Varron berlari cepat dari ruang kerjanya menuju ruang rawat Ayahnya. Ia bahkan lupa mengenakan jasnya, Varron tidak mempedulikannya lagi yang terpenting sekarang adalah ia segera sampai ke ruang rawat Ayahnya.
Varron tertegun dengan nafas terengah-engahnya menatapi Adiknya, Venus yang nyatanya tengah menangis histeris didalam pelukan Aurora yang tampak berdiri didepan ruang rawat Papa Alvern bersama Adhitya, terlihat Bi Iyah dan Pak Darwo juga disana. Mereka sama-sama menangis dengan senduhnya.
Varron melangkahkan dengan lunglai kakinya, takdir Ayahnya terjawab sudah. Varron tersentak, ia benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi, air matanya jatuh membasahi kedua pipinya tepat disaat Dokter menggelengkan kepalanya.
"Enggak, Papa enggak boleh tinggalin kita" Ujar Varron lirih yang kini terjatuh disamping tubuh Papa Alvern yang sudah tak bernyawa lagi. Varron menangis seseguknya. Nampak Anna yang baru saja tiba seketika saja berlari cepat menghampiri Varron dan berlalu memeluk kekasihnya itu erat, berusaha menenangkan, walau pada kenyataannya Anna ikut bersedih pula karenanya.
Anna pun lantas beranjak dari duduknya, melepas dekap hangatnya dari Varron dan kemudian berlalu melangkahkan kakinya menghampiri jasad kaku Papa Alvern. Ia menatap lekat orang yang menjadi kesayangan kekasihnya itu. Bersama cucuran air matanya, Anna pun berlalu memberikan penghormatan terakhirnya untuk Papa Alvern.
Anna mendekat, ia membisikkan sesuatu ke telinga Papa Alvern. Entah apa yang Anna katakan? Anna hanya menggenggam kepercayaannya, kalau Papa Alvern masih bisa mendengarnya sekarang, sekalipun itu dalam wujud roh. Anna berlalu melepaskan sentuhan tangannya dari wajah Papa Alvern, ia pun berlalu menyekah air matanya dan kemudian memutar tubuhnya kembali menatap Varron dan semua orang yang menangis penuh kesedihan disana.
Tapi... Tapi, sesuatu hal mengagetkan lainnya terjadi. Tiba-tiba saja terdengar suara decitan mesin yang dimana saluran selangnya masih merekat erat di tubuh Papa Alvern. Entah menandakan apa suara itu? Namun telah berhasil membuat Dokter cepat-cepat memeriksa kembali keadaan Papa Alvern. Varron yang membeku pun seketika saja menghentikan tangisannya.
"Bapak hidup, Non. Bapak hidup..." Seru Bi Iyah bersorak bahagia. Venus pun dengan cepatnya mendorong kursi rodanya untuk menghampiri Ayahnya itu, begitu juga Varron yang langsung pula berdiri dan menghampiri Papa Alvern. Benar kata Bi Iyah, suara decitan itu menandakan kalau Papa Alvern telah hidup kembali. Anna pun tampak menarik haru senyumnya, begitu pula Adhitya dan Aurora. Ini benar-benar mujizat, Tuhan begitu baik.
**********
Selang beberapa menit kemudian, Papa Alvern sudah dilepaskan dari alat-alat yang dulu telah memenuhi dirinya. Perlahan demi perlahan, Papa Alvern membuka matanya. Terangnya cahaya di ruang rawat Papa Alvern membuat Papa Alvern sedikit menyipitkan matanya, wajar saja sudah dua tahun berlalu.
"Pak, apa Bapak bisa mendengar saya?" Tanya Dokter. Sejenak menghening, Papa Alvern pun lantas menganggukkan kepalanya. Syukurlah, semua tersenyum lega melihatnya.
"Ayah anda sudah melewati masa kritisnya, Varron. Selamat..." Ucap Dokter itu mengarah ke Varron dan pula Venus. Varron tersenyum bersama mata binarnya, ia pun berlalu menghampiri Papa Alvern serta merta membawa Venus disisinya.
Papa Alvern menatap lekat kedua anaknya itu, yang sudah lama sekali tidak ia pandangi parasnya. "Var-ron... Ve-nus" Ucap Papa Alvern terbata-bata. Sungguh, betapa merindunya Varron dan Venus terhadap suara menenangkan Ayahnya itu, mereka pun tampak kembali menitihkan air mata.
**********
"Selamat ya Ron, akhirnya Om Alvern siuman. Gue berharap, Papa Alvern memiliki umur yang panjang. Aamiin" Ucap Adhitya yang tampak masih berdiri bersama Aurora, tepatnya diluar ruang rawat Papa Alvern.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENIGMA
Roman pour AdolescentsAda kisah yang harus diceritakan, ada hati yang harus diungkapkan. Andai hidup bisa memilih, maka siapa yang tak ingin memiliki kisah hidup yang bahagia? Dunia ini memang menegangkan, tapi teki-teki Tuhan lah yang lebih menegangkan.