegang. Tangannya yang tampak rapuh berusaha meraih gagang pintu dan membukanya dengan tenaga yang masih tersisa. Ia terdiam seraya menatap sendu Papa Alvern, Varron kembali melangkahkan kakinya mendekati bed hospital yang selama 2 tahun ini menjadi tempat Papa Alvern mendengar semuanya. Tak ada kata yang Varron ucapkan, ia hanya langsung memeluk erat tubuh sakit Ayahnya itu.
Menangis, ya... Varron akhirnya menangis keras. Kepiluan yang ia tunjukkan seakan membuka semua tabir kesakitan yang selama ini ia pendam. Anna, Aurora dan Adhitya yang mendengar dari balik pintu memilih untuk tidak mengganggu Varron. Mereka tahu Varron butuh waktu untuk sendiri, dan tangisan yang ia curahkan seharusnya bisa mengobati hati dinginnya itu. Ya... Varron tetaplah seorang manusia, seorang anak yang akan menangis jika ditinggal pergi oleh Ibunya.
"Enggak sekarang Na, Ra. Nanti saja kita temui Varron" Ujar Adhitya. Adhitya pun lantas memutar balik tubuhnya dan kemudian melangkah pergi diikuti pula oleh Aurora yang masih kaget dengan segala hal tentang Varron yang baru saja ia ketahui. Sedangkan Anna, Anna sejenak berdiri mematung menatap ratapan seorang Varron, tangan Anna gementar seraya memeluk erat buket bunga gardenia yang penuh dengan lumuran darah. Ya... Lumuran darah Mama Luna.
"Gue enggak tahu, kalau Varron punya keluarga kayak gini" Tutur Aurora tak percaya.
"Itulah Varron yang sebenarnya. Dia enggak sebahagia gue, yang masih punya keluarga sehat dan enggak sebahagia lo yang punya Ayah dan Ibu yang sayang sama lo. Udahlah, gue mau urus pemakaman Mama Luna"
"Varron, gimana?"
"Biar dia sama bokapnya dulu, Venus kan juga dijaga sama Bi Iyah dan Pak Darwo. Tugas kita sebagai sahabat, harus bantu dia sekarang. Gue udah berasa kayak keluarga sama dia Ra, jadi udah seharusnya gue mengurus pemakaman Mama Luna" Tungkas Adhitya, ia pun lantas berlalu pergi meninggalkan Aurora yang tampak termenung mendengar perkataannya. Entah apa yang ada dipikirkan Aurora sekarang? Tapi tatapannya begitu lekat menatap punggung Adhitya yang mulai menjauh.
"Tunggu, gue ikut" Teriak Aurora lantas berlari cepat mengejar langkah Adhitya.
**********
Keesokan harinya, pemakaman Mama Luna pun akhirnya digelar. Masih terdengar isak tangis Venus yang begitu menyedihkan, Bi Iyah selalu setia menemani anak asuhnya itu, berusaha memberikan ketenangan yang walaupun tidak setenang saat seorang Ibu memberikan kasih sayangnya kepada anaknya. Sedangkan Varron, Varron tampak tenang, bukan tampak tapi terlebih ia berusaha untuk bersikap tegar didepan semua orang.
Terlihat Ibu Daisy dan Papa Dathan yang hadir pula disana. Semua mitra bisnis Mama Luna pun semuanya terlihat datang untuk memberi penghormatan terakhir mereka. Tak tertinggal pula teman-teman Kampus Merpati Varron, ya... Semua turut berduka hari ini.
Nyatanya semua kepergian itu menyakitkan. Dirimu ditinggal, lalu kesepian akan menghampiri. Tapi tanpa adanya perpisahan di dunia ini, maka Tuhan tidak akan memberikanmu arti dari sebuah kekuatan, ketegaran dan kerelaan hati.
***********
"Bi, Venus gimana?" Tanya Varron sesaat memasuki rumahnya.
"Non Venus sudah tidur Den" Jawab Bi Iyah lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENIGMA
Teen FictionAda kisah yang harus diceritakan, ada hati yang harus diungkapkan. Andai hidup bisa memilih, maka siapa yang tak ingin memiliki kisah hidup yang bahagia? Dunia ini memang menegangkan, tapi teki-teki Tuhan lah yang lebih menegangkan.